Sungai Tak Layak Minum, Jurnalis: Penyebab Beda, Impact-nya Sama

 Sungai Tak Layak Minum, Jurnalis: Penyebab Beda, Impact-nya Sama

Mediaumat.info – Meski dampaknya (impact) sama-sama menyebabkan air sungai di Indonesia menjadi tidak layak lagi menjadi bahan baku air minum namun faktor penyebabnya berbeda-beda.

“Penyebabnya berbeda, impact-nya sama,” ujar Jurnalis Dandy Laksono dalam Dandy Laksono: Air Tanah Kita Sudah Tidak Layak Konsumsi, Mengandung Logam Berat, Jumat (26/1/2024) di kanal YouTube Novel Baswedan.

Di Jawa, ungkap Dandy, sungai menjadi buangan limbah tekstil, pabrik kertas atau pabrik plastik dan segala macam. Kalau di Martapura atau di sungai-sungai lain di luar Jawa adalah residu pupuk dari monokultur sawit atau residu bahan tambang.

“At the end (pada akhirnya), fungsi sungai sebagai jalur peradaban bagi fungsi ekonomi juga sudah enggak bisa, mengerikan sekali kerusakan di Indonesia,” bebernya.

Sehingga, bebernya, memang orang pada akhirnya dipaksa untuk terus dalam sistem ekonomi uang.

Akhirnya, jelas Dandy, air bersih gratis itu juga enggak ada, kalau mau air bersih, air bersih bayar. “Sayur sehat itu kalau mau makin sehat harus makin mahal,” imbuhnya.

Perubahan

Menurut Dandy ada dua yang bisa dilakukan untuk merubah kenyataan tersebut. Pertama, di level kultural, di level individu.

Concern dengan mikroplastik, kita setidaknya mengurangi konsumsi plastik misal. kalau punya concern dengan polusi udara, misalnya, buat kantor yang dekat sama rumah supaya jejak karbon tidak kebanyakan,” ujarnya memberi contoh.

Kedua, kebijakan politik. Menurutnya, kebijakan politik yang tegas harus dilakukan karena di level individu, keshalihan individu dan itu dampaknya kecil. Dampaknya kecil seperti itu bisa bisa cepat dihabisi oleh sebuah kebijakan struktural.

“Bukan hanya kita harus shalih, tapi kalau negara membuat sistem yang orang enggak bisa shalih juga percuma,” ungkapnya.

Menurutnya keduanya merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Kedua-duanya ini saling interaksi, saling memengaruhi.

Ia menekankan tidak bisa berhenti di level advokasi individual, kasus per kasus atau “yang penting saya sudah hidup baik”, yang penting sudah mengurangi konsumsi plastik, mengurangi polusi tidak buang sampah sembarangan, itu enggak cukup.

“Buldoser yang lebih gede akan menghabisi inisiatif apa pun di level individu, akan menghabisi semangat orang untuk berubah, karena tadi orang akan hopeless, dia merasa masalahnya terlalu gede untuk dilawan,” pungkasnya. [] Muhammad Nur

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *