Mediaumat.info – Dari segi ada tidaknya pendapat seputar istilah sogokan hasanah, Kiai Shiddiq memaparkan memang ada tetapi statusnya sebagai pendapat atau ijtihad pribadi bukan salah satu sumber hukum yang kuat (mu’tabar).
“Statusnya adalah semata pendapat pribadi (al-ra’yu) atau hukum syara’ hasil ijtihad, bukan sumber hukum yang kuat (mu’tabar),” ujarnya dalam Kajian Soal Jawab Fikih: Kritik Terhadap Ulil Abshar Abdalla Seputar Sogokan Hasanah, Kamis (30/1/2025) di kanal YouTube Ngaji Subuh.
Adalah pendapat atau ijtihad Ibnu Mas’ud ra yang menyatakan boleh memberi suap ketika dirinya ditahan di pintu masuk negeri Habasyah karena membawa sesuatu.
Terkait dosa, dalam hal ini hanya bagi penerima bukan pemberi suap. “Dosanya bagi penerima suap, bukan pemberi,” demikian kata Ibnu Mas’ud yang juga merupakan pendapat sebagian tabi’in, yaitu ‘Atha dan Al-Hasan (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, XXII/222).
Di sisi lain, sumber hukum (dalil syar’i) yang mu’tabar seperti yang Kiai Shiddiq singgung sebelumnya, hanyalah Al-Qur’an, sunah, ijma’ shahabat, dan qiyas syar’iyyah.
“Kalau kita melihat urut-urutan atau tertibnya sumber hukum Islam, yang tertinggi Al-Qur’an, yang kedua as-sunnah, yang ketiga ijma’, keempat qiyas,” tegasnya, mengutip kitab Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/417 karya Taqiyuddin an-Nabhani tentang ketentuan yang juga telah disepakati oleh jumhur ulama.
Meski demikian, pendapat Ibnu Mas’ud tersebut masuk menjadi sumber hukum yang terdapat khilafiah di kalangan para ulama. “Ini yang disebut sebagai sumber hukum yang mukhttalafihi atau dalil syar’i yang diperselisihkan oleh sebagian para ulama,” kata Kiai Shiddiq menjelaskan.
Ditambah, hukum asal suap adalah haram, baik orang itu berhak atau tidak atas haknya. “Rasulullah mengatakan setiap orang yang menyuap dan disuap itu masuk neraka,” kata Kiai Shiddiq, mengutip hadits riwayat Imam ath-Thabrani.
Di dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah juga disebutkan, “Haram hukumnya meminta, memberi, dan menerima suap, sebagaimana haram hukumnya menjadi perantara pemberi dan penerima suap.”
Dengan kata lain, meski mengecualikan (men-takhshish) keumuman hadits yang mengharamkan suap, dalil tersebut tidak dapat diterima karena yang rajih adalah pendapat yang mengharamkan semua jenis suap.
“Inilah pendapat yang dipilih oleh sebagian ulama seperti Imam Syaukani dan Imam Taqiyuddin an-Nabhani, rahimahumallah,” tandasnya, mengutip Nailul Authar, X/531 karya Imam asy-Syaukani, dan Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, II/333 karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Diberitakan sebelumnya, terlontar pernyataan dari Ulil Abshar Abdalla, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU yang menilai pemberian konsesi tambang kepada organisasi masyarakat (ormas) merupakan ‘sogokan hasanah’ dari pemerintah.
Pernyataan ini disampaikan sebagai tanggapan terhadap pertanyaan Ketua Komisi VII DPR Saleh Daulay, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang membahas RUU Pertambangan dan Mineral (Minerba) di Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 22 Januari 2025.
Menurut Ulil Abshar, terdapat pandangan fikih yang membolehkan suap tetapi dengan tujuan untuk memperoleh hak yang sah, bila kebijakan yang ada sesuai dengan prinsip keadilan.
Bahaya Besar
Tidak hanya mengharamkan pihak selain negara turut mengelola tambang, sebagaimana telah ditentukan dalam sebuah hadits riwayat Imam Abu Dawud dan at-Tirmidzi tentang tambang garam, karena depositnya yang besar lantas ditarik kembali oleh Rasulullah SAW setelah sebelumnya diserahkan kepada individu, menurut Kiai Shiddiq, Islam juga dengan tegas mengharamkan bahaya besar yang muncul dari pengelolaan tambang oleh ormas maupun kampus.
Pertama, keikutsertaan ormas maupun kampus mengelola tambang, akan melegitimasi pengelolaan tambang selama ini yang menyimpang dari syariah.
Untuk diketahui, selama ini tambang dikelola secara kapitalistik. “Oleh negara, (pengelolaan tambang) diserahkan kepada oligarki, baik oligarki nasional maupun internasional, sedemikian hingga hanya menguntungkan korporasi atau pemilik modal dan penguasa,” ungkap Kiai Shiddiq.
Sementara, rakyat tidak mendapat aра-ара, kecuali dampak buruk penambangan, baik berupa kerusakan lingkungan maupun konflik sosial (konflik tanah, dsb).
Kedua, akan memadamkan atau minimal meredupkan kritik, dalam hal ini amar ma’ruf nahi mungkar dari ormas maupun kampus kepada penguasa.
Ketiga, berpotensi memperbesar ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat dan menyuburkan kecemburuan sosial. Pasalnya, bisa dipastikan yang bakal menikmati hasil tambang hanya petinggi dan jamaah ormas maupun perguruan tinggi, bukan seluruh masyarakat.
“Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu,” pungkasnya, mengutip QS AI-Hasyr: 7 yang dengan tegas melarang distribusi harta kekayaan hanya pada orang-orang kaya yang secara eksklusif mempunyai akses untuk mendapat kekayaan, seperti pengelolaan tambang.
Sebelumnya, Kiai Shiddiq menegaskan, yang berhak mengelola tambang yang hasilnya berlimpah hanyalah negara. Sedangkan suatu ormas bukanlah representasi dari sebuah negara. Terlebih perguruan tinggi (PTN) dan UMKM sebagaimana poin krusial perubahan keempat UU Minerba yang disepakati Baleg DPR RI menjadi usulan inisiatif DPR, setelah rapat panjang selama seharian penuh pada Senin (20/1/2025).[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat