Sorotan Seputar Rencana Afirmasi Hak Beragama Warga Syiah dan Ahmadiyah
Oleh: Fajar Kurniawan (analis senior PKAD)
Sebagaimana dikutip dari tempo.co (Jum’at, 25/12/2020) Rencana afirmasi hak beragama warga Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia mencuat setelah Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra meminta agar pemerintah mengafirmasi urusan minoritas. Hal ini disampaikan secara daring pada forum Professor Talk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Selasa, 15 Desember 2020. Merespon permintaan tersebut, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyebut bahwa mereka juga warga negara yang harus dilindungi. Menurut Yaqut, dia tidak berbicara secara lugas soal rencana afirmasi. “Itu bukan pernyataan saya. Pernyataan saya ini: pertama, mereka warga negara yang harus dilindungi. Kedua, perlu dialog lebih intensif untuk menjembatani perbedaan, kemenag akan memfasilitasi,” ujar Yaqut lewat pesan singkat, Rabu, 25 Desember 2020. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung tahun 2008, disebutkan jemaah Ahmadiyah dilarang menyebarluaskan paham mereka. Sampai saat ini SKB tersebut belum dicabut. Ditanya ihwal kemungkinan mencabut SKB 3 Menteri tersebut, Yaqut menyebut belum ada pembahasan terkait hal itu. “Saya akan pelajari terlebih dahulu SKB-nya sebelum menjawab pertanyaan ini,” ujarnya.
Catatan
Kemunculan Ahmadiyah dan berbagai aliran sesat lainnya – termasuk berbagai penistaan terhadap Islam dan simbol-simbolnya – menunjukkan bahwa negara tidak sungguh-sungguh menjaga akidah Islam. Hal itu karena negara saat ini dibangun di atas asas sekularisme yang memisahkan urusan negara dengan agama. Urusan agama dan keyakinan dianggap sebagai urusan pribadi. Negara tidak boleh turut campur. Karena itulah aliran sesat hanya akan diproses jika ada pengaduan dari masyarakat atau jika sudah menimbulkan masalah serius di masyarakat. Kalaupun dilakukan penindakan maka itu bukan untuk menjaga dan melindungi akidah Islam, tetapi untuk menjaga keamanan dan kestabilan.
Persoalan ini harus segera diselesaikan dengan tuntas. Jika terbukti menyimpang dan sesat, aliran sesat harus segera dilarang, dibubarkan organisasinya dan seluruh aktivitasnya dihentikan.
Warga eks aliran sesat harus dibina agar kembali pada Islam (ruju’ ila al-haqq). Kepada mereka harus dijelaskan dan dibantah penyimpangan-penyimpangan ajaran. Akidah dan ajaran Islam yang benar harus dijelaskan kepada mereka dengan disertai argumentasi dan bukti, dengan mengaktifkan akal pikiran mereka dan melibatkan perasaan mereka, sehingga akidah dan ajaran Islam itu tertanam kuat pada diri mereka.
Mereka juga harus difasilitasi dan dibantu untuk bisa membangun kehidupan yang baru. Para pengurusnya dan yang menyebarkan ajaran yang menyimpang itu harus ditindak dan dihukum. Penyimpangan ajaran mereka dengan tetap mencatut Islam jelas merupakan penistaan terhadap Islam. Jika terbukti, mereka harus dihukum berat.
Selain itu, dalam jangka panjang harus diusahakan agar masalah seperti itu tidak terus muncul dan berulang. Problem mendasar yang menjadi faktor terulangnya masalah ini adalah karena negara tidak berperan menjadi penjaga akidah Islam. Sebabnya, negara saat ini dibangun di atas asas sekularisme, pemisahan agama dari negara dan pengaturan kehidupan.
Hanya jika negara dibangun di atas landasan akidah Islam dan menerapkan syariah Islam, masalah aliran sesat, penyimpangan dari Islam dan penistaan terhadap Islam tidak akan muncul. Dalam perspektif Islam, salah satu tugas utama pemerintah adalah membina, menjaga dan melindungi akidah umat dari segala bentuk penyimpangan, pendangkalan dan pengaburan serta penodaan. Negara wajib secara terus-menerus membina keislaman seluruh rakyat. Negara wajib mengajarkan dan mendidik masyarakat tentang akidah dan ajaran Islam baik melalui pendidikan formal maupun informal. Bahkan hal itu menjadi salah satu tugas utama negara menurut Islam. Ketika akidah umat kuat dan mereka paham ajaran Islam yang benar, mereka tidak akan terjerumus dalam ajaran sesat.
Di sisi lain, penerapan syariah Islam dalam ekonomi akan bisa mewujudkan pemerataan kekayaan secara adil. Melalui hukum-hukum Islam tentang kepemilikan harta, tentang pengembangan kepemilikan dan pengembangan harta serta hukum tentang pendistribusian kekayaan di tengah masyarakat, Islam akan mampu mewujudkan pemerataan kesejahteraan kepada seluruh rakyat. Jika masyarakat sejahtera, orang tentu tak akan terjerumus ke dalam aliran sesat akibat faktor ekonomi.
Dari sisi penegakan hukum, syariah akan bisa menghentikan pelaku penistaan terhadap Islam dan penyebar aliran sesat sehingga mereka kembali pada kebenaran dan jera tidak akan melakukannya lagi. Para ulama dan fuqaha sepakat bahwa hukuman bagi penghina Islam adalah hukuman mati jika dia tidak mau bertobat. Jika dia bertobat maka dia tak dihukum mati, tetapi tetap bisa dijatuhi sanksi sebagai ‘pelajaran’ kepada dia sesuai dengan ketetapan Khalifah atau qadhi, dengan memperhatikan tingkat penghinaannya. Hukuman yang tegas itu akan bisa memberi efek jera kepada pelakunya dan akan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Penyimpangan dan kesesatan bisa menyebabkan pelakunya murtad/keluar dari Islam. Misalnya, dengan menolak kewajiban shalat lima waktu, puasa, haji, dsb; meyakini ada nabi setelah nabi Muhammad saw; meyakini masih ada wahyu setelah al-Quran dan sebagainya. Pelakunya – jika tidak mau bertobat kembali pada Islam dan meninggalkan keyakinan itu – dihukum mati. Rasul saw. bersabda:
« مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ»
Siapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah (HR al-Bukhari, an-Nasai, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Semua itu akan bisa menuntaskan masalah aliran sesat yang tidak bisa dituntaskan dalam sistem saat ini. Semua itu hanya bisa terwujud jika syariah islamiyah diterapkan secara menyeluruh dan formal melalui kekuasaan negara.[]