Mediaumat.info – Mestinya tak hanya mengutus empat menterinya untuk menyelamatkan karyawan perusahaan tekstil PT Sritex agar tetap memiliki penghidupan, lebih dari itu pemerintah dinilai harus mengkaji ulang peraturan termasuk perjanjian perdagangan bebas dengan Cina.
“Pemerintah harus menerapkan kebijakan perdagangan dengan mengkaji ulang peraturan yang ada, termasuk FTA (Free Trade Agreement) dengan Cina,” ujar Peneliti dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak kepada media-umat.info, Ahad (27/10/2024).
Bukan tanpa dasar, salah satu langkah yang menurut Ishak strategis itu sekaligus untuk melindungi industri lokal lain dari praktik dumping, misalnya, yakni sistem penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah banyak dengan harga yang lebih murah daripada di dalam negeri.
Baru-baru ini diberitakan, Pengadilan Negeri (PN) Semarang telah menyatakan pailit terhadap raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex).
Pasalnya, Sritex mengalami kebangkrutan akibat kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran utang, yang memicu salah satu krediturnya, PT Indo Bharat Rayon, untuk mengajukan permohonan pailit.
Selama beberapa tahun terakhir, Sritex mencatat kerugian yang terus-menerus. Pada semester pertama 2023, perusahaan ini mengalami defisit modal, dengan total liabilitas mencapai USD1,57 miliar (sekitar Rp23,8 triliun) dibandingkan dengan aset yang hanya sekitar USD707,43 juta (sekitar Rp10,75 triliun).
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa utang jangka panjang perusahaan jauh melebihi aset yang dimiliki. Kinerja Sritex memburuk terutama karena penurunan daya saing industri tekstil domestik akibat banjirnya produk tekstil dari Cina.
Karena itu dalam hal mempelajari beberapa opsi dan skema penyelamatan, sebagaimana disampaikan sebelumnya, pemerintah harusnya mengkaji ulang perjanjian terutama terkait dengan CAFTA-China-ASEAN Free Trade Area (Kawasan Perdagangan Bebas Cina-ASEAN), yang merupakan kerangka kerja sama perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Cina.
Perjanjian ini ditandatangani di Pnom Pehn, Kamboja, pada 4 November 2002. Tujuannya adalah untuk pembentukan kawasan perdagangan bebas pada 1 Januari 2010.
Artinya, dari kesepakatan itu diharapkan akan terwujud kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun nontarif.
Di sisi lain, kata Ishak menambahkan, perusahaan lokal semacam Sritex juga menghadapi masalah struktural. “Biaya energi yang tinggi, suku bunga kredit yang tinggi, upah pekerja yang mahal, dan penggunaan teknologi yang kurang efisien,” bebernya.
Tak hanya itu, pangsa pasar produk Sritex di luar negeri juga turun karena penurunan permintaan dari negara-negara tujuan ekspor dan meningkatnya daya saing dari negara-negara pesaing seperti Cina, Vietnam, dan Bangladesh.
Tak ayal, kombinasi dari semua faktor ini menyebabkan Sritex terpuruk hingga menghadapi krisis keuangan dan akhirnya pailit.
Tingkatkan Daya Saing
Selain mengkaji ulang perjanjian yang merujuk pada CAFTA, kata Ishak lebih lanjut, pemerintah juga perlu mengambil langkah-langkah strategis lainnya untuk meningkatkan daya saing.
Pertama, meningkatkan dukungan terhadap industri lokal melalui pemberian subsidi untuk bahan baku dan energi, serta penghapusan pajak bagi perusahaan, termasuk pembebasan pajak impor untuk memudahkan investasi dalam teknologi baru.
Kedua, perbaikan infrastruktur transportasi dan logistik, yang menurut Ishak, penting untuk mengurangi biaya distribusi dan mempercepat waktu pengiriman barang.
Ketiga, meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan guna memperbaiki keterampilan tenaga kerja di sektor tekstil, sehingga pendidikan gratis hingga tingkat menengah juga menjadi penting.
Dan yang keempat, menjaga stabilitas ekonomi makro dengan mengendalikan inflasi dan memudahkan akses para pengusaha terhadap modal dengan menghapus mekanisme bunga, yang notabene transaksi yang diharamkan dan menzalimi para debitur. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat