Suporter Iran Mati Ditembak Aparat, Tak Lepas dari Konteks Politik

Mediaumat.id – Insiden penembakan mati suporter Iran oleh aparat keamanan setelah merayakan kekalahan tim nasionalnya dari Amerika Serikat (AS) di Piala Dunia Qatar 2022 tidak bisa lepas dari konteks politik. “Insiden ini tidak bisa kita lepaskan dari konteks politik Iran yang bergolak sejak beberapa bulan terakhir,” tutur Direktur Institut Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara kepada Mediaumat.id, Sabtu (3/12/2022).

Menurutnya, banyak warga Iran menolak mendukung tim nasionalnya sendiri sebagai bentuk perlawanan atas rezim Iran yang represif yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini dalam tahanan. “Akar persoalan di Iran lebih mendasar bukan hanya soal hijab, tetapi soal kedzaliman rezim Iran terhadap rakyatnya (yang nyata-nyata melanggar prinsip Islam),” ungkapnya.

Fika menilai, ada pihak-pihak yang mencoba menggiring opini bahwa masalah perempuan di Iran sebagai kurangnya prinsip kesetaraan gender (akibat penegakan paksa hijab dan hukum sosial Islam lainnya). Padahal masalah sebenarnya di Iran adalah adanya rezim teokratis yang memerintah menurut keinginan dan perintah ulama (bukan Al-Qur’an dan Sunnah).

Menurut Fika, setiap sistem yang diatur oleh keinginan manusia (demokrasi atau kediktatoran) akan mengakibatkan penindasan rakyat dan perampasan hak-hak mereka. “Allah SWT berfirman: “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim,” jelasnya mengutip QS al-Maidah: 45.

Pintu Masuk

Walhasil, ujar Fika, isu hijab di sini sebenarnya hanya pintu masuk. “Memang dapat dimengerti bahwa rakyat menjadi marah atas tindakan tiran dan otoriter rezim Iran. Tapi mengapa segelintir Muslimah dalam protes ini malah membakar jilbab dan menari-nari di ruang publik, apakah mereka mengekspresikan kemarahan dan pemberontakan mereka terhadap perintah Allah SWT Tuhan dan Pencipta mereka?” sesalnya.

“Menutupi seluruh tubuh wanita, kecuali tangan dan wajah, di hadapan pria nonmahram adalah kewajiban Islam yang didefinisikan dengan jelas oleh Al-Qur’an dan Sunnah, dan bukan perintah dari penguasa atau polisi Iran atau rezim lainnya,” tegasnya.

Menguntungkan Barat

Ia melihat, negara-negara Barat terutama AS sangat diuntungkan dengan kemarahan rakyat Iran ini. Mereka terus menggoreng isu ini, dengan terus mempromosikan sistem sekuler demokrasi lebih baik daripada Islam dan terus mencoba menggambarkan tertindasnya Muslimah Iran sebagai representasi kehidupan perempuan di bawah pemerintahan Islam.

“Padahal sistem politik teokratis presidensial parlementer di Iran, dengan apa yang disebut ‘Pemimpin Tertinggi’ dan dipimpin oleh ulama sebenarnya tidak memiliki dasar dalam nash-nash Islam,” ujar Fika.

Sebaliknya, model pemerintahan Islam sebagaimana didefinisikan dengan jelas oleh Al-Qur’an dan Sunnah adalah khilafah berdasarkan metode kenabian. “Yang memiliki pemimpin terpilih yang bertanggung jawab kepada rakyat, dan memerintah murni menurut Al-Qur’an dan Sunnah bukan dikte ulama yang menunjuk dirinya sendiri,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: