Siapa yang tidak kenal dengan Sultan Muhammad al-Fatih, penakluk Konstantinopel? Penguasa yang mendapat bisyarah Nabi SAW dengan menaklukkan salah satu kota yang dijanjikan Nabi SAW 830 tahun sebelumnya. Tetapi, statusnya sebagai penguasa tertinggi di negaranya, Kesultanan ‘Utsmaniyah, dan predikatnya sebagai penyandang bisyarah Nabi SAW tidak serta merta membuatnya kebal hukum.
Kasusnya bermula ketika Muhammad al-Fatih hendak membangun masjid jami’ di kota Islambul itu. Beliau menugaskan seorang insinyur Romawi, Epsalanti, untuk memimpin dan mengawasi proyek pembangunan masjid itu. Epsalanti memang dikenal insinyur yang mumpuni. Salah satu titah Sultan adalah, tiang-tiang masjid jami’ itu mesti dibuat dari bahan marmer. Tiang-tiang itu juga harus dibuat tinggi, agar masjid jami’ itu kelak bisa dilihat dari berbagai penjuru. Sultan Al Fatih pun menentukan batas ketinggian yang harus dicapai itu. Itulah titah yang ditujukannya kepada Epsalanti.
Namun, dalam realisasinya, Epsalanti justru memendekkan tiang-tiang itu. Hingga ketinggian tiang masjid jami’ itu tak seperti yang diharapkan oleh Sultan. Epsalanti bersikap demikian karena alasan tertentu. Ketika Sultan mengetahui hal itu, ia marah besar. Epsalanti dianggap melakukan pencurian, karena mengurangi ketinggian tiang-tiang tadi. Sultan pun memerintahkan agar tangan Epsalanti dipotong.
Keputusan itu pun langsung dieksekusi. Tangan Epsalanti dipotong. Pasalnya tiang-tiang yang sudah dibawa dari tempat yang jauh, menjadi tak berguna sama sekali. Perintah potong tangan itu dikeluarkan Sultan al-Fatih dalam keadaan emosi dan marah. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Tangan Epsalanti sudah terpotong. Sultan pun menyesali keputusannya itu. Karena perintah itu dianggap terlalu berlebihan.
Di mata Epsalanti, tindakan Sultan itu juga dianggap keterlaluan, dan dianggap sebuah kezaliman. Begitulah Epsalanti memandang keputusan Sultan atas dirinya. Pendek kata, Epsalanti mengadukan Sultan kepada Mahkamah Banding [Mahkamah Isti’naf]. Di Mahkamah itu ada seorang Qadhi yang dikenal adil. Namanya Syeikh Shari Khidr Jalabi. Dialah yang mengadili kasus ini. Qadhi Syeikh Shari Khidr Jalabi mengutus orang untuk memanggil Sultan agar datang ke pengadilan.
Mendapat panggilan dari sang Qadhi, Sultan tak ragu menghadiri pengadilan itu. Pada hari H, Sultan al-Fatih pun masuk ke ruangan sidang. Sultan al-Fatih duduk di barisan tempat duduk yang disediakan. Tapi sikap Sultan itu dihardik oleh Qadhi Syeikh Shari Khidr Jalabi. “Anda tidak boleh duduk, Tuan!” hardik sang Qadhi, tanpa ragu. Sultan al-Fatih terkejut. Dia hanya terdiam. “Engkau harus tetap berdiri di samping lawan engkau itu,” tegas Qadhi lagi.
Sultan Al Fatih pun patuh. Sosok yang begitu disegani di seluruh dunia itu, diam seribu bahasa di depan sang Qadhi. Karena al-Fatih sangat taat hukum. Sultan al-Fatih lalu berdiri berjajar dengan Epsalanti. Sang Insiyur itu lalu membeberkan kezaliman yang telah diterimanya. Ketika giliran Sultan berbicara, ia membenarkan apa yang telah dijelaskan oleh sang insinyur itu. Ia sama sekali tidak membantahnya. Setelah selesai bicara, ia diminta berdiri. Qadhi Syeikh Shari Khidr Jalabi berpikir sejenak. Tidak lama kemudian Qadhi itu mengeluarkan vonisnya untuk sang Sultan. “Berdasarkan ketentuan syariat Islam, maka tanganmu juga harus dipotong sebagai bentuk qishash, wahai Sultan!”
Ketika mendengarkan putusan itu, sang insinyur tersentak. Dia tak menyangka, seorang Sultan, yang menunjuk Qadhi sebagai hakim, malah dikenakan hukuman potong tangan oleh Qadhi itu sendiri. Tubuh Epsalanti sampai gemetar, mendengar putusan Qadhi atas kasus yang dilaporkannya. Sultan hanya terdiam sembari berdoa. Epsalanti sama sekali tak menyangka vonisnya yang bakal dikeluarkan oleh Qadhi akan begitu. Padahal niat awal Epsalanti adalah hanya menuntut ganti rugi karena tangannya telah dipotong.
Epsalanti lalu berdiri, dengan suara gemetar, tercekak dan terbata-bata, dia memutuskan untuk menarik kasusnya itu. “Saya tak menyangka hasilnya seperti ini, saya memutuskan untuk menarik pengaduan saya terhadap Sultan,” tutur Epsalanti terbata-bata. Padahal Sultan Muhammad al-Fatih sudah sangat menerima keputusan itu.
Epsalanti pun berujar, bahwa sesungguhnya dia hanya mengharapkan ganti rugi atas kasus yang dialaminya. Karena dia beralasan memotong tangan Sultan Al Fatih sama sekali tak memberi manfaat buat dirinya. Karena permintaan Epsalanti seperti itu, Qadhi pun memutuskan agar Sultan al-Fatih membayarkan 10 keping Dinar kepada Epsalanti, sebagai ganti rugi atas tangannya yang telah dipotong. 10 Dinar itu mesti dibayarkan Sultan al-Fatih setiap bulan kepada Epsalanti. Begitulah hukuman itu dijatuhkan.
Namun Muhammad al-Fatih memutuskan untuk membayar 20 Dinar setiap hari sepanjang hidupnya kepada sang insinyur itu. Itu dilakukan sebagai ungkapan terima kasihnya, karena lolos dari hukuman qishash. Begitulah sistem peradilan Islam. Kisah keadilan seperti ini tentu langka dalam sistem lain, selain sistem Islam.
Sumber: Kitab Rawai’ min at-Tarikh al-‘Usmani, karya Ourkhan Muhammad ‘Ali, hal. 49-52. [] har