Mediaumat.id – Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Dr. Marwan Batubara, M.Sc. menilai perlakuan yang tidak adil dari pemerintah terhadap BUMN.
“Kita bisa melihat berbagai fakta lain tentang perlakuan tidak adil terhadap BUMN. Misalnya, badan usaha asing atau swasta nasional milik oligarki bisa bebas membuka SPBU di kota-kota besar dan hal ini tentu menggerogoti bisnis BUMN,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Selasa (28/2/2023).
Sementara asing/swasta, lanjutnya, tidak wajib membuka SPBU di daerah-daerah minim konsumen. BUMN pun harus menjalankan tugas perintisan di wilayah terpencil, terluar atau tertinggal, sementara perusahaan asing/swasta bebas dari kewajiban atau membayar kompensasi atas tugas tersebut. “Kebijakan tidak adil ini telah mengurangi kemampuan BUMN melakukan cross-subsidy (subsidi silang),” tegasnya.
Marwan mengatakan, saat harga crude ([minyak] mentah) turun cukup rendah pada semester pertama 2020, sesuai formula harga BBM yang ditetapkan pemerintah, maka harga BBM seluruh jenis mestinya turun. Namun saat itu pemerintah justru membiarkan harga BBM tidak turun. “Karena kebijakan tidak konsisten ini, badan-badan usaha asing/swasta menikmati untung besar dari rakyat konsumen BBM,” ungkapnya.
Menurutnya, harga BBM memang ditetapkan tidak hanya merujuk pada perubahan harga crude dan kurs. Ada faktor-faktor lain yang ikut menentukan, misalnya faktor keuangan/APBN, politik, geopolitik, dll. Bahkan faktor politik sangat dominan dalam penetapan harga.
Apa pun itu, tegas Marwan, mestinya setiap faktor perlu diberi bobot secara transparan, adil dan objektif. Misalnya, karena produksi minyak mentah domestik terus turun, impor minyak dan BBM meningkat. Maka, harga BBM pun mungkin perlu dinaikkan namun tetap harus memperhatikan faktor kemampuan rakyat, serta ketahanan dan keberlanjutan pelayanan energi.
Ternyata pengalaman 6-7 tahun terakhir, kata Marwan, menunjukkan terjadinya hal-hal yang tidak adil, tidak transparan, tidak mendukung perbaikan ketahanan energi dan juga tidak favourable (baik) terhadap pelayanan energi nasional yang berkelanjutan oleh BUMN.
Hal ini, menurutnya, terjadi karena faktor yang dominan dalam penetapan harga BBM adalah faktor politik. Faktor lain adalah kepentingan perburuan rente oleh mafia dan oligarki kekuasaan.
IRESS menilai, telah terjadi berbagai kebijakan harga BBM yang merugikan BUMN/Pertamina. Dalam hal JBKP/Pertalite, terjadi gangguan cash flow (arus kas) dan penigkatan biaya bunga. Dalam hal JBU, terjadi kerugian signifikan bagi BUMN, akibat inkonsistensi pelaksanaan peraturan dan intervensi kekuasaan, serta ketidakadilan terhadap BUMN bangsa sendiri dibanding terhadap asing/swasta.
“Karena itu kita menuntut konsistensi pelaksanaan kebijakan dan peraturan. Demi ketahanan dan pelayanan energi yang berkelanjutan, kita pun menuntut agar BUMN dikelola sesuai amanat konstitusi, bebas intervensi dan bebas pula dari objek bancakan bagi oligarki kekuasaan,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it