Skema Kesepakatan Nuklir Iran Dinilai Lemahkan Kekuatan Negeri-Negeri Muslim

Mediaumat.id – Perundingan Nuklir Iran di Wina sejak 2015 silam, yang kini menuai pernyataan sikap dari Israel dengan menyatakan ‘tidak akan mematuhi kesepakatan tersebut’, dinilai sebagai skema yang memang untuk melemahkan kekuatan negeri-negeri kaum Muslim.

“Perundingan Wina atau perundingan nuklir Iran ini adalah skema Barat yang memang ditujukan untuk melemahkan kekuatan negeri-negeri kaum Muslim salah satunya Iran,” ujar Magister Kajian Timur Tengah dan Islam Iranti Mantasari B.A., IR., M.Si. kepada Mediaumat.id, Kamis (13/1/2022).

Bahkan seperti dilansir Republika.co.id (10/1), Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengatakan Israel bebas untuk bertindak melawan Iran atas nuklirnya.

Perlu diketahui, Perundingan Nuklir Iran yang dilakukan di Wina, dipercaya sebagai kesepakatan komprehensif yang mengakhiri 12 tahun ketegangan di sana. Meski sejak diinisiasi tahun 2015 hingga sekarang pembicaraan telah dilakukan maraton hingga delapan kali.

Didikte

Di luar itu, Iranti mengungkap dua alasan negeri-negeri kaum Muslim saat ini terkesan sangat didikte atau justru membebek kepada segala yang telah ditetapkan Barat.

Pertama, perbedaan perspektif dari siapa yang menguasai nuklir. “Jika nuklir itu dikuasai oleh negeri-negeri kaum Muslim, dalam hal ini sebut saja bisa Iran dst., maka itu akan disebut sebagai potensi bahaya. Bagi siapa? Bagi Barat dan tentu saja sekutu-sekutunya,” paparnya.

Sebaliknya, lanjut Iranti, ketika kekuatan senjata nuklir dimiliki oleh bukan negeri-negeri kaum Muslim, hal itu tak dianggap bahaya bagi mereka. “Sangat terlihat bahwa siapa yang memiliki bergaining position (posisi tawar) yang lebih besar,” jelasnya.

Kedua, berkenaan dengan Perundingan Nuklir Iran di Wina, Iranti menegaskan, di sana ada upaya menekan Iran agar meninggalkan, melepaskan atau bahkan bila perlu menghancurkan sebagian dari cadangan nuklirnya.

Sampai Iran menepati isi perjanjian tersebut, ungkap Iranti, sanksi berupa tekanan ekonomi tak akan dihentikan oleh Barat. “Skema Wina itu sendiri itu sebenarnya kan mengundang lima negara veto ditambah Jerman dan juga Uni Eropa. Jadi dari situ kelihatan sekali skema poinnya adalah agenda Barat,” nilainya.

Maka, sambung Iranti, seberapa pun kekuatan negeri-negeri kaum Muslim, ketika masih mengikuti skema Barat, maka mau tidak mau mereka harus bertekuk lutut serta mengikuti apa yang sudah ditetapkan dalam kesepakatan dimaksud. “Memang seperti itu skema perjanjian dalam dunia internasional hari ini,” tegasnya.

Ummatan Wahidah

Menurut Iranti, sebagai kaum Muslim yang telah disebut Allah SWT sebagai ummatan wahidah atau umat yang satu, semestinya memiliki set agenda sendiri yakni menciptakan kesadaran dengan kembali menekankan bahwa umat Islam mampu menjadi motor penggerak utama untuk tidak mengikuti skema Barat.

Sehingga, ketika berusaha bangkit untuk menjadi pemain dalam percaturan politik internasional, kaum Muslim sudah memiliki jalannya sendiri. “Tidak akan pernah bisa membawa pada perubahan yang baik dan perubahan yang hakiki, selama skema yang kita gunakan atau agenda yang kita ikuti adalah agenda yang sudah diset oleh negara ‘kufur’,” tandasnya.

Selain itu, lanjutnya, umat Islam harus memiliki fikrah atau pemahaman yang sahih tentang perpolitikan di dalam sistem Islam yang sebenarnya. Misal, boleh tidaknya bekerjasama terkait penyelesaian masalah dengan negara-negara ‘kufur’. Ataupun kewajiban mengembalikan seluruhnya pada ajaran Rasulullah SAW.

Selanjutnya, yang juga penting, menurut Iranti, adalah umat harus memiliki pemahaman yang benar tentang al-wala’ dan al-bara’. “Kepada siapa kita harus memberikan loyalitas (al-wala’) dan kepada siapa kita memberikan disloyalitas (al-bara’),” terangnya.

Pasalnya, tak sedikit kaum Muslim termasuk di Indonesia, yang Iranti anggap sebuah kesalahan, merasa bahwa AS layak dijadikan sahabat atau pun penolong dari berbagai urusan rakyat/kaum Muslim.

Apabila umat sudah memahami hakikat al-wala’ dan al-bara’, maka kaum Muslim akan lebih mudah mengidentifikasi pihak yang pantas diberikan loyalitas.

Namun yang menjadi catatan Iranti, di dalam kondisi kehidupan masyarakat saat ini yang menurutnya belum keluar dari sistem sekuler, umat Islam akan sulit melakukan al-wala’ dan al-bara’ dengan benar.

Berangkat dari kesadaran demikian, lanjut Iranti, kaum Muslim akan berupaya memiliki sebuah institusi yang memang bisa menjadi aktor utama dalam percaturan politik dunia. “Tidak lain dan tidak bukan adalah negara Islam atau Daulah Khilafah Islamiah yang memang ketika dia berada, maka negara-negara kufur dengan kesenangannya untuk mengacak-acak kepentingan kaum Muslim itu akan hadir,” tuturnya.

Dari situ pula umat Islam akan menjadi lebih tertata. “Kaum Muslim bisa lebih jelas dan lebih tertata dalam menetapkan bagaimana dia harus menyikapi berbagai isu dan masalah yang menemui mereka,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: