Solusi Kemiskinan Ekstrem Perspektif Politik Ekonomi Islam

 Solusi Kemiskinan Ekstrem Perspektif Politik Ekonomi Islam

Disajikan Oleh: Umar Fadilah, M.M.

Berdasarkan data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2021, jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia mencapai 4,8 persen dari 27,54 juta  penduduk miskin nasional. Dari data tersebut, penduduk miskin ekstrem terbanyak ada di tiga provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Jawa Barat menempati posisi teratas dengan jumlah penduduk miskin ekstrem mencapai 1,78 juta atau 3,6 persen dari jumlah penduduk, diikuti Jawa Timur 1,74 juta (4,4 persen) dan Jawa Tengah 1,52 juta (4,4 persen).  Sementara di Jawa Barat sendiri terdapat lima kabupaten dengan angka kemiskinan ekstrem tertinggi, yakni Kabupaten Bandung, Cianjur, Kuningan, Indramayu, dan Karawang. Total jumlah penduduk miskin ekstrem di lima wilayah tersebut mencapai 460.327 jiwa dengan total jumlah rumah tangga miskin ekstrem sebanyak 107.560 rumah tangga. Jumlah tersebut terdiri atas Kabupaten Cianjur dengan jumlah penduduk miskin ekstrem 90.480 jiwa (4 persen); Kabupaten Bandung 93.480 jiwa (2,46 persen); Kabupaten Kuningan 69.090 jiwa (6,36 persen); Kabupaten Indramayu 106.690 jiwa (6,15 persen); serta Kabupaten Karawang 106.780 jiwa (4,51 persen). Adapun jumlah penduduk miskin ekstrem di ibu kota provinsi Jawa Barat, yakni Kota Bandung, mencapai 43.000 jiwa (1,7 persen).

Menurut definisi Perserikatan Bangsa-Bangsa, kemiskinan ekstrem adalah suatu kondisi yang langka akan kebutuhan dasar manusia, termasuk makanan, air minum bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan informasi. Menggunakan estimasi konsumsi atau keseimbangan kemampuan berbelanja yang dikonversi ke dalam dolar AS Purchasing Power Parity (PPP), Bank Dunia menetapkan standar global berupa dua set batasan kemiskinan internasional, yakni USD1,90 PPP sebagai batas kemiskinan ekstrem dan USD3,20 PPP sebagai batas kemiskinan. Angka konversi PPP menunjukkan banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah kebutuhan barang dan jasa dengan jumlah yang sama dibandingkan dengan barang dan jasa yang dapat dibeli dengan harga satu dolar AS. Jika diasumsikan satu dolar AS sama dengan Rp14.286,05 (25/11/2021), maka penduduk miskin adalah penduduk yang berpendapatan kurang dari Rp45.715,36, sedangkan penduduk miskin ekstrem adalah penduduk yang berpendapatan kurang dari Rp27.143,495.

Untuk menanggulangi kemiskinan ekstrem di Jawa Barat, Wakil Presiden Ma’ruf Amin memimpin Rapat Penanggulangan Kemiskinan Ekstrem di Jawa Barat secara virtual pada Rabu (29/9/2021) yang dihadiri oleh Gubernur Jawa Barat beserta Bupati Cianjur, Bupati Bandung, Bupati Kuningan, Bupati Indramayu, dan Bupati Karawang, lima daerah yang ditetapkan sebagai wilayah prioritas penanggulangan kemiskinan ekstrem di Jawa Barat pada tahun ini. Wapres menegaskan, anggaran bukanlah isu utama dalam penanggulangan kemiskinan ekstrem di tanah air.  Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana membuat program-program penanggulangan kemiskinan menjadi konvergen dan terintegrasi untuk menyasar sasaran yang sama. Konvergensi yang dimaksud adalah upaya untuk memastikan agar seluruh program penanggulangan kemiskinan ekstrem, mulai dari tahap perencanaan, penentuan alokasi anggaran, penetapan sasaran, dan pelaksanaan program tertuju pada satu titik atau lokus yang sama, baik itu secara wilayah maupun target masyarakat yang berhak.

Wapres juga menyampaikan bahwa dalam upaya penanggulangan kemiskinan ekstrem hingga akhir 2021, pemerintah telah berkomitmen untuk mempercepat pelaksanaannya. Salah satunya dengan menambah alokasi anggaran yang secara khusus diprioritaskan pada lima kabupaten tersebut melalui bantuan sosial tunai dalam kerangka pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebagai respon terhadap dampak pandemi Covid-19. Sehubungan dengan itu, Wapres secara khusus meminta Gubernur Jawa Barat dan para bupati dari lima kabupaten prioritas untuk segera memastikan data kelompok penerima manfaat (KPM) yang akan menerima  bantuan sosial tunai. Wapres juga meminta agar seluruh rumah tangga miskin ekstrem mendapatkan seluruh program, baik program pengurangan beban pengeluaran masyarakat maupun program pemberdayaan masyarakat. Dunia usaha di wilayah prioritas pun diminta untuk berpartisipasi dalam upaya pengurangan kemiskinan ekstrem dengan mendorong konvergensi program Corporate Social Responsibility (CSR) dengan menggunakan pendekatan dan sasaran yang sama dengan program pemerintah, sehingga target tingkat kemiskinan ekstrem nol persen pada 2024 dapat tercapai.

Ironi Kemiskinan di Lumbung Padi

Terjadinya kemiskinan ekstrem di tiga provinsi di Pulau Jawa dan khususnya di lima kabupaten di Jawa Barat merupakan sebuah ironi. Bagaimana tidak? Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat merupakan provinsi penghasil padi terbesar atau lumbung padi nasional pada tahun 2020 dan juga tahun ini. Berdasarkan data BPS, ketiga provinsi tersebut mampu menghasilkan 28,45 juta ton gabah kering giling (GKG). Jumlah itu setara dengan 52,6 persen dari total produksi GKG nasional yang mencapai 54,65 juta ton.  Jika dikonversi menjadi beras, maka ketiga provinsi tersebut mampu memproduksi 16,32 juta ton beras. Jumlah itu lebih dari separuh total produksi beras di tanah air yang mencapai 31,33 juta ton. Secara rinci, Jawa Timur mampu menghasilkan 9,94 juta ton GKG atau setara dengan 5,71 juta ton beras, Jawa Tengah 9,49 juta ton GKG atau setara dengan 5,43 juta ton beras, dan Jawa Barat 9,21 juta ton GKG atau setara dengan 5,30 juta ton beras. Dan pada tahun 2021 ini, BPS memperkirakan adanya kenaikan produksi padi yang mencapai 55,27 juta ton GKG, meningkat 1,14 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Jika dikonversikan menjadi beras, maka produksi beras pada 2021 mencapai 31,69 juta ton beras, meningkat 1,12 persen dibandingkan tahun 2020.

Di Jawa Barat, tiga kabupaten yang termasuk ke dalam lima kabupaten dengan angka kemiskinan ekstrem tertinggi, yakni Kabupaten Karawang, Indramayu, dan Cianjur merupakan lumbung padi Jawa Barat, bahkan lumbung padi nasional. Kabupaten Indramayu merupakan wilayah penghasil padi terbesar di Jawa Barat, yakni sebesar 1,36 juta ton GKG atau 14,78 persen dari total produksi selama tahun 2020. Kabupaten Karawang di posisi kedua dengan produksi GKG mencapai 1,19 juta ton (12,94 persen). Kabupaten Cianjur di posisi keempat dengan produksi GKG mencapai 645 ribu ton (7,00 persen). Adapun Kabupaten Bandung dan Kuningan masing-masing dengan produksi GKG mencapai 316 ribu ton (2,34 persen) dan 253 ribu ton (2,75 persen).

Tingginya angka kemiskinan ekstrem  berkorelasi dengan ketimpangan ekonomi penduduk yang ditunjukkan dengan meningkatnya gini ratio.  Gini ratio menggambarkan ketimpangan pengeluaran penduduk.  Nilai gini ratio berada di antara 0 dan 1.  Semakin tinggi gini ratio atau semakin mendekati angka 1, maka akan semakin tinggi ketimpangan. Sebaliknya, semakin rendah angkanya atau semakin mendekati angka 0, maka pengeluaran semakin merata. Secara nasional, BPS mencatat gini ratio Indonesia naik dari 0,381 pada Maret 2020 menjadi 0,384 pada Maret 2021. Kenaikan gini ratio ini sejalan dengan kenaikan jumlah penduduk miskin di Indonesia dari 26,42 juta pada Maret 2020 menjadi 27,54 juta pada Maret 2021.  Berdasarkan provinsi, peningkatan gini ratio tertinggi terjadi di Jawa Barat sebesar 0,014 poin dari 0,398 pada September 2020 menjadi 0,412 pada Maret 2021. Ini menunjukkan bahwa selama pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari satu setengah tahun ini tingkat ketimpangan ekonomi penduduk Jawa Barat semakin lebar. Hal ini selaras pula dengan kenaikan tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Jawa Barat sebesar 8,92 persen pada Februari 2021, meningkat 1,21 persen dibandingkan Februari 2020. Ini menyebabkan Jawa Barat menempati peringkat dua nasional sebagai provinsi dengan TPT tertinggi setelah Riau.

Tingginya jumlah penduduk miskin ekstrem, ketimpangan ekonomi yang lebar, dan tingginya angka pengangguran di Jawa Barat ini tentunya tidak sesuai dengan slogan Provinsi Jawa Barat “Jabar Juara Lahir Batin”. Lantas, ada apa dengan Jawa Barat sehingga mengalami kondisi seperti ini?

Target Nol Persen Kemiskinan Ekstrem: Realistiskah?

Pemerintah menargetkan angka kemiskinan ekstrem di Tanah Air dapat mencapai nol persen pada tahun 2024 mendatang. Target tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas bersama sejumlah jajaran Menteri Kabinet Indonesia Maju pada Kamis (18/11/2021). Upaya pemerintah untuk mencapai target tersebut adalah dengan mengeluarkan kebijakan makro dan mikro.  Kebijakan makro berupa menjaga stabilitas makro ekonomi, stabilisasi harga, penciptaan lapangan kerja produktif, menjaga iklim investasi, regulasi perdagangan, meningkatkan produktivitas sektor pertanian, dan pengembangan infrastruktur di wilayah tertinggal.  Adapun kebijakan mikro dibagi menjadi dua, yakni: (1) Kebijakan menurunkan beban pengeluaran berupa Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)/sembako, Bantuan Tunai Bersyarat, Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Kartu Indonesia Sehat, dan Bantuan Tunai Pendidikan Kartu Indonesia Pintar; (2) Kebijakan meningkatkan pendapatan berupa peningkatan akses permodalan, peningkatan aset produktif (seperti lahan); pengembangan keterampilan dan layanan usaha; dan pengembangan kewirausahaan, kemitraan, dan keperantaraan. Untuk tahun ini program yang didorong adalah pemberian BLT Desa sebesar Rp300 ribu/bulan selama tiga bulan kepada 694 keluarga penerima manfaat (KPM) dan Program Kartu Sembako kepada 1,4 juta sasaran yang akan dilaksanakan pada bulan Desember.

Target pemerintah untuk mencapai nol persen kemiskinan ekstrem pada 2024 ini dinilai tidak realistis oleh Direktur Eksekutif Center of Reform on Economcs (CORE) Indonesia Muhammad Faisal. Menurutnya, target nol persen merupakan target luar biasa karena negara maju sekalipun sulit untuk bisa mengentaskan kemiskinan sampai nol persen walaupun tingkat kemiskinannya kecil, apalagi di negeri seperti Indonesia. Masyarakat yang termasuk dalam kategori miskin ekstrem lebih sulit untuk ditekan.  Pasalnya, masyarakat ini sulit untuk menjangkau akses bansos pemerintah karena kebanyakan tinggal di wilayah terpencil, dan seringkali pemerintah daerah setempat enggan untuk menjangkau mereka. Akibatnya, banyak bansos yang tidak tepat sasaran. Maka dari itu, untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem tidak cukup dengan diberikan bantuan berupa uang, namun pemerintah harus memberi mereka akses dan fasilitas untuk bisa memiliki penghasilan sendiri.

Hal senada juga disampaikan oleh pakar kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran, Didin Muhafidin yang menyatakan bahwa target tersebut hanya mimpi saja. Kebijakan ekonomi pemerintah masih bersifat parsial dengan program yang tumpang tindih, tidak ada kolaborasi dan sistemisasi. Apalagi, kebijakan penanganan pandemi pun belum berdampak pada pemulihan ekonomi.

Jika dikaji, memang mustahil mewujudkan target penurunan kemiskinan ekstrem hingga nol persen jika kebijakan pemerintah masih menggunakan paradigma kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme yang saat ini banyak diterapkan negara-negara dunia, kemakmuran suatu negara diukur berdasarkan pertumbuhan ekonomi.  Faktor produksi modal dan tenaga kerja dianggap memberikan sumbangsih bagi pertumbuhan ekonomi dalam ukuran pendapatan per kapita.  Berdasarkan hal ini, maka negara-negara di dunia sibuk meningkatkan produksi dan mengikuti berbagai pakta perdagangan agar dapat menghasilkan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP) yang tinggi dan meningkatkan pendapatan per kapita demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Di balik upaya dunia berusaha menggenjot pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan per kapita, justru dalam empat dekade terakhir ini negara-negara di dunia tengah menghadapi permasalahan serius seputar pemerataan ekonomi yang semakin lama semakin mengkhawatirkan.  Pertumbuhan ekonomi yang tinggi – walaupun selama pandemi mengalami penurunan – selama tidak diikuti oleh pemerataan ekonomi yang memadai akan menciptakan ketimpangan ekonomi yang memprihatinkan. Yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah miskin, bahkan rakyat miskin ekstrem semakin bertambah jumlahnya. Indikasi dari hal ini adalah meningkatnya gini ratio atau rasio ketimpangan.

Masalah ketimpangan ekonomi dan kemiskinan tidak hanya dialami oleh negara miskin dan berkembang saja, bahkan negara maju dengan GNP yang tinggi juga mengalami hal yang sama.  Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak secara otomatis melahirkan distribusi pendapatan yang adil dan merata. Yang ada justru ketimpangan ekonomi yang semakin lebar dan dalam. Hal ini tentu saja merupakan ironi dari sistem ekonomi kapitalisme yang menjanjikan pertumbuhan harta kekayaan dan keberlimpahan.  Dunia internasional bahkan mulai menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi dengan fokus pada peningkatan GNP tidak dapat lagi menjadi fokus tunggal dalam pembangunan ekonomi.  Berbagai pertemuan internasional telah dilakukan untuk membahas upaya pengentasan kemiskinan dan distribusi pendapatan penduduk agar kesenjangan ekonomi tidak terus melebar. Namun usaha ini tampaknya sia-sia karena hingga detik ini masalah kemiskinan masih terus terjadi.

Selama fokus perhatian tetap terarah pada peningkatan produksi tapi mengabaikan distribusi kekayaan yang selama ini terjadi dalam sistem kapitalisme, maka kemiskinan akan terus terjadi.  Sumber daya alam dan komoditas strategis yang seharusnya milik umum justru dikuasai dan dimonopoli oleh para pemilik modal. Hal ini umum terjadi dalam sistem kapitalisme yang menjamin dan melindungi kebebasan hak milik individu untuk menguasai apapun, termasuk barang-barang kepemilikan umum (public property), seperti ladang-ladang minyak, tambang-tambang besar, pelabuhan, jalan tol, barang-barang yang menjadi hajat hidup orang banyak, dan sebagainya.  Pembangunan yang bersandar pada paradigma ini jelas akan mengakibatkan terjadinya akumulasi kekayaan yang melimpah ruah pada segelintir orang, sementara di sisi lain ada rakyat yang tidak dapat menikmati hasil pembangunan sehingga masuk ke dalam lubang kemiskinan, bahkan kemiskinan ekstrem.

Belum lagi utang riba dari lembaga-lembaga internasional semisal IMF dan Bank Dunia yang menyebabkan kas negara terkuras habis untuk membayar utang plus bunganya. Aset sumber daya alam pun terampas sebagai kompensasi pembayaran utang. Negara pun akan menarik berbagai pajak dan pungutan pada rakyat, memangkas berbagai pelayanan publik, termasuk mengurangi subsidi. Dan tentu saja ini akan menyebabkan kemiskinan terus berlangsung dan rakyat tetap terjerat di dalamnya.

Perilaku aparatur negara pun memberikan “sumbangan” sehingga target nol persen semakin sulit terealisasi. Dana bantuan sosial (bansos) untuk program JKN, KIS, PKH, BPNT, dan kartu sembako malah dikorupsi, bahkan dari kalangan pejabat negara sendiri. Dengan dana bansos yang disunat itu tentunya ada rakyat miskin tidak mendapatkan dana bansos atau mendapatkan dana bansos dengan jumlah yang tidak seharusnya. Jika tidak ada hukuman yang tegas kepada pelaku korupsi ini, maka pengentasan kemiskinan ekstrem semakin sulit dilakukan.

Selain itu, peranan negara dalam sistem kapitalisme hanya sebagai fasilitator dan regulator. Peran negara semacam ini jelas telah menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat. Akhirnya, rakyat dibiarkan berkompetisi secara bebas dalam masyarakat. Realitas adanya orang yang kuat dan yang lemah, yang sehat dan yang cacat, yang tua dan yang muda, dan sebagainya, diabaikan sama sekali. Yang berlaku kemudian adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang dan berhak hidup.

Selama sistem kapitalisme masih diterapkan, selama itu pula kemiskinan akan terus terjadi.  Dan untuk mengatasi kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstrem, tentu saja harus ada perubahan secara mendasar, yakni perubahan sistem.

Islam: Solusi Kemiskinan Ekstrem

Islam memandang bahwa masalah kemiskinan adalah masalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer (pokok) secara menyeluruh. Syariat Islam telah menentukan kebutuhan primer itu (yang menyangkut eksistensi manusia) berupa tiga hal, yaitu sandang, pangan, dan papan. Allah SWT berfirman,

“Kewajiban ayah adalah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (TQS. al-Baqarah [2]: 233).

“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal sesuai dengan kemampuanmu.” (TQS. ath-Thalaq [65]: 6)

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa tiga perkara, yaitu sandang, pangan, dan papan, tergolong pada kebutuhan primer yang berkait erat dengan kelangsungan eksistensi manusia. Apabila kebutuhan primer ini tidak terpenuhi, maka dapat berakibat pada kehancuran atau kemunduran eksistensi manusia. Dengan demikian, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dapat digolongkan pada kelompok orang-orang yang fakir ataupun miskin. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengkategorikan orang yang punya harta (uang), tetapi tak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya sebagai orang fakir. Sementara itu, orang miskin adalah orang yang tak punya harta (uang), sekaligus tak punya penghasilan (Nidzamul Iqtishadi fil Islam, hlm. 236, Darul Ummah-Beirut).

Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, munculnya kemiskinan adalah dampak dari buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Kesejahteraan rakyat dapat terwujud dengan penerapan sistem Islam yang sahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut, yakni Khilafah Islamiyah. Islam memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan, baik kemiskinan alamiah, kultural, maupun struktural. Namun, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan yang bersifat terpadu. Solusi Islam untuk menyelesaikan masalah kemiskinan adalah sebagai berikut:

  1. Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok (Primer)

Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan pokok dengan menjadikan negara sebagai penjamin pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Selain kebutuhan pokok individu, negara pun menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, yakni  kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dalam Islam diwujudkan dalam mekanisme sebagai berikut:

 

  1. a) Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah kepada Diri dan Keluarganya

Islam mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Allah SWT berfirman, “Maka berjalanlah ke segala penjuru, serta makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” (TQS. al-Mulk [67]: 15).

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Salah seorang di antara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya.” (HR. Bukhari)

Ayat dan hadis di atas menunjukkan adanya kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 233 dan surat ath-Thalaq ayat 6 di atas. Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka.

 

  1. b) Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya

Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja. Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah untuk membantu mereka. Allah SWT berfirman, “Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Waris pun berkewajiban demikian…” (TQS. al-Baqarah [2]: 233).

Maksud dari ayat di atas adalah seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah dari segi nafkah. Yang dimaksud waris di sini bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi, melainkan yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris. Jadi, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah beralih ke kerabat dekatnya yang memiliki kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki kelebihan harta tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.

 

  1. c) Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin

Dalam kondisi seseorang yang tidak mampu tidak memiliki kerabat atau dia memiliki kerabat  tetapi hidupnya pas-pasan, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara). Negara melalui Baitul Mal berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami.” (HR. Imam Muslim). Yang dimaksud kalla adalah orang yang lemah, tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua.

Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat. Allah SWT berfirman, “Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin…” (TQS. at-Taubah [9]: 60). Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib mencarinya dari kas lain dari Baitul Mal.

 

  1. d) Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin

Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum muslim secara kolektif. Allah SWT berfirman, “Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bagian.” (TQS. adz-Dzariyat [51]: 19).

Rasulullah saw. juga bersabda, “Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, lalu di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wa Ta’ala terlepas dari mereka.” (HR. Ahmad)

“Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.” (HR. Bazzar)

Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika dalam jangka waktu tertentu pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan.

 

  1. Pengaturan Kepemilikan

Pengaturan kepemilikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini sedemikian rupa sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan. Bahkan, pengaturan kepemilikan dalam Islam memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi dengan sangat mudah. Pengaturan kepemilikan yang dimaksud mencakup tiga aspek, yaitu jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat.

  1. Jenis-jenis Kepemilikan

Syariat Islam mendefinisikan kepemilikan sebagai izin dari asy-Syari’ (Pembuat Hukum) untuk memanfaatkan suatu zat atau benda. Terdapat tiga macam kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

  1. Kepemilikan individu
    Kepemilikan individu adalah izin dari Allah SWT kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu. Allah SWT telah memberi hak kepada individu untuk memiliki harta, baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Tentu sepanjang harta tersebut diperoleh melalui sebab-sebab yang dibolehkan, misalnya hasil kerja, warisan, pemberian negara, hadiah, dan lain-lain. Adanya kepemilikan individu ini menjadikan seseorang termotivasi untuk berusaha mencari harta guna mencukupi kebutuhannya. Sebab, secara naluriah manusia memang memiliki keinginan untuk memiliki harta. Dengan demikian, seseorang akan berusaha agar kebutuhannya tercukupi. Dengan kata lain, dia akan berusaha untuk tidak hidup miskin.
  2. Kepemilikan umum
    Kepemilikan umum adalah izin dari Allah SWT kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Aset yang tergolong kepemilikan umum ini tidak boleh sama sekali dimiliki secara individu atau dimonopoli oleh sekelompok orang. Aset yang termasuk jenis ini adalah: Pertama, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital masyarakat, dan akan menyebabkan persengketaan jika ia lenyap, misalnya padang rumput, air, pembangkit listrik, dan lain-lain; Kedua, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu, misalnya sungai, danau, laut, jalan umum, dan lain-lain; Ketiga, barang tambang yang depositnya sangat besar, misalnya emas, perak, minyak, batu bara, dan lain-lain.
    Dalam praktiknya, kepemilikan umum ini dikelola oleh negara dan hasilnya (keuntungannya) dikembalikan kepada masyarakat. Bisa dalam bentuk harga yang murah atau bahkan gratis, dan lain-lain. Adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini jelas menjadikan aset-aset strategis masyarakat dapat dinikmati bersama-sama, tidak dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga yang lain tidak memperoleh apa-apa, sebagaimana yang tejadi dalam sistem kapitalisme. Dengan demikian, masalah kemiskinan dapat dikurangi, bahkan diatasi dengan adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini.
  3. Kepemilikan negara
    Kepemilikan negara adalah setiap harta yang menjadi hak kaum muslim, tetapi hak pengelolaannya diwakilkan pada khalifah (sesuai dengan ijtihadnya) sebagai kepala negara. Aset yang termasuk jenis kepemilikan ini di antaranya adalah fa’i, kharaj, jizyah, pabrik-pabrik yang dibuat negara, misalnya, pabrik mobil, mesin-mesin, dan lain-lain. Adanya kepemilikan negara dalam Islam jelas menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan dan aset-aset yang cukup banyak. Dengan demikian, negara akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat, termasuk di dalamnya adalah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat miskin.

2. Pengelolaan Kepemilikan

Pengelolaan kepemilikan dalam Islam mencakup dua aspek, yaitu pengembangan harta (tanmiyatul mal) dan penginfaqkan harta (infaqul mal). Baik dalam pengembangan harta maupun penginfaqkan harta, Islam telah mengatur dengan berbagai hukum. Misalnya, Islam melarang seseorang untuk mengembangkan hartanya dengan cara ribawi atau melarang seseorang bersifat kikir, dan sebagainya. Atau misalnya, Islam mewajibkan seseorang untuk menginfaqkan (menafkahkan) hartanya untuk anak dan istrinya, untuk membayar zakat, dan lain-lain. Jelaslah, bahwa dengan adanya pengaturan pengelolaan kepemilikan akan menjadikan harta itu beredar, perekonomian menjadi berkembang, dan kemiskinan bisa diatasi.

3. Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Masyarakat

Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya kemiskinan. Oleh karena itu, masalah pengaturan distribusi kekayaan ini menjadi kunci utama penyelesaian masalah kemiskinan. Dengan mengamati hukum-hukum syara yang berhubungan dengan masalah ekonomi, akan kita jumpai secara umum hukum-hukum tersebut senantiasa mengarah pada terwujudnya distribusi kekayaan secara adil dalam masyarakat. Apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang jenis-jenis kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan, jelas sekali secara langsung atau tidak langsung mengarah kepada terciptanya distribusi kekayaan. Kita juga dapat melihat, misalnya, dalam hukum waris. Secara terperinci syariat mengatur kepada siapa harta warisan harus dibagikan. Jadi, seseorang tidak bisa dengan bebas mewariskan hartanya kepada siapa saja yang dikehendaki. Sebab, bisa berpotensi pada pendistribusian harta yang tidak adil.

Lebih dari itu, negara berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada seseorang yang mampu untuk mengelolanya. Bahkan, setiap individu berhak menghidupkan tanah mati dengan menggarapnya, yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Semua itu menggambarkan bagaimana syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumber daya alam dan sumber daya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah kemiskinan.

  1. Penyediaan Lapangan Kerja

Menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Hal ini menyandar pada keumuman hadis Rasululah saw., “Seorang iman (pemimpin) adalah ra’in, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas urusannya (rakyatnya).” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang, kemudian Beliau saw. bersabda, “Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikianlah, ketika syariat Islam mewajibkan seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, maka syariat Islam pun mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif sehingga kemiskinan dapat teratasi.

  1. Penyediaan Layanan Pendidikan

Masalah kemiskinan sering muncul akibat rendahnya kualitas sumber daya manusia, baik dari sisi kepribadian maupun keterampilan. Inilah yang disebut dengan kemiskinan kultural. Masalah ini dapat diatasi melalui penyediaan layanan pendidikan oleh negara. Hal ini dimungkinkan karena pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya berkepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki keterampilan untuk berkarya.

Syariat Islam telah mewajibkan negara untuk menyediakan layanan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Sebab, pendidikan memang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat. Layanan pendidikan ini akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan selanjutnya akan mewujudkan individu-individu yang kreatif, inovatif, dan produktif. Dengan demikian, kemiskinan kultural akan dapat teratasi.

 

Khatimah

Islam sebagai sebuah ideologi yang sahih memiliki cara-cara yang lengkap untuk mengatasi berbagai problem manusia, termasuk problem kemiskinan. Dari pembahasan ini, tampak bagaimana keandalan Islam dalam mengatasi problem kemiskinan. Dengan demikian, persoalan kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstrem akan bisa terselesaikan jika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Apabila saat ini kita menyaksikan banyak kemiskinan yang justru melanda umat Islam, hal itu disebabkan mereka tidak hidup dalam naungan Islam. Allah SWT berfirman, “Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (TQS. Thahaa [20]: 124).

Wallahu a’lam bishshawwab.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *