Ketika keinginan untuk membangun Masjid Sulaimaniyah di atas dataran tinggi yang mempunyai pemandangan indah itu menghadapi jalan buntu, karena pemilik tanah itu tidak bersedia menjual tanahnya kepada Sultan Sulaiman, namun Sultan tetap berusaha mencari solusi yang syar’i untuk mewujudkan keinginannya itu.
Akhirnya, Sultan Sulaiman al-Qanuni memutuskan untuk meminta pandangan Syeikh al-Islam dalam masalah ini. Syeikh al-Islam pun memberikan jawaban, “Hukum Islam dalam dalam masalah ini sudah jelas sekali, wahai Paduka Sultan.. Kami tidak mampu memaksakan imbalan apapun, maupun sanksi apapun terhadap orang Yahudi itu, karena dia tidak bersedia untuk menjual tanahnya. Karena gubuk reot itu adalah miliknya, dan tidak boleh diambil dengan paksa. Jika dia meninggal dunia, maka anak-anaknyalah yang bisa menolak menjual gubuk reot itu. Karena syara’ mengakui perpindahan hak milik dari orang tua ke anak… Pendek kata, tak ada pilihan di depan Paduka, kecuali satu saja, yaitu Paduka Sultan harus mendapatkan keridhaan orang Yahudi itu..”
Sultan pun berpikir serius memikirkan masalah ini. Setelah itu, beliau menoleh ke arah para pejabatya, sembari memberikan titah kepada mereka, “Saya akan pergi sendiri menemuinya. Saya berharap dari dia agar dia bersedia menjual gubuk reot itu.” Begitulah, akhirnya Sultan Sulaiman al-Qanuni berangkat sendiri ke gubuk reot Yahudi itu, dan berharap mendapat kemurahan hatinya. Dia kemudian mengetuk pintu orang Yahudi itu.
Orang Yahudi itu keluar, dan melihat, ternyata di depannya adalah Sultan kaum Muslim, yang dikawal oleh sebagian pejabatnya. Sambil membungkuk, dia mendengarkan titah Sang Sultan. Sultan berharap darinya, agar dia bersedia menjual gubuk reotnya.. Kali ini, orang Yahudi itu tak kuasa untuk menolaknya. Terutama, ketika sang Sultan menawarkan kepadanya nilai uang yang berkali-kali lipat, ketimbang apa yang sebelumnya ditawarkan oleh pejabat sang Sultan.
Begitulah, akhirnya pembelian gubuk reot milik Yahudi itu berhasil dilakukan oleh Sultan. Begitulah, akhirnya Masjid Jamik Sulaimaniyah yang megah dan agung itu, yang mewakili ciri khas seni bangunan Islam yang luar biasa itu akhirnya berhasil dibangun. Tindakan Sultan dalam mennyelesaikan masalah ini membuktikan keadilan Islam yang luar biasa. Keadilan dan kasih sayang yang berlaku untuk seluruh umat manusia, tanpa melihat latar belakang agamanya.
Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya, “Kami tidak mengutus kamu [Muhammad dengan membawa Islam], kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.” [QS al-Anbiya’: 107]
Sultan Sulaiman al-Qanuni pun mendapatkan gelar, “al-Qanuni” bukan karena dialah yang pertama kali mengadopsi perundang-undangan dalam Khilafah Islam, tetapi karena konsistensi beliau dalam menerapkan perundang-undangan itu dalam wilayah negaranya. Namanya terpatri dalam sejarah agung Khilafah ‘Utsmani. Bahkan, tak hanya Khilafah ‘Utsmani, tetapi sejarah Khilafah Islam. Karena di eranyalah, wilayah negeri kaum Muslim mencapai puncaknya, seluas 22,000,000 km2. Dua kali lipat wilayah Amerika Serikat saat ini. Meliputi 3 benua, Asia, Afrika dan Eropa, serta mencakup 2/3 dunia. [] har
Sumber: Tabloid Media Umat Edisi 235