Solusi Hakiki Masalah Palestina
[Buletin Kaffah No. 20, 3 Rabiul Akhir 1439 H-22 Desember 2017 M]
Pada hari Rabu 13 Desember 2017 diselenggarakan KTT luar biasa OKI di Istanbul Turki atas undangan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan. KTT tersebut membahas perkembangan yang terjadi akibat pengumuman Presiden AS Donald Trump pada 7 Desember 2017 yang mengakui al-Quds (Yerussalem) sebagai ibukota negara Yahudi Israel.
KTT OKI diselenggarakan hanya enam hari setelah pengumuman Trump dan dihadiri oleh 55 pemimpin negeri-negeri Islam. Hasil KTT menyebutkan bahwa OKI menolak pengumuman Trump dan pengakuannya atas Yerussalem sebagai ibukota Israel. OKI juga menegaskan bahwa pengumuman Trump berarti secara sengaja menghancurkan upaya perdamaian serta menyulut radikalisme dan terorisme. Para kepala negara OKI juga menegaskan komitmen mereka terhadap perdamaian yang adil dan menyeluruh di atas asas solusi dua negara (two state solution). Mereka pun berkomitmen untuk mengakui Yerussalem Timur sebagai ibukota Palestina sesuai rujukan-rujukan internasional serta prakarsa Arab tahun 2002 yang dijadikan sandaran oleh KTT luar biasa di Makkah al-Mukarramah tahun 2005 dan dianggap sebagai pilihan strategis.
Dalam forum internasional lainnya, sebuah rancangan resolusi yang digagas oleh Mesir diajukan ke DK PBB yang menolak pengakuan atas Yerussalem sebagai ibukota Israel. Namun demikian, rancangan itu pun kandas karena diveto oleh AS.
Apakah KTT semacam itu dan berbagai perundingan lainnya akan menjadi solusi hakiki bagi masalah Palestina?
Akar Masalah Palestina
Awalnya, pada dekade 20-an dan 30-an orang-orang Yahudi dari berbagai negara, utamanya dari wilayah Eropa, berbondong-bondong bermigrasi ke wilayah Palestina. Migrasi itu terjadi karena telah dipersiapkan melalui Perjanjian Sykes-Picot 1916 yang membagi wilayah Khilafah Turki Utsmani pasca Perang Dunia I antara Inggris dan Prancis. Salah satu poinnya: wilayah Palestina menjadi wilayah internasional di bawah perlindungan Inggris, Prancis dan Rusia. Berikutnya pada 1917 muncul Deklarasi Balfour yang menjanjikan Palestina sebagai tanah air Yahudi. Sejak itulah orang-orang Yahudi bermigrasi secara besar-besaran ke Palestina.
Pada tahun 1947 PBB melalui resolusinya membuat pembagian wilayah Palestina. Berdasarkan resolusi itu, Israel mendapat 55% wilayah Palestina. Sisanya untuk Palestina. Atas dasar itulah, dengan dukungan Inggris, pada tahun 1948 Israel berdiri.
Sejak itu Israel terus memperluas penguasaan tanahnya dengan cara-cara ilegal dan kriminal. Pada tahun 1967 Israel melancarkan perang dengan negara-negara Arab tetangga: Yordania, Suriah dan Mesir. Perang yang sarat dengan tipudaya itu pada akhirnya membuat Israel menguasai wilayah Palestina yang disebut dengan ‘batas 1967’. Israel menguasai sekitar 78% wilayah Palestina.
Berikutnya terjadi Perjanjian Camp David yang ditandatangani oleh Presiden AS Jimmy Carter, PM Israel Menachem Begin, Pimpinan PLO Yasser Arafat dan Presiden Mesir Anwar Sadat. Perjanjian itu mendamaikan antara Palestina dan Israel dengan skema two states solution (solusi dua negara). Solusi dua negara itu makin ditegaskan dalam Perjanjian Oslo ketika PLO di bawah Yasser Arafat menerima solusi tersebut dan menjadi dasar pendirian Otoritas Palestina. Masalah Palestina akhirnya berputar pada masalah tapal batas. Apakah batas sebelum 1947, batas 1967 atau lainnya.
Solusi Palsu
Klaim Trump bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel jelas sebuah masalah. Umat Islam pantas marah. Pasalnya, klaim itu akan makin menguatkan cengkeraman zionis Israel atas Tanah Suci Palestina dan makin membuka jalan bagi mereka untuk menguasai bahkan menghancurkan al-Aqsa.
Namun demikian, mengakui Tel Aviv sebagai ibukota Israel juga bermasalah. Pasalnya, itu berarti mengakui keberadaan negara Israel yang dibangun di atas tanah rampasan, yakni Tanah Palestina. Ini sama halnya dengan mengakui perampok yang berdiri di atas lahan rampokannya.
Jelas, akar masalah Palestina hakikatnya adalah keberadaan Israel yang telah menyerobot, merampok dan menduduki Tanah Palestina dengan mengusir penduduk dan pemilik aslinya. Dengan kata lain akar masalah Palestina adalah agresi, pendudukan dan penjajahan Israel atas Palestina dan penduduknya. Di sinilah para ulama sering menyebut qâdhiyah Filistin adalah qâdhiyah wujûd, bukan qâdhiyah hudûd. Maksudnya, akar masalah Palestina adalah keberadaan Israel, bukan masalah tapal batas antara Israel dan negara-negara tetangga seperti Suriah, Libanon, Yordania, termasuk Palestina.
Dalam konteks masalah Palestina khususnya dan negeri-negeri Islam umumnya, berbagai forum dan pertemuan sering hanya untuk dua tujuan: Pertama, untuk meredam kemarahan publik Muslim sehingga tidak menjadi gerakan yang lebih besar serta membahayakan rezim dan hegemoni kapitalisme negara kafir penjajah. Tujuan pertama ini bisa dirasakan melalui KTT OKI terakhir itu. Kedua, untuk menegaskan konsesi yang sudah diberikan atau menjadi persiapan untuk pemberian konsesi berikutnya. Ini juga tampak pada KTT OKI paling akhir. KTT itu hanya menegaskan konsesi sebelumnya berupa solusi dua negara seperti yang dinyatakan dalam keterangan finalnya. Dengan KTT OKI paling akhir, solusi dua negara itu diakui dan menjadi komitmen 55 negara OKI. Dengan itu seolah solusi dua negara diterima dan menjadi komitmen Dunia Islam dan seluruh kaum Muslim. Padahal jelas, solusi dua negara berarti pengakuan terhadap keberadaan Israel, sang penjajah Palestina.
Alhasil, ini adalah solusi palsu alias bukan solusi, melainkan penyerahan dan pengkhianatan. Pasalnya, solusi dua negara merupakan bentuk pengakuan dan pembenaran atas perampokan Israel atas Tanah Palestina.
Solusi Hakiki
Solusi hakiki untuk masalah Palestina haruslah bersandar pada syariah. Masalah Palestina adalah masalah Islam dan seluruh kaum Muslim. Pasalnya, Tanah Palestina adalah tanah kharajiyah milik kaum Muslim di seluruh dunia. Statusnya tetap seperti itu sampai Hari Kiamat. Tidak ada seorang pun yang berhak menyerahkan tanah kharajiyah kepada pihak lain, apalagi kepada perampok dan penjajah seperti Israel. Sikap semestinya haruslah seperti yang ditunjukkan oleh Sultan Abdul Hamid II yang menolak sama sekali segala bentuk penyerahan Tanah Palestina kepada kaum kafir meskipun hanya sejengkal.
Karena itu sikap seharusnya terhadap Israel yang telah merampas Tanah Palestina adalah sebagaimana yang telah Allah SWT perintahkan, yakni perangi dan usir! Demikian sebagaimana firman-Nya:
﴿قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ﴾
Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tangan kalian, menghinakan mereka serta akan menolong kalian atas mereka sekaligus melegakan hati kaum Mukmin (TQS at-Taubah [9]: 14).
Allah SWT juga berfirman:
﴿وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ﴾
Usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (TQS al-Baqarah [2]: 191).
Berdasarkan ayat di atas, Israel harus diperangi dan diusir dari Tanah Palestina. Dengan kata lain jihad fi sabilillah terhadap Israel wajib dilancarkan. Apakah hal itu bisa dilakukan saat ini oleh para rezim di Dunia Islam? Tentu saja bisa jika mereka mau. Namun, rasa-rasanya sangat kecil kemungkinannya bahkan mustahil hal itu mereka lakukan. Pasalnya, tidak satu pun rezim di negeri-negeri Islam saat ini yang menjadikan akidah dan syariah Islam sebagai asas dan standar dalam bernegara, termasuk dalam politik luar negeri mereka dengan mengadopsi jihad fi sabilillah. Padahal jihadlah cara satu-satunya untuk mengusir siapapun yang telah merampas tanah milik kaum Muslim, termasuk Israel yang telah merampas Tanah Palestina
Karena itu penyelesaian tuntas masalah Palestina tidak lain adalah dengan mewujudkan kekuasaan Islam yang berlandaskan akidah dan syariah Islam. Itulah Khilafah Islam yang mengikuti manhaj kenabian. Khilafahlah, sebagai satu-satunya pelindung umat yang hakiki, yang bakal melancarkan jihad terhadap siapa saja yang memusuhi Islam dan kaum Muslim. Tentu dengan kekuatan jihad pula Khilafah akan sanggup mengusir Israel dari Tanah Palestina.
Dengan membaca QS al-Isra’ [17]: 4-8, kita bisa memahami bahwa Yahudi hanya dapat dikalahkan dengan “hamba-hamba Allah yang memiliki kekuatan besar”. Kekuatan besar itulah Khilafah. Dengan Khilafahlah Yahudi sang penjajah Palestina pasti bisa dikalahkan.
Jadi benarlah, solusi tuntas persoalan Palestina adalah Khilafah dan jihad. Sayang, sebagian kalangan sering nyinyir bila disodorkan solusi ini. Padahal jika bukan Khilafah dan jihad, adakah solusi lain? Apakah dengan perundingan? Ingatlah, sudah sangat banyak perundingan damai digelar dan ditandatangani, tetapi sebanyak itu pula diingkari. Jangankan sekadar sejumlah negara Arab atau Dunia Islam, bahkan seluruh dunia mengutuk pun, Israel—yang didukung penuh Amerika dan Barat—tak pernah peduli. Faktanya, sudah lebih dari 33 resolusi PBB terkait Israel dilanggar, dan tak ada tindakan apa pun atas Israel.
Sebagian pemimpin umat selalu menyerukan persatuan umat Islam untuk membebaskan al-Aqsha. Namun, bagaimana umat Islam bisa bersatu bila bukan dengan Khilafah yang terbukti pernah menyatukan mereka pada masa lalu serta sanggup melindungi Palestina dan al-Aqsha selama berabad-abad lamanya?! []
Hikmah:
«لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى»
Tidaklah diadakan perjalanan dengan sengaja kecuali ke tiga masjid: Masjidku ini (Masjid Nabawi di Madinah, red.), Masjidil Haram dan Masjid al-Aqsha (HR Abu Dawud).