Mediaumat.news – Peristiwa ambruknya bangunan SMPN 1 Pagelaran dan SMPN 1 Agrabinta, Cianjur, Jawa Barat (24/9), telah menuai sorotan sejumlah kalangan termasuk dari Analis Senior dari Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan. “Mungkin yang tidak beres adalah di dalam proses pelaksanaannya. Ada anggaran yang dikorupsi atau dijadikan bancakan oleh para pihak yang terlibat proyek,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Rabu (06/10/2021).
Seperti diketahui, setiap proyek yang dilakukan pemerintah, bisa dipastikan ada pembagian jatah untuk pihak-pihak yang ‘merasa berjasa’ mengegolkan suatu proyek. Mulai dari politisi di Senayan, pejabat di kementerian/lembaga terkait, sampai dengan para ‘preman’ yang kerap juga meminta jatah. “Konon katanya angka itu bisa sampai 30 persen dari nilai proyek,” ungkapnya.
Tak hanya itu, lanjut Fajar, yang juga patut dipertanyakan adalah bagaimana mungkin sebuah proyek renovasi yang sedang berjalan justru ambruk ketika dikerjakan.
Ia menilai ada ketidakberesan mulai dari perencanaan, anggaran, pelaksanaan dan pengawasan.”Jika ternyata pagu anggaran renovasinya sudah mencukupi dan sesuai standar, berarti ada spek (spesifikasi) yang diturunkan,” tambahnya.
Sementara, kejanggalan berupa kebocoran anggaran juga bisa menjadi faktor peristiwa tersebut. Sayangnya, itu hanya bisa diketahui dengan pembuktian melalui proses audit terlebih dahulu. Apakah kebocoran itu memang dari daerah atau mungkin sudah terjadi dari pusat, menurut Fajar tergantung modus operandinya.
Oleh karena itu, ia sepakat dengan bupati setempat yang mendesak untuk segera dilakukan proses audit. Sebab, kasus seperti itu ibarat fenomena gunung es yang menggambarkan kasus tidak terungkap pasti lebih banyak lagi.
Tidak Mudah
Fajar menuturkan, menghilangkan praktik korupsi yang sudah lama berjalan dan membudaya bukanlah hal mudah. Terbukti, dengan adanya KPK pun, belum menyurutkan niat orang untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Meski demikian, ia yakin, suksesnya menghilangkan budaya korupsi yang sudah membudaya, setidaknya perlu tiga pendekatan yang dapat dilakukan. Pertama, karena seringkali praktik korupsi didorong political cost yang tinggi, maka sistem politik dan ketatanegaraan harus diubah. Sehingga, seorang pejabat yang diangkat bukan karena kemampuan finansialnya. Tetapi betul-betul karena amanah dan tanggung jawab.
Kedua, hanya memilih para pejabat yang mempunyai ketakwaan tinggi. Ia melihat, upaya tersebut amat penting sebab, praktik korupsi terjadi bukan hanya karena ada kesempatan, tetapi seringkali karena faktor niat.
Ketiga, menegakkan hukum yang membuat orang jera melakukan praktik korupsi. Fajar menegaskan, bagaimanapun juga, tindak pidana korupsi termasuk extra ordinary crime yang pelakunya harus dihukum dengan hukuman yang terberat. Bahkan jika perlu, dengan hukuman mati atau yang sesuai dengan perintah syara’.
“Dengan hukuman yang berat, tentu orang setidaknya akan berpikir ribuan kali sebelum melakukan tindak pidana korupsi,” pungkasnya.[] Zainul Krian