Oleh: Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)
Sosial media tampaknya menjadi bencana buruk bagi mereka yang berbuat salah. Smartphone diikuti warganet sebagai user menjadikan arena pertarungan antar-anak manusia dalam dunia abu-abu, namun memberikan makna luar biasa. Tak jarang ujaran kebencian (hate speech) disalahartikan dan layaknya palu godam. Lebih-lebih bagi pihak berkepentingan.
Tampaknya publik lupa akar persoalan ‘ujaran kebencian’. Hal ini dikarenakan pihak yang berwenang fokus pada akibat, bukan pada penanggulangan. Jika jeli mengamati isu yang dijadikan pemukul ujaran kebencian biasanya terkait SARA, politik, pemerintahan, dan radikalisme. Fenomena penangkapan penyebar ujaran kebencian hanyalah kecil, dibandingkan pemancing ujaran kebencian.
Hal yang menarik bagi publik yaitu siapa yang menyulut ujaran kebencian ini? Begitu pula menentukan standar ujaran kebencian pun masih ganda? Bergantung penafsiran pengguna untuk memukul lainnya. Kondisi ini biasanya menyangkut alasan kepentingan politik dan pemecah belah.
Adapun standar ganda ‘ujaran kebencian’ ini dapat dianalisis sebagai berikut. Pertama, euforia pengguna sosial media demi mengekspresikan dirinya. Anggapannya tidak bertatap muka dan fisik, lebih mudah bagi seseorang untuk merendahkan orang lainnya. Perkembangan smartphone belum diikuti dengan kecerdasan manusia (smartman).
Kedua, ada asap berarti ada api. Api ujaran kebencian ini sengaja disulut untuk mengacaukan publik. Gerakan terstruktur, sistematis, dan massif dirancang demi kepentingan tertentu yang memang publik tidak pernah tahu.
Ketiga, perusahaan penyedia layanan sosial media di Indonesia tidak akan pernah menjadi subyek hukum. Meski hoax dan ujaran kebencian tersebar di sosial media, perusahaan itu tak pernah dikenai hukum. Sebaliknya rating semakin tinggi dan pendapatan iklan pun berjibun.
Keempat, dari sisi peraturan perundangan, definisi ujaran kebencian distandarkan pada selera pembuat aturan. Bukan standar dan definisi baku yang berlaku dalam rentan waktu yang lama. Penafsiran ujaran kebencian ini mudah saja diklaim dan digunakan untuk memukul lawan.
Kelima, liberalisasi kehidupan sosial menjadi landasan manusia untuk berbuat apa saja. Biasnya nilai agama dan tata krama menjadikan komunikasi antar manusia tak beradab. Ujaran kebencian menjadi tumpahan kekesalan pada kondisi kehidupan yang tak menentu.
Keenam, demi kepentingan politik dan popularitas, ujaran kebencian dijadikan alat pukul lawan politik. Peristiwa Pilpres Amerika Serikat, Pilpres Indonesia, Pilkada Jakarta, dan lainnya menjadi bukti nyata. Berubahnya pola komunikasi dan kampanye ke digital inilah yang memberikan dampak buruk. Bahkan ada yang gagal ‘move on’ karena jagoannya kalah.
Ketujuh, kemunculan cyber war menjadikan media sosial ramai dalam perbincangan ujaran kebencian. Mengingat masing-masing memiliki standar penafsiran. Terlebih, agama (Islam) yang sering dijadikan sasaran di Indonesia, mengingat mayoritas umat Islam. Seolah umat Islam ditekan dan dibungkam agar tidak beropini.
Kedelapan, ada pembiaran ujaran kebencian pada pemilik akun dan website yang sejalan kepentingan politik untuk memukul lawan. Sebaliknya, akun oposisi dihajar habis-habisan dan bersiap jeruji besi.
Standar ganda ujaran kebencian ini akan terus muncul pada era dekade digital ke depan. Upaya penanggulangan dengan membuat bendungan tampaknya belum berbuah manis. Karena bendungan itu akan terus diserang oleh gelombang air bah yang besar. Hal ini sejalan dengan gaya hidup manusia yang berubah dan berketergantungan dengan teknologi.
Di sisi lain, ujaran kebencian menjadi industri baru dalam dunia global. Bisnis yang menggiurkan dengan berjual data dan informasi. Bagi penguasa dari sisi politik, ujaran kebencian menjadi pola baru dalam mengokohkan kekuasaan dan menakuti lawan dengan julukan ‘ujaran kebencian’. Dunia ada dalam genggamanmu. Sosial media hanyalah alat. Bergantung manusia mau mempergunakan untuk apa? Kebaikan bagi sesama atau keburukan bagi umat manusia? Jawablah jujur dengan hati nurani.[]