Survei Sebut LGBT dan Komunis Paling Tidak Disukai, Peneliti: Bagus!

Mediaumat.id – Hasil survei Wahid Foundation yang menyebut LGBT dan komunis menjadi dua kelompok yang paling tidak disukai di Indonesia, dinilai baik oleh Dosen dan Peneliti Statistika Kuantitatif Dr. Kusman Sadik.

“Itu bagus, artinya telah ada kesadaran di tengah masyarakat terhadap bahaya LGBT dan komunis,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Ahad (3/7/2022).

Menurutnya, bagi responden yang Muslim, ketidaksukaan itu tentu karena LGBT itu diharamkan dalam Islam. “Sementara komunisme adalah ideologi yang menafikan eksistensi Tuhan,” ungkapnya.

Maka tidak sekadar wajar, ujar Kusman, namun bahkan wajib bagi seorang Muslim untuk tidak suka pada LGBT dan komunisme itu.

Agenda Global

Terkait rezim yang justru seakan sangat welcome pada keduanya, Kusman menilai, LGBT itu merupakan gerakan global, sehingga Indonesia pun sedang diseret menjadi bagian dari arus gerakan tersebut.

“Khusus di wilayah Asia, United Nations Development Programme (UNDP) telah merancang penguatan LGBT ini melalui program yg mereka namakan: Being LGBT in Asia,” tuturnya.

Menurutnya, program tersebut menargetkan empat negara, yaitu Indonesia, Filipina, Thailand, dan Cina selama empat tahun dari 2014 hingga 2017.

“Anggaran yang mereka siapkan juga cukup besar mencapai 8 juta dolar AS atau sekitar Rp107,9 miliar. Setelah 5 tahun, tentu pada tahun 2022 ini UNDP menargetkan memanen dukungan terhadap LGBT di 4 negara tersebut,” ungkapnya.

“Sementara komunisme, sebagai sebuah ideologi tentu tetap eksis diperjuangkan oleh para agennya yang sering disebut sebagai neo-PKI. Mereka dapat menyusup melalui berbagai lembaga seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, parpol, dan berbagai ormas,” tambahnya.

Kusman mengatakan, bangkitnya neo-PKI misalnya dapat tercium pada lahirnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Umat Islam saat itu menolak keras karena disinyalir RUU HIP tersebut sebagai payung hukum bangkitnya ideologi komunisme di Indonesia. “Misalnya pada RUU itu tidak mencantumkan Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 sebagai rujukan. Padahal TAP MPRS itulah yang merupakan acuan utama pembubaran PKI dan pelarangan paham komunisme/marxisme di Indonesia,” bebernya.

Di saat bersamaan, rezim sangat keras pada dakwah Islam kaffah dengan membiarkan persekusi dan melakukan kriminalisasi. Ia mengatakan, kasus berbagai persekusi terhadap ulama dan aktivis dakwah merupakan indikasi kuat adanya upaya sistematis untuk membungkam dakwah Islam di negeri ini.

“Mulai dari mengkriminalisasi ormas dakwah hingga mengkriminalisasi ulama dan aktivis dakwah. Sangat jelas itu bagian dari upaya mereka untuk menekan dan membungkam dakwah Islam,” jelasnya.

Menurutnya, benturan antara yang pro-Islam dengan yang anti-Islam itu merupakan keniscayaan sebagai realitas benturan ideologi. Yakni antara ideologi Islam dengan ideologi kapitalisme dan komunisme.

“Aktivitas dakwah Islam memang bisa saja dipersekusi. Mulai dari difitnah dengan berbagai isu rekayasa hingga dikriminalisasi dan dipenjarakan para ulama dan aktivisnya. Namun dakwah akan terus berlanjut, sebab ia merupakan kewajiban dari Allah SWT bagi setiap Muslim,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: