Mediaumat.info – Dihapuskannya status Ibu Kota DKI Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia dinilai konsekuensi dari adanya Undang-Undang Ibu Kota Nusantara (UU IKN).
“Terkait dihapuskannya status Ibu Kota DKI Jakarta adalah risiko adanya Undang-Undang Nomor 3 2022 tentang IKN. Itulah konsekuensi adanya UU IKN sehingga Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemprov DKI sebagai Ibu Kota NKRI harus direvisi. Karena dalam Undang-Undang Nomor 3 2022 pasal 3 ayat 2, DKI harus dijadikan pusat perdagangan bukan pusat ibu kota lagi,” tutur Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky kepada media-umat,info, Sabtu (9/12/2023).
Menurutnya, itulah yang membuat Daerah Khusus Ibu Kota diubah menjadi DKJ atau Daerah Khusus Jakarta saja sebagai pusat perdagangan atau pusat ekonomi.
Wahyudi menilai, dengan membangun IKN itu risiko berikutnya atau konsekuensi imbasnya kepada posisi DKI sebagai ibu kota berubah atau dihilangkan jadi tidak ibu kota lagi.
“Semestinya sudah bukan daerah khusus lagi. Tapi mungkin dengan berbagai pertimbangan sehingga dijadikan daerah khusus tapi bukan ibu kota, hanya daerah khusus Jakarta dengan pusat kegiatan ekonomi,” ungkapnya.
Jika dilihat perubahan undang-undang itu, kata Wahyudi, dalan pasal 10 disebutkan bahwa nanti DKJ itu statusnya bukan ibu kota dan hanya sebagai pusat anglomerasi atau pusat ekonomi.
“Dan DKJ akan dipimpin juga oleh gubernur dan wakil gubernur, tapi dia ditunjuk, diangkat dan diberhentikan oleh presiden langsung dengan memperhatikan usulan DPRD, juga dia jabatannya selama 5 tahun dan dapat dipilih sekali lagi dan ketentuan-ketentuan lanjut diatur dengan PP atau peraturan pemerintah,” bebernya.
Menurut Wahyudi, hal ini akan jadi pintu masuknya oligarki dan justru tangan kekuatan makin kuat dalam rezim itu untuk memegang daerah.
“Jadi di sini menunjukkan bahwa pintu untuk menjadi otoriter semakin kuat bagi seorang presiden. Dia bisa menunjuk langsung, mengangkat dan memberhentikan langsung nanti kalau gubernurnya agak miring-miring dikit, ataupun tidak condong, beda pendapat bisa langsung diganti,” katanya.
Ini justru, menurutnya, tidak ada semangat otonomi daerah. “Justru membuka celah bagi pemerintah yang semakin otoriter. Saya pikir di rezim Jokowi, pemerintahan kita dibawa kepada sistem yang semakin otoriter dan cenderung dengan sistem penunjukan seperti itu, presiden bisa semakin ditaktor,” ungkapnya.
Wahyudi menilai ini akal-akalan rezim untuk semakin mencengkeram daerah dan juga semakin menguatkan pengaruhnya untuk menjadi otoriter dengan cara minimalis dan berkuasa secara maksimalis.
“Ini saya lihat gejala yang dimunculkan oleh pemerintahan rezim Jokowi. Dia ingin menjadi otoriter, menjadi ditaktor, dan ingin mencengkeram daerah, dengan penunjukan tersebut, biayanya jadi minimalis dan kekuasaannya menjadi maksimalis,” jelasnya.
Yang pasti dengan membuat Ibu Kota Nusantara tersebut, kata Wahyudi, yang pasti adalah memboroskan APBN dan justru ini bisa dikategorikan sebagai mengkhianati rakyat.
“Di saat ekonomi sedang tidak baik, di saat ekonomi buruk, di saat utangnya sangat banyak, di saat rakyat hidup susah, malah uang APBN, uang rakyat digunakan untuk membangun IKN yang tidak ada kebutuhan langsung sebagai kebutuhan dasar masyarakat,” ujarnya.
“Kan kalau kita lihat, nanti yang menempati IKN kan pejabat. Kalau kebutuhan masyarakat tentu kebutuhan dasar yang harus didahulukan yaitu pendidikan, kesehatan maupun sarana ekonomi,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it