Sultan Aceh: Bersandar kepada Khilafah, Kunci Persatuan Negeri-Negeri Islam

Mediaumat.id- Pemimpin Kesultanan Aceh Sultan Manshur Syah menegaskan kunci persatuan untuk negeri-negeri Islam yakni bersandar kepada satu-satunya pemimpin kaum Muslim sedunia, Khilafah Utsmaniyah.

“Sang Paduka, Sultan Manshur Syah, melihat semua ini (penjajahan Belanda) tidak mungkin dilawan tanpa kebersatuan. Kunci persatuan untuk negeri-negeri Islam yang sudah dipecah-belah oleh kafir penjajah hanyalah satu, yakni bersandar kepada satu-satunya pemimpin kaum Muslim sedunia, Khilafah Utsmaniah,” tutur narator film dokumenter sejarah Islam Jejak Khilafah di Nusantara 2 (JKdN 2) Akhmad Adiasta dalam tayangan JKDN 2 yang tayang perdana, Rabu (20/10/2021) secara daring.

Menurut Sejarawan sekaligus Sutradara JKDN 2 Nicko Pandawa, Sultan Manshur Syah dari Aceh meyakini bahwa persatuan di bawah Khilafah adalah kunci untuk menyatukan kata dan kekuatan seluruh sultan dan raja di Asia Tenggara. “Karena itu beliau mengirim surat ke Sultan Abdul Majid I di Istanbul pada 8 Februari 1849 untuk memperbarui baiat Kesultanan Aceh. Dengan baiat itu, Sultan Manshur Syah berharap dapat menjadi pemersatu perlawanan kaum Muslim seluruh Asia Tenggara yang ada atas izin Khalifah Utsmaniah,” ungkapnya.

Surat yang dikirim tahun 1849 ini ditulis dalam bahasa Melayu, kata Akhmad, di dalamnya Sultan Manshur Syah mengatakan bahwa para pembesar dari Jawa, Bugis, Bali, Borneo, Palembang, dan Minangkabau telah mengirim surat ke Aceh, dan dalam bahasanya sendiri.

Berikut ini isi Sultan Manshur Syah: Apabila bangkit perang orang Belanda itu maka segala orang Islam pun bangkitlah melawan dia lagi memukul dia tiap2 negeri yang telah tersebut itu, karena segala orang yang sudah diperintah oleh Belanda pada tiap2 negeri semuanya menanti titah daripada Patik di negeri Aceh, dan tantangan Patik pun menanti titah dan wasitah (daripada) duli hadrat yang di negeri Rum (Istanbul).

“Setahun berikutnya, tepatnya pada 17 Maret 1850, Sultan Manshur Syah kembali mengirim surat ke Khilafah Utsmaniah. Kali ini suratnya ditulis dalam bahasa Arab yang begitu fasih,” ujar Akhmad.

Sultan Manshur Syah berkata: Maka dari itu, yang diharapkan dari sumber kasih sayang Tuan yang berbahagia, adalah menganugrahi kami sebuah titah kesultanan yang dapat menyatukan seluruh para pembesar rakyat kami dari kaum Muslim supaya suara mereka bersatu padu dan bulat untuk menegakkan jihad di jalan Allah dan mengusir kaum kafir Nasrani itu dari negeri-negeri kaum Muslim.

Sebab, jika kami tidak mengusir mereka dari negeri-negeri kaum Muslim, kami khawatir seluruh penghuni pulau akan murtad dan keluar dari agama Islam sekaligus —kita berlindung kepada Allah Ta’ala atas yang demikian, dan semoga Allah tidak menakdirkan hal itu. Maka hendaklah Tuan mengirimkan kepada kami titah itu.

Nicko menuturkan, Sultan Aceh ini meminta kepada Khalifah Abdul Majid I sebuah ma’muriyyah sulthaniyyah, sebuah titah kesultanan atau dalam khazanah Utsmani disebut sebagai ferman. “Untuk apa? An-tashira kalimatuhum mutawafiqah fi iqamatil jihadi fi sabilillah, untuk menjadikan seluruh sultan dan raja di Nusantara seiya sekata dalam jihad fi sabilillah!” bebernya.

Nicko menilai, kalau sebelumnya perjuangan di Nusantara itu berdiri sendiri seperti Pangeran Diponegoro di Jawa, Pangeran Antasari di Banjar, dan juga Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau, maka Sultan Manshur Syah dari Aceh menstrategikan sebuah perang raya yang menyatukan seluruh sultan dan raja di Nusantara untuk bersama-sama menggalang jihad, menaklukkan Batavia, memfutuhat Batavia, dan mengalahkan Belanda, mengusir Belanda.

“Dan Bagi Sultan Aceh ini, perang raya tersebut hanya dapat diciptakan atas izin dari Khilafah Utsmaniah!” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: