Di Bursa, di era Kesultanan ‘Utsmani, sang Penakluk Agung, penakluk kota Belgrade, Bosnia, Salonika, dan Albania, Sultan yang mencatatkan namanya dengan kemenangan luar biasa mengalahkan tentara Salib, yang berhasil dimobilisir oleh George IV, untuk mengusir kaum Muslim di Eropa, Sultan yang bergelar Sang Halilintar itu ternyata memiliki kisah unik, yang membuat umat terpana.
Sultan, sang penakluk itu, memastikan kehadirannya untuk memberikan kesaksian dalam satu perkara, di depan seorang hakim dan ulama yang masyhur ketika itu, Syeikh Syamsuddin Fanari. Sang Sultan memasuki mahkamah, dan berdiri di depan hakim. Dia pun duduk di depan hakim, sebagaimana saksi yang lain, meski dia bukan orang biasa, tetapi seorang sultan.
Hakim mengarahkan pandangannya kepada Sang Sultan, dan mulai mencermatinya dengan pandangan yang menusuk, sebelum Sang Sultan memberikan kesaksikan kepadanya, seraya berkata:
“Sesungguhnya kesaksian Anda tidak mungkin diterima. Alasannya, karena Anda tidak menunaikan shalat Anda dengan berjamaah. Orang yang tidak menunaikan shalatnya dengan berjamaah, tanpa alasan yang dibenarkan menurut syariah, mungkin berdusta dalam kesaksiannya.”
Kata-kata hakim itu meruntuhkan kedudukan Sang Halilintar di hadapan hadirin yang menghadiri mahkamah. Ini merupakan tuduhan serius, bahkan penghinaan kepada Sang Sultan. Mereka yang hadir di mahkamah tetap duduk di tempatnya, sambil menahan diri, menunggu reaksi Sang Sultan. Tetapi, Sang Sultan tidak mengatakan sepatah kata pun, kecuali membalikkan badan, dan keluar meninggalkan mahkamah, dengan terdiam.
Pada hari yang sama, Sang Sultan, yang tak lain adalah Sultan Bayazid, Sang Halilintar itu pun mengeluarkan titah untuk membangun Masjid Jami’, yang berdampingan dengan istananya. Ketika Masjid Jami’ ini selesai dibangun, maka Sultan Bayazid pun mulai menunaikan shalatnya dengan berjamaah di masjid jami’ tersebut. Kisah menarik ini dituturkan oleh sejarawan Turki, ‘Utsman Nazzar, dalam kitabnya, Hadiqatu as-Salathin [Taman-taman Para Sultan], yang ditulis ratusan tahun yang lalu.
Ketika umat Islam memiliki para ulama seperti Syeikh Syamsuddin Fanari, mereka pun akan mempunyai para sultan [penguasa] seperti ini menjadi penguasa mereka. Begitu luar biasa kedudukan para ulama di zaman keemasan Islam. Ulama benar-benar menjadi pewaris Nabi SAW, yang diwariskan Nabi SAW kepada umatnya. Mereka benar-benar menjadi pelita dan panutan bagi umat.
Di zaman keemasan Islam, para sultan tunduk kepada para ulama. Ulama pun mempunyai kedudukan yang luar biasa di mata sultan dan umat. Mereka adalah ulama akhirat, ulama tabbani. Bukan ulama jahat, yang lebih ditakutkan oleh Nabi, ketimbang Dajjal. Yang dengan ilmunya, “Dajjal” ini menggerogoti keimanan umat Nabi Muhammad SAW. Tanpa sadar, umatnya pun menjadi pengikut “Dajjal” ini. [Disarikan dari kitab, Rawai’ min at-Tarikh al-‘Utsmani, hal. 26-27]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 212
View Comments (1)
Subhanallah.
Barokallah.
Semoga Umat Islam Bersatu Dalam Naungan DAULAH ISLAMIYAH.
Amien Yaa Rabbal 'Alamin.