Skandal Mega Korupsi Freeport: Kenapa KPK Diam?
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H. | Ketua LBH PELITA UMAT
Bagi siapapun yang membaca Laporan hasil pemeriksaan BPK nomor 6/LHP/XVII/2017 tanggal 21 April 2017, akan mengindera dengan jelas betapa digdayanya Freeport sekaligus betapa lemahnya negara. Jika itu terjadi pada perusahaan pribumi, mungkin sudah lama disikat. Tapi tidak demikian dengan Freeport.
Hasil pemeriksaan BPK atas kinerja dan keuangan PT FI periode 2009-2015, menunjukan betapa korporat asing yang satu ini benar-benar raja diraja nan digdaya. Berbagai pelanggaran UU dilakukan secara terbuka dan telanjang, dari penggunaan kawasan hutan untuk area tambang hingga pengelolaan limbah tailing yang tidak memadai.
Area hutan yang digunakan untuk menambang juga fantastis, 4.535,93 Ha lahan hutan yang digunakan tanpa izin pakai kawasan hutan. Bayangkan, jika rakyat kecil menebang satu pohon di hutan tanpa izin saja langsung di tangkap dan dibui. Tapi Freeport dapat leluasa menebang, menggunduli, dan menjadikan kawasan hutan untuk kegiatan menambang.
Potensi peningkatan royalti periode 2019-2015 setidaknya ada USD 445.967.326,90. Angka yang sangat fantastis. Itu baru dari royalti, bagaimana jika tambang ini dikelola sendiri ? Tentu akan lebih memberi nilai manfaat bagi bangsa ini.
Freeport juga mendapat kelebihan pembebanan biaya Concentrate Handling, potensi royalti negara yang belum ada dikantongi negar sebesar USD 181,459.93. Belum lagi, potensi Nilai Tambah Mineral sebesar USD 135’904,449.35 tertunda, akibat Freeport belum membangun smelter.
Yang aneh, sampai terjadi kelebihan pencairan Jaminan Reklamasi sebesar USD 1,434,994.33 yang seharusnya masih berada di kantong Pemerintah, tapi sudah dipindahkan ke kantong Freeport. Bahkan, ada kewajiban penempatan jaminan pasca tambang yang belum disetor periode 2016 sebesar USD 22,286,839.11 dari total kewajiban USD 353,759,351.00.
Dari sisi pelanggaran, BPK melaporkan setidaknya Freeport memiliki catatan pelanggaran :
1. Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan yang Dilakukan PT Kuala Pelabuhan Indonesia pada PTFI Tidak Sesuai dengan Peraturan Perundangan-undangan;
2. Pengawasan dan Pengendalian Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM dalam Penatausahaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pemasaran Produk Hasil Tambang PTFI Masih Lemah;
3. Penciutan Luas dan Status Blok B pada Wilayah Kontrak Karya PTFI Belum Ditetapkan Sesuai dengan Ketentuan yang Berlaku;
4. PTFI Menggunakan Kawasan Hutan Lindung Dalam Kegiatan Operasionalnya Seluas Minimal 4.535,93 Ha Tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan Hal Ini Bertentangan Dengan UU Kehutanan No 41 Tahun 1999 Jo UU No.19 Tahun 2004;
5. PTFI Melaksanakan Kegiatan Operasional Pertambangan DMLZ (Deep Mill Level Zone) serta Memperpanjang Tanggul Barat dan Timur Tanpa Izin Lingkungan;
6. PTFI Telah Menimbulkan Perubahan Ekosistem Akibat Pembuangan Limbah Operasional Penambangan (Tailing) di Sungai, Hutan, Estuary, dan Telah Mencapai Kawasan Laut;
7. Pengawasan Kementerian ESDM dan Kementerian LHK atas Pengelolaan Lingkungan PTFI Belum Dilaksanakan Sesuai Peraturan Yang Berlaku;
8. Perizinan serta Implementasi Pengelolaan Limbah Tailing PTFI Tidak Memadai;
Temuan angka-angka dan berbagai pelanggaran yang dilakukan Freeport ini kategorinya luar biasa. Namun sayangnya, temuan ini belum ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum untuk diproses sebagaimana mestinya.
Kerugian negara akibat penambangan Freeport ini tidak mungkin berdiri sendiri. Pasti ada keterlibatan pejabat penyelenggara negara baik ditingkat penerintah pusat maupun daerah, aparat penegak hukum, yang melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Tidak mungkin ada pencairan dana jaminan berlebih, jika tidak ada oknum pejabat Pemerintah yang bermain dengan menyalahgunakan wewenang atau melakukan perbuatan melawan hukum. Tidak mungkin ada kawasan hutan hingga lebih dari 4.500 ha dijadikan area tambang tanpa izin, jika tidak ada penyalahgunaan wewenang atau perbuatan melawan hukum oleh oknum aparat.
Karena itu, LBH PELITA UMAT bersama aktivitas gerakan anti korupsi lainnya (Bang Egi Sujana, Bang Marwan Batubara, MAKI, dll) melaporkan dugaan tindak pidana korupsi kasus feeeport ini ke KPK, pada hari Kamis 9 Agustus 2018.
Kita akan uji, apakah temuan BPK yang kemudian telah dilaporkan ke KPK ini akan di tindak lanjuti atau hanya akan menjadi arsip kasus di gudang KPK. Tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak segera masuk dan melakukan penyelidikan kasus, apalagi hasil LHP BPK secara jelas memberi gambaran adanya pelanggaran Freeport. BPK juga menuliskan angka-angka yang menjadi hak negara tetapi masih belum ditunaikan Freeport. Dalam perspektif UU Tipikor, tentu ini sebuah kerugian keuangan bagi negara.
KPK tinggal menelusuri siapa oknum pejabat atau aparat yang melakukan perbuatan melawan hukum atau melakukan penyalahgunaan wewenang sehingga negara dirugikan. Konstruksi pasal 2 dan 3 UU Tipikor bisa dijadikan pasal untuk menjerat para pelaku, baik yang dilakukan oknum pejabat, aparat, juga pimpinan freport.
Ini saatnya KPK menunjukan taji sebagai lembaga super body. Janganlah KPK hanya menjadi lembaga ayam sayur, yang bisanya cuma menangkap maling kelas teri bermodalkan CCTV. [].