Soal UU Kesehatan Omnibus, Bambang Widjojanto Sebut Pemerintah Bohong
Mediaumat.id – Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjodjanto (BW) menyampaikan, dalam hal UU Kesehatan Omnibus yang telah disahkan pada Selasa (11/7) lalu, pemerintah telah berbohong.
“Ini ngeri ini, Mas. Kita kayak dibohongi. Bukan kayak sih, (memang) dibohongi,” ujarnya melalui podcast berjudul UU Kesehatan Disahkan, 6 Taipan Pesta Pora, Rabu (19/7/2023) di kanal YouTube Novel Baswedan.
Menurutnya, seolah-olah berpihak pada kepentingan masyarakat, spirit UU Kesehatan Omnibus ini yang harusnya pelayanan malah menjadi bisnis kesehatan.
“Kalau melihat spiritnya ini kan dari health care (pelayanan kesehatan) menjadi health industry (industri kesehatan),” paparnya.
Ditambah, UU ini sebenarnya proses liberalisasi di bidang kesehatan. “Ini akan dikeruk, ini banyak kepentingan, atau hal-hal penting yang ada dalam kesehatan masyarakat akan dikapitalisir,” ulasnya.
Dengan kata lain, dengan ditariknya kembali mandatory spending (belanja wajib), yaitu kewajiban pemerintah dalam hal pembiayaan seputar kesehatan masyarakat yang sebelumnya sudah diatur UU, kata BW, akan memberikan peluang pada pihak-pihak lain untuk bermain dan mengambil keuntungan.
Bertentangan dengan Konstitusi
Sebagaimana telah dijabarkan di dalam Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU 36/2009 Tentang Kesehatan, mencantumkan ‘minimal’ 5 persen dari APBN dan ‘minimal’ 10 persen dari APBD, di luar gaji.
Sehingga dari sini, ujar BW, pemerintah semestinya mengupayakan peningkatan besaran anggaran kesehatan, bukan malah menghilangkan.
“Itu artinya, sekarang ini kan jadi bertentangan dengan konstitusi,” nilainya, terhadap penghapusan mandatory spending di UU Kesehatan Omnibus.
Terlebih, imbuhnya, hal ini bertentangan dengan TAP MPR, yang kedudukannya berdasarkan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai produk peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UUD dan berada satu tingkat di atas UU, mengamanatkan 15 persen dari APBN. Tetapi faktanya dikasihnya 5 persen dari APBN, dan yang 10 persen dari APBD.
Untuk diketahui bersama, TAP MPR Nomor 10 Tahun 2001, memerintahkan kepada presiden untuk menyediakan anggaran kesehatan diupayakan mencapai 15 persen dari APBN, selain biaya pendidikan 20 persen serta untuk mencapai indeks pembangunan manusia (IPM).
Sedangkan di dalam UUD 1945 sendiri, Pasal 28h ayat (1) juga mengatur tentang kesehatan, yang berbunyi ‘Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan’.
“Kata kunci di situ, hubungannya,” sela BW.
Maka dengan tidak lagi dicantumkan besaran angka mandatory spending, selain mengingkari konstitusi, BW lantas mempertanyakan peran negara selanjutnya. “Apakah itu berarti pelayanan kesehatan menjadi bisa difasilitasi? Kalau menurut saya enggak,” tegasnya.
Ingkar
Di sisi lain, menurutnya, pelayanan kesehatan yang baik termasuk bagian dari tiga infrastruktur yang harus dipenuhi dan difasilitasi pemerintah, di antara pendidikan dan infrastruktur dasar yang notabene tidak dapat diperjualbelikan (nontradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan baik secara teknis maupun spasial.
Lantas jika UU Kesehatan Omnibus saat ini justru tidak memberikan jaminan penetapan mandatory spending, artinya, pemerintah telah mengingkari kewajibannya. “Artinya pemerintah telah mengingkari apa yang seharusnya menjadi kewajibannya,” cetusnya.
Celakanya, UU Kesehatan Omnibus ini justru dijadikan justifikasi pengingkaran tersebut. Karenanya, ia khawatir hal ini berdampak buruk bagi masyarakat secara umum. “Mereka akan menghadapi situasi kesehatan yang mungkin makin memburuk,” pungkasnya.[] Zainul Krian