Soal pertama: waktu jamaah haji melempar jumrah
Pertanyaan Ameer Torman
Assalamu ’alaikum wa rahmatullah barakatuhu.
Bagaimana kondisi Anda amirunâ? Saya memohon kepada Allah Anda berada dalam kondisi baik dan sehat wal afiat. Dan saya juga memohon kepada Allah SWT agar membukakan kebaikan kepada Anda dan melangsungkan kebaikan melalui tangan Anda … Amin. Saya berniyat, dengan izin Allah, menunaikan haji tahun ini, dan saya punya pertanyaan mengenai melempar jamrah. Ada orang yang melempar jamrah pertama sebelum tengah malam dan bertahan di tempat tersebut, dan setelah tengah malam dia melempar jamrah kedua. Saya berpandangan hal itu keliru. Olehnya itu saya berpandangan untuk melempar jamrah sebelum tenggelam matahari hari itu kemudian menunggu setelah tenggelam untuk melempar jamrah kedua, karena hari itu berakhir dengan tenggelamnya matahari, apakah ini benar?
Semoga Allah melimpahkan keberkahan pada Anda dan menguatkan langkah Anda di atas kebenaran.
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Di awal saya memohon kepada Allah SWT agar memudahkan jalan Anda dan memudahkan urusan Anda dan mencatatkan untuk Anda haji mabrur dan dengannya Allah mengampuni Anda.
Saya nasehatkan kepada Anda sebelum memulai dalam haji untuk mengkaji hukum-hukum haji dengan penuh perhatian. Buku-buku yang berbicara tentang hukum-hukum haji banyak. Ada studi-studi dan penjelasan-penjelasan yang memadai oleh sebagian ulama tentang seputar haji dan hukum-hukumnya yang dilengkapi dengan gambar dan penjelasan … Demikian juga Anda dapat merujuk kepada orang-orang yang ekspert selama haji untuk pertanyaan yang mengganjal bagi Anda dan mereka itu di sana banyak … Dan berikut jawaban untuk pertanyaan Anda:
1- Melempar jamrah terjadi pada hari kurban (Yawm an-Nahri) sepuluh Dzul Hijjah, hari pertama hari raya. Dan juga terjadi pada tiga hari Tasyriq yakni kesebelas, dua belas dan tiga belas Dzul Hijjah, dan itu adalah hari kedua, ketiga dan keempat hari raya …. Dan melempar pada hari ke-13 Dzul Hijjah, yakni hari keempat hari raya adalah untuk orang yang tidak menyegerakan. Adapun orang yang menyegerakan maka melemparnya pada hari raya dan dua hari Tasyriq setelahnya yaitu 11 dan 12 Dzul Hijjah …
2- Adapun awal dan akhir melempar jamrah, maka yang saya rajihkan (saya katakan, saya rajihkan karena di situ ada pendapat-pendapat lain) adalah sebagai berikut:
a- Awal melempar:
– Hari raya, melemparnya adalah hanya melempar jamrah al-‘aqabah al-kubrâ saja dengan tujuh lemparan dan tidak melempar yang lainnya. Yang afdhal tentang waktu melemparnya adalah waktu Dhuha hari kurban sebagai peneladanan kepada Rasul saw. Imam al-Bukhari telah meriwayatkan di Shahîh-nya dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata:
«رَمَى النَّبِيُّ ﷺ يَوْمَ النَّحْرِ ضُحًى وَرَمَى بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ الزَّوَالِ»
“Nabi saw melempar pada hari Kurban pada waktu dhuha dan melempar setelah itu setelah tergelincir matahari”.
Dalam riwayat Muslim:
«رَمَى رَسُولُ اللهِ ﷺ الْجَمْرَةَ يَوْمَ النَّحْرِ ضُحًى وَأَمَّا بَعْدُ فَإِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ»
“Rasulullah saw melempar jamrah pada hari Kurban pada waktu Dhuha dan adapun setelah itu maka jika matahari telah tergelincir”.
Dan karena apa yang diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi di Sunan-nya dari Ibnu Abbas:
«أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَدَّمَ ضَعَفَةَ أَهْلِهِ وَقَالَ لَا تَرْمُوا الْجَمْرَةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ»
“Nabi saw memajukan orang lemah keluarganya dan bersabda, jangan melempar jamrah sampai matahari terbit”.
Abu Isa berkata: “hadis Ibnu Abbas adalah hadis hasan shahih”.
– Adapun pada tiga hari Tasyriq, maka yang saya rajihkan mengenai awal melempar bahwa awal melempar terjadi setelah tergelincir matahari. Hal itu sebagai berikut:
– Imam al-Bukhari meriwayatkan di Shahîh-nya dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:
«رَمَى النَّبِيُّ ﷺ يَوْمَ النَّحْرِ ضُحًى وَرَمَى بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ الزَّوَالِ»
“Nabi saw melempar pada hari Kurban pada waktu dhuha dan melempar setelah itu setelah tergelincir matahari”.
Dalam riwayat Muslim:
«رَمَى رَسُولُ اللهِ ﷺ الْجَمْرَةَ يَوْمَ النَّحْرِ ضُحًى وَأَمَّا بَعْدُ فَإِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ»
“Rasulullah saw melempar jamrah pada hari Kurban pada waktu Dhuha dan adapun setelah itu maka jika matahari telah tergelincir”.
Abu Dawud telah meriwayatkan dari Aisyah ra., ia berkata;
«أَفَاضَ رَسُولُ اللهِ ﷺ مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ حِينَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مِنًى فَمَكَثَ بِهَا لَيَالِيَ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ يَرْمِي الْجَمْرَةَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ كُلُّ جَمْرَةٍ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ وَيَقِفُ عِنْدَ الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ فَيُطِيلُ الْقِيَامَ وَيَتَضَرَّعُ وَيَرْمِي الثَّالِثَةَ وَلَا يَقِفُ عِنْدَهَا»
“Rasulullah saw ifadhah di akhir harinya ketika shalat Zhuhur, kemudian kembali ke Mina dan tinggal di sana pada malam-malam hari Tasyriq. Beliau melempar jamrah jika matahari telah tergelincir, setiap jamrah sebanyak tujuh lemparan, beliau bertakbir bersama setiap lemparan dan berdiri (berhenti) lama pada jamrah pertama dan kedua, Beliau berdiri lama dan berdoa, dan Beliau melempar yang ketiga dan tidak berdiri (berhenti) padanya”.
– Dinyatakan di al-Mughni Ibnu Qudamah (3/399) fashlun: ar-ramyu yawma an-nafri qabla az-zawâl wa fî ayyâmi at-tasyrîq ba’da az-zawâl:
[(2069) bagian: melempar pada hari an-nafar sebelum tergelincirnya matahari dan pada hari-hari at-Tasyriq setelah tergelincir matahari:
[(2569) bagian: dia tidak melempar pada hari-hari at-Tasyriq kecuali setelah tergelincir matahari, dan jika dia melempar sebelum tergelincir matahari maka dia mengulangi. Beliau menyatakannya. Dan hal itu diriwayatkan dari Ibnu Umar. Dan Malik, ats-Tsawriy, asy-Syafi’iy, Ishaq dan ashhab ar-ra`yi berpendapat dengannya. Dan diriwayatkan dari al-Hasan, dan Atha’: hanya saja Ishaq dan Ashhab ar-Ra`yi memberi rukhshah dalam melempar pada hari an-Nafar sebelum tergelincir matahari, dan dia tidak pergi kecuali setelah matahari tergelincir …
Dan untuk kita bahwa Nabi saw tidak lain melempar setelah tergelincir matahari. Hal itu karena ucapan Aisyah ra: “Beliau melempar jamrah jika matahari telah tergelincir”. Dan ucapan Jabir dalam mendeskripsikan hajinya Nabi saw. “aku melihat Rasulullah saw melempar jamrah pada waktu Dhuha pada hari an-Nahr. Dan setelah itu Beliau melempar setelah matahari tergelincir. Dan Nabi saw bersabda:
«خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ»
“Ambillah dariku manasik haji kalian”.
Ibnu Umar berkata: “kami menunggu jika matahari tergelincir maka kami melempar. Dan waktu manapun setelah matahari tergelincir dia melempar maka itu berpahala, hanya saja yang mustahab adalah bersegera melempar ketika matahari tergelincir, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Umar. “Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah saw melempar jamrah jika matahari telah tergelincir, pada kadar jika telah selesai dari melempar maka Beliau shalat zhuhur” diriwayatkan oleh Ibnu Majah], selesai.
b- Adapun tentang akhir waktu melempar, yang saya rajihkan adalah sebagai berikut:
– Waktu melempar jamrah al-‘aqabah berlanjut dari matahari Dhuha pada hari an-Nahr (hari pertama Hari Raya) sampai fajar kedua hari Raya. Dan hal itu karena Nabi saw menyetujui melempar di malam hari. Imam al-Bukhari telah meriwayatkan di Shahîh-nya, [dari Ibnu Abbas ra, ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُسْأَلُ يَوْمَ النَّحْرِ بِمِنًى فَيَقُولُ: «لَا حَرَجَ» فَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ حَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ قَالَ: «اذْبَحْ وَلَا حَرَجَ» وَقَالَ رَمَيْتُ بَعْدَ مَا أَمْسَيْتُ فَقَالَ: «لَا حَرَجَ»
Nabi saw ditanya pada hari an-Nahr di Mina maka Beliau bersabda: “tidak ada masalah“. Dan seorang laki-laki bertanya, ia berkata: “aku bercukur sebelum menyembelih”. Beliau bersabda: “sembelihlah dan tidak ada keberatan-“. Orang itu berkata: “aku melempar setelah sore (sudah masuk malam-penj) maka Beliau bersabda: “tidak ada keberatan-“.
Dan demikian ath-Thabarani mengeluarkan di Mu’jam al-Kabîr dari Atha’ dari Ibnu Abbas:
أَنّ رَسُولَ اللهِ ﷺ رَخَّصَ لِلرِّعَاءِ أَنْ يَرْمُوا لَيْلا
“Rasulullah saw memberi rukhshah untuk para penggembala untuk melempar pada malam hari”].
Dan malam itu berakhir dengan masuknya fajar.
– Adapun akhir waktu melempar pada hari at-Tasyriq maka itu adalah fajar hari berikutnya dikarenakan apa yang telah kami sebutkan sebelumnya dari apa yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari di Shahîh-nya dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: “Nabi saw ditanya pada hari an-Nahr di Mina, Beliau bersabda: “lâ haraja -tidak ada keberatan-“. Lalu seorang laki-laki bertanya kepada Beliau, ia berkata: “aku bercukur sebelum menyembelih”. Beliau bersabda: “idzbah wa lâ haraja -sembelihlah dan tidak ada keberatan-“. Ia berkata: “aku melempar setelah sore hari (masuk malam)”. Beliau bersabda: “lâ haraja -tidak ada keberatan-“. Dan malam itu berakhir dengan masuknya fajar.
c- Dari hal itu dikecualikan hari ketiga hari Raya untuk orang yang menyegerakan, sehingga akhir waktu melempar adalah sebelum tenggelam matahari hari itu, sehingga tidak masuk ke hari keempat hari Raya dengan tenggelamnya matahari hari ketiga itu, dan dia masih berada di Mina sebab jika masuk ke hari keempat dan dia di Mina belum meninggalkan Mina maka ia harus tetap bertahan di Mina ke hari keempat … Dan juga dikecualikan hari keempat hari Raya, akhir waktu melempar adalah sebelum tenggelamnya matahari hari itu (13 Dzul Hijjah) sebab hari itu adalah akhir hari-hari melempar.
3- Berdasarkan apa yang dijelaskan di atas, maka potret yang disebutkan di pertanyaan Anda tidak ada. Anda mengatakan: “mengenai melempar jamrah. Ada orang yang melempar jamrah pertama sebelum tengah malam dan bertahan di tempat tersebut, setelah tengah malam dia melempar jamrah kedua. Saya berpandangan hal itu keliru. Olehnya itu saya berpandangan untuk melempar jamrah sebelum tenggelam matahari hari itu kemudian menunggu setelah tenggelam untuk melempar jamrah kedua karena hari itu berakhir dengan tenggelamnya matahari, apakah ini benar?”. Jelas bahwa yang Anda maksudkan adalah melempar pada hari-hari at-Tasyriq:
- Potret pertama menurut Anda yaitu melempar sebelum tengah malam 11 Dzul Hijjah dari hari pertama hari at-Tasyriq. Dan pelemparan ini benar. Tetapi, melempar setelah tengah malam 11 Dzul Hijjah dari hari ke-12 Dzul Hijjah itu tidak benar, sebab itu sebelum tergelincirnya matahari 12 Dzul Hijjah … Katakan semisal itu tentang semua hari at-Tasyriq.
- Potret kedua menurut Anda, melempar hari pertama hari at-Tasyriq pada sebelum tenggelam matahari 11 Dzul Hijjah. Pelemparan ini benar. Tetapi, melemparnya dari hari ke-12 Dzul Hijjah pada waktu setelah tenggelam matahari 11 Dzul Hijjah, itu tidak benar, sebab sebelum tergelincirnya matahari 12 Dzul Hijjah … Dan katakan semisal itu pada semua hari at-Tasyriq.
Atas dasar itu, akhir waktu melempar hari an-Nahr dan hari-hari at-Tasyriq adalah seperti yang kami jelaskan di poin 2-b di atas.
Saya berharap masalah tersebut telah jelas sekarang.
============
Pertanyaan kedua: kurban dengan sapi yang digemukkan
Pertanyaan Amjad at-Ta’mariy.
Amirunâ yang dimuliakan, assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Saya memohon kepada Allah, Anda sehat wal afiat.
Pertanyaan saya: apakah berpahala sapi yang digemukkan dalam kurban jika umurnya kurang dari dua tahun.
Pertanyaan: Haytsam Abu Sukhaydim
Assalamu ‘alaykum.
Apakah boleh kurban dengan sapi yang digemukkan yang umurnya kurang dari dua tahun?
Jawab:
Pertanyaan Anda berdua tentang topik yang sama dan berikut jawabannya:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
1- Kurban adalah ibadah. Rasulullah saw telah menjelaskan syarat-syarat dan hukum-hukumnya. Diantara syarat kurban adalah umurnya. Rasulullah saw bersabda:
«لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً، إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ، فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ» رواه مسلم
“Jangan kamu sembelih kecuali musinnah, kecuali sulit bagi kamu, maka sembelihlah jadza’ah dari domba” (HR Muslim ).
Dan al-musinnah dari sapi adalah umur dua tahun atau lebih … Pendapat menurut ijmak para ulama bahwa kurban sapi adalah sah dalam sapi yang umurnya kurang dari dua tahun jika gemuk dan banyak dagingnya, pendapat ini adalah tidak benar. Tidak ada yang mengatakan bolehnya kurban sapi yang umurnya kurang dari dua tahun jika banyak daging, kecuali sedikit dari ashhâb al-fatâwâ pada masa sekarang dan fatwa mereka ini menyalahi dalil. Dan karena apa yang muktamad dari pendapat para mujtahid dari kalangan para ulama as-salaf ash-shâlih.
Nishab dan ukuran syar’iyah adalah nishab dan ukuran syar’iyah yang tidak disertai ‘illat maka di dalamnya diperhatikan nishab atau ukuran (al-miqdâr) tersebut tanpa penetapan ‘illat. Hadis Rasulullah saw jelas “lâ tadzbahû illâ musinnah -jangan kamu sembelih kecuali musinnah-“. Dan al-musinnah dari sapi adalah yang umurnya mencapai dua tahun dan masuk tahun ketiga. Dan larangan di sini adalah larangan yang tegas, dan qarînah al-jazm adalah jelas dalam nas, yaitu pengecualian untuk al-mu’sir (orang yang kesulitan) maka boleh untuknya jadza’ah dari domba (adh-dha’n). Dan al-jadzâ’ah dari domba adalah yang umurnya genap enam bulan.
Menyembelih hewan kurban adalah ibadah, dan itu adalah ibadah tawqifiyah. Posisinya seperti posisi ibadah lainnya, ditunaikan sesuai syarat-syarat dan sebab-sebabnya yang telah dijelaskan oleh syara’ dan itu merupakan syarat-syarat yang tidak disertai ‘illat dan tidak sah kurban kecuali sesuai dengannya.
2- Dinyatakan di al-Mafâhîm halaman 34: (sistem-sistem islami adalah hukum-hukum syar’iyah yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, makanan, pakaian, muamalah dan ‘uqubat. Hukum-hukum syar’iyah yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, makanan dan pakaian tidak disertai ‘illat. Rasul saw bersabda:
«حُرِّمَتِ الْخَمْرَةُ لِعَيْنِهَا»
“Khamr diharamkan karena zatnya”.
Adapun hukum-hukum syar’iyah yang berkaitan dengan muamalah dan ‘uqubat maka itu dapat disertai ‘illat. Sebab hukum syar’iy tentangnya dibangun di atas ‘illat yang merupakan pembangkit atas pensyariatan hukum tersebut. Banyak orang terbiasa menyertai semua hukum dengan ‘illat kemanfaatan, terpengaruh dengan kepemimpinan berfikir barat dan peradaban barat yang menjadikan kemanfaatan semata sebagai asas untuk semua perbuatan. Ini bertentangan denngan kepemimpinan berfikir islami yang menjadikan ar-rûh sebagai asas untuk semua perbuatan, dan menjadikan penggabungan ar-rûh dengan materi sebagai patokan untuk perbuatan-perbuatan. Berdasarkan ini maka hukum-hukum syar’iyah yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, makanan dan pakaian tidak disertai ‘illat secara mutlak. Sebab tidak ada ‘illat untuk hukum-hukum ini, melainkan diambil sebagaimana apa yang dinyatakan oleh nas dan tidak dibangun di atas ‘illat secara mutlak. Shalat, puasa, haji, zakat, tatacara shalat, jumlah rakaatnya, manasik haji, nishab zakat dan semacam itu diambil secara tawqifiy sebagaimana dinyatakan, dan diterima dengan penuh penerimaan terlepas dari ‘illatnya, bahkan tidak dirasakan ‘illat untuknya …).
Begitulah, umur hewan kurban tidak boleh dilampaui baik apakah sapi gemuk yang besar atau tidak besar yang mana nas menyebutkan umur tanpa ‘illat maka itulah perkara yang dipegangi …
=============
Pertanyaan ketiga: hukum kurban dengan burung.
Pertanyaan: Noman Almur
Assalamu ‘alaikum….
Apa hukum kurban dengan burung … Perlu diketahui di situ ada ucapan sayiduna Bilal tentang kurban dengan ayam?
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pertama, kurban adalah ibadah dan bagian dari syiar Islam. Dan harus ditunaikan sesuai apa yang dinyatakan oleh dalil-dalil syar’iy tanpa keluar darinya. Dan dengan mengikuti dalil-dalil syar’iy yang berkaitan, menjadi jelas sebagai berikut:
1- Al-Quran menyebutkan an-nusuk terkait dengan hewan ternak. Hal itu dalam firman Allah SWT:
﴿وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ﴾
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka” (TQS al-Hajj [22]: 34).
Dinyatakan dalam tafsir ayat ini di Tafsîr al-Qurthubîy sebagai berikut:
[Tafsîr al-Qurthubîy (12/58).
Allah SWT berfirman:
﴿وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ﴾
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” (TQS al-Hajj [22]: 34).
Firman Allah: “﴿وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا﴾ – Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban)-”. Ketika Allah menyebutkan hewan sembelihan, Allah menjelaskan tidak ada umat yang kosong darinya. Dan ummat adalah kaum yang berkumpul di atas satu madzhab, yakni untuk setiap kelompok mukmin kami jadikan mansakan. Dan al-mansak adalah menyembelih dan mengalirkan darah, dikatakan oleh Mujahid. Dikatakan, nasaka jika dia menyembelih, yansuku naskan. Dan adz-dzabîhah (sembelihan) adalah nasîkah dan bentuk jamaknya nusuk. Dan darinya firman Allah SWT: ﴿أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ﴾ -atau bershadaqah atau berkurban- dan an-nusuk juga ketaatan (ath-thâ’ah). Al-Azhari berkata tentang firman Allah SWT: “﴿وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا﴾ – Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban)-”, bahwa itu menunjukkan tempat penyembelihan (al-manhar) pada topik ini, yang Allah inginkan adalah tempat kurban. Dan dikatakan: minsakan wa mansakan, dua bacaan, dibaca dengan keduanya. Ulama kufah, kecuali ‘Ashim, membacanya minsakan dan yang lain membacanya mansakan. Al-Fara` berkata: al-mansak dalam ucapan orang Arab adalah tempat yang biasa dalam kebaikan ataupun keburukan. Dan dikatakan, manâsik al-hajj karena berulang-ulangnya manusia kepadanya berupa wukuf di Arafah, melempar jamrah dan sa’iy. Ibnu ‘Arafah berkata tentang firman Allah SWT: “﴿وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا﴾ – Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban)-”, yakni madzhab taat kepada Allah SWT. Dikatakan, nasaka yansuku qawmahu jika dia menjalankan madzhab mereka. Dan dikatakan, mansakan adalah ‘îdan (hari Raya), dikatakan oleh al-Fara`. Dan dikatakan: adalah hajjan -haji-, dikatakan oleh Qatadah.
Dan pendapat pertama yang lebih tampak karena firman Allah SWT: “﴿لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ﴾ – supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka-“, yakni atas menyembelih apa yang direzekikan kepada mereka. Jadi Allah SWT memerintahkan ketika menyembelihnya dengan menyebut nama-Nya dan agar penyembelihan itu untuk (karena)-Nya sebab Dia adalah Zat yang merezekikan hal itu], selesai.
Jelas dari tafsir untuk ayat yang mulia ini, bahwa an-nusuk adalah adz-dzibhu (sembelihan) dalam yang lebih rajih dan bahwa itu berupa binatang ternak. Jadi ayat tersebut mengisyaratkan bahwa an-nusuk dan asy-sya’îrah itu terjadi dengan menyembelih binatang ternak. Dan ini berlaku pada hewan kurban dari sisi keberadaannya sebagai nusuk (kurban) dan sya’îrah (simbol/syiar).
2- Semua nas syar’iyah yang berbicara tentang kurban yang dipersembahkan oleh Rasul saw dan demikian juga para shahabat yang dimuliakan adalah kurban terbatas berupa binatang ternak saja. Misalnya:
– Imam al-Bukhari telah meriwayatkan di Shahîh-nya dari Anas bin Malik ra., ia berkata:
«كانَ النَّبِيُّ ﷺ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ وَأَنَا أُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ»
“Nabi saw berkurban dengan dua ekor kibasy dan aku berkurban dengan dua ekor kibasy”.
– Imam al-Bukhari juga telah meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah saw:
«انْكَفَأَ إِلَى كَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ»
“Beliau turun pada dua ekor kibasy (domba jantan) yang bertanduk lagi gemuk dan beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau”.
– Juga di Shahîh al-Bukhârî dari Aisyah ra., ia berkata: “Rasulullah saw menemuiku di Sarifa dan aku menangis, beliau bersabda:
«مَا لَكِ أَنُفِسْتِ؟ قُلْتُ نَعَمْ، قَالَ: إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَاقْضِي مَا يَقْضِي الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ. قَالَتْ وَضَحَّى رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنْ نِسَائِهِ بِالْبَقَر»
“Apakah kamu sedang haid?” Aku katakan: “benar”. Beliau bersabda: “sungguh ini merupakan perkara yang telah Allah tetapkan atas anak-anak perempuan Adam, tunaikan apa yang ditunaikan oleh orang berhaji hanya saja jangan thawaf mengelilingi Ka’bah”. Aisyah berkata: “dan Rasulullah saw berkurban atas isteri-isterinya dengan seekor sapi”.
– Dalam riwayat imam Muslim di Shahîh-nya dari Aisyah ra., bahwa Rasulullah saw:
«أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِي سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ»
“Beliau memerintahkan dengan kibasy bertanduk dua, di kaki-kakinya ada warna hitam, di bagian perutnya ada warna hitam dan disekitar matanya warna hitam, lalu didatangkan kepada beliau untuk beliau kurbankan, maka beliau bersabda: “untuknya ya Aisyah, bawa kemari pisau” kemudian beliau bersabda: “asahlah dengan batu”, maka Aisyah melakukannya kemudian beliau mengambilnya dan mengambil kibasy dan merebahkannya kemudian menyembelihnya, kemudian Beliau berkata: “bismillâh allâhumma taqabbal min Muhammadin wa âli Muhammadin wa min ummati Muhammadin -dengan nama Allah, ya Allah terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad-“, kemudian beliau berkurban dengannya”.
– Imam at-Tirmidzi telah meriwayatkan di Sunan-nya dari Aisyah ra., bahwa Rasulullah saw bersabda:
«مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْساً»
“Tidaklah seorang anak Adam melakukan perbuatan pada hari an-nahr yang lebih disukai oleh Allah dari mengalirkan darah, sungguh hewan kurban itu akan datang pada Hari Kiamat kelak dengan tanduknya, rambutnya dan kukunya, dan sungguh darah itu jatuh di tempat Allah sebelum jatuh di tanah, maka berbahagialah jiwa dengannya”.
Imam at-Tirmidzi berkata: “dan dalam bab tersebut dari ‘Imran bin Hushain dan Zaid bin Arqam. Abu Isa berkata: “ini hadis hasan gharib kami tidak mengetahuinya dari hadis Hisyam bin ‘Urwah kecuali dari arah ini, dan Abu al-Mutsanna namanya Sulaiman bin Yazid, dan yang meriwayatkan darinya Ibnu Abiy Fudaik. Abu Isa berkata: “dan diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda:
«فِي الْأُضْحِيَّةِ لِصَاحِبِهَا بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ وَيُرْوَى بِقُرُونِهَا»
“Di dalam hewan kurban itu untuk pekurbannya dengan setiap rambut satu kebaikan” dan diriwayatkan “dengan tanduk-tanduknya”.
Kenyataan berkurban pada zaman Nabi saw adalah terbatas dengan binatang ternak … Semua itu menunjuk bahwa selain binatang ternak tidak berpahala dalam kurban.
3- Nas-nas syar’iyah yang menyatakan tentang syarat-syarat hewan kurban dari sisi umur dan yang berpahala dan dari sisi keselamatan anggota tubuh dan semacam itu, semuanya datang mengenai binatang ternak. Dan tidak dinyatakan satu pun nas syar’iy yang menjadikan syarat-syarat pada selain binatang ternak. Diantara itu misalnya:
– Imam Muslim telah meriwayatkan di Shahîh-nya dari Jabir, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ»
“Jangan kamu sembelih kecuali musinnah kecuali sulit bagi kamu maka sembelihlah jadza’ah dari domba”.
– Imam al-Bukhari telah meriwayatkan di Shahîh-nya dari al-Bara` bin ‘Azib ra., ia berkata:
«ضَحَّى خَالٌ لِي يُقَالُ لَهُ أَبُو بُرْدَةَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ: شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ. فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ عِنْدِي دَاجِناً جَذَعَةً مِنْ الْمَعَزِ، قَالَ: اذْبَحْهَا وَلَنْ تَصْلُحَ لِغَيْرِكَ، ثُمَّ قَالَ: مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا يَذْبَحُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ»
“Pamanku yang dipanggil Abu Burdah berkurban sebelum shalat maka Rasulullah saw bersabda kepadanya: “kambingmu kambing daging”. Maka dia berkata: “ya Rasulullah saya punya ternak jinak jadza’ah dari kambing”. Beliau bersabda: “sembelihlah dan tidak akan boleh untuk selainmu”. Kemudian beliau bersabda: “siapa yang menyembelih sebelum shalat maka tidak lain dia menyembelih untuk dirinya sendiri dan siapa yang menyembelih setelah shalat maka telah sempurnalah kurbannya dan dia memenuhi sunnah kaum Muslim”.
– Imam Muslim telah meriwayatkan di Shahîh-nya dari Jabir bin Abdullah, ia berkata:
نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
“Kami berkurban bersama Rasulullah saw pada tahun Hudaibiyah seekor unta dari tujuh orang dan seekor sapi dari tujuh orang”.
– Imam al-Hakim menyatakan di al-Mustadrak sejumlah hadis mengenai sifat-sifat hewan kurban yang memenuhi, sebagai berikut:
[Aku mendengar Ubaid bin Fayruz, ia berkata: “aku katakan kepada al-Bara` ra., ceritakan kepadaku apa yang tidak disukai atau dilarang oleh Rasulullah saw dari hewan kurban”, ia berkata:
«فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ هَكَذَا بِيَدِهِ وَيَدِي أَقْصَرُ مِنْ يَدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ: أَرْبَعٌ لَا يَجْزِينَ فِي الْأَضَاحِي: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا، وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ عَرَجُهَا، وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تُنْقَى. قَالَ: قُلْتُ فَإِنِّي أَكْرَهُ أَنْ يَكُونَ نَقْصٌ فِي الْأُذُنِ وَالْقَرْنِ. قَالَ: فَمَا كَرِهْتَ فَدَعْهُ، وَلَا تُحَرِّمْهُ عَلَى غَيْرِكَ»
“Rasulullah saw bersabda begini dengan tangannya dan tanganku lebih pendek dari tangan Rasulullah saw: empat yang tidak berpahala dalam hewan kurban: yang buta sebelah jelas kebutaannya, yang sakit jelas sakitnya, yang pincang jelas pincangnya dan yang kurus tidak berlemak”. Ia berkata: “aku katakan, aku tidak suka ada kekurangan pada telinga dan tanduk”. Ia berkata: “maka apa yang tidak kamu sukai tinggalkan dan jangan kamu haramkan atas selainmu”.
Ini adalah hadis hasan shahih tetapi keduanya tidak mengeluarkannya karena minimnya riwayat Sulaiman bin Abdurrahman. Dan Ali bin al-Madini menampakkan keutamaan-keutamaannya dan kesempurnaannya. Dan untuk hadis ini ada syawahid terpisah-pisah dengan sanad-sanad yang shahih tetapi keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya, diantaranya:
… dari Ali ra., bahwa Nabiyullah saw:
«نَهَى أَنْ يُضَحِّيَ بِأَعْضَبِ الْقَرْنِ وَالْأُذُنِ»
“Nabiyullah melarang berkurban dengan yang terpotong tanduk dan telinganya separo atau lebih”.
Qatadah berkata: “maka aku katakan kepada Sa’id bin al-Musayyab, ia berkata: “ al-‘adhbu adalah separo dan lebih”.
Dan diantaranya …. Aku mendengar Ali ra., berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ ﷺ أَنْ نَسْتَشْرِفَ الْعَيْنَ وَالْأُذُنَ
“Rasulullah saw memerintahkan untuk meneliti mata dan telinga”.
Diantaranya … bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Ali ra. tentang seekor sapi maka ia berkata: “dari tujuh orang”. Ia berkata: tanduk. Ia berkata: pincang. Ia berkata: “وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ أَمَرَنَا أَنْ نَسْتَشْرِفَ الْعَيْنَ وَالْأُذُنَ -dan Rasulullah saw memerintahkan kami untuk meneliti mata dan telinga-“.
Diantaranya: … dari Abu Humaid ar-Ru’ainiy, ia berkata; “kami duduk kepada ‘Utbah bin Abdu as-Sulami lalu Yazid Dzu Mishri al-Muqra`iy datang dan ia berkata kepada ‘Utbah: “ya Abu al-Walid, kami baru saja keluar mencari hewan kurban yang baik dan kami hampir tidak menemukan sesuatu yang menyenangkan, hanya saja aku menemukan hewan yang rompal giginya dan gemuk”. ‘Utbah berkata: “andai engkau datangkan kepadaku”. Yazid berkata: “ya Allah ampunilah, apakah boleh untukmu tetapi tidak boleh untukku?” ‘Utbah berkata: “benar”. Yazid berkata: “kenapa itu?” ‘Utbah berkata: “karena engkau ragu dan aku tidak ragu”. Ia (Abu Humaid) berkata: “kemudian ‘Utbah mengeluarkan tangannya dan berkata: “tidak lain Rasulullah saw melarang dari lima: al-mûshilah, al-mushfarrah, al-bakhqâ`, al-musayya’ah dan al-kasrâ` ”. Ia berkata: “al-mûshilah adalah yang dicabut tanduknya, al-mushfarrah adalah yang dicabut telinganya, al-bakhqâ` adalah yang jelas cacatnya, al-musyayya’ah adalah al-mahzûlah (yang kurus) atau sakit yang tidak dapat mengikuti kambing], selesai.
a- Hadis-hadis ini semuanya berbicara tentang binatang ternak, dan di dalamnya tidak ada hadis tentang hewan dan burung lainnya. Hadis-hadis ini menjelaskan kemujmalan yang dinyatakan di firman Allah SWT:
﴿فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ﴾
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah” (TQS al-Kawtsar [108]: 2).
Jadi tidak boleh berpendapat kepada selain binatang ternak dalam kurban karena itu tidak terderivasi di bawah penjelasan tersebut.
b- Kemudian pensyaratan umur pada binatang ternak dan pensyaratannya kosong dari beberapa cacat artinya bahwa binatang ternak yang tidak memenuhi syarat-syarat ini maka tidak berpahala dalam kurban. Lalu bagaimana dengan apa yang bukan binatang ternak yang tentangnya tidak dinyatakan dalil?! Artinya, binatang ternak dinyatakan dalil-dalil bahwa kurban itu terjadi darinya. Meski demikian, binatang ternak itu jika padanya tidak terpenuhi syarat-syarat yang diminta secara syar’iy maka tidak berpahala. Dan ini menunjukkan bahwa selain binatang ternak lebih-lebih lagi tidak berpahala.
Kedua, adapun yang dijadikan dalil oleh Ibnu Hazm atas bolehnya kurban selain binatang ternak, maka dengannya tidak tegak hujjah. Di buku al-Muhalla karya Ibnu Hazm dinyatakan tentang penjelasan dalil-dalilnya dalam masalah ini sebagai berikut:
[Masalah, kurban boleh dengan semua hewan yang dagingnya boleh dimakan.
Masalah: kurban boleh dengan semua hewan yang dagingnya boleh dimakan baik yang berkaki empat, burung, kuda, unta, sapi liar, ayam, semua burung dan hewan yang halal dimakan. Dan yang afdhal pada semua itu adalah apa yang dagingnya baik dan banyak dan harganya mahal.
Kami telah menyebutkan di awal pembicaraan kita tentang kurban ucapan Bilal: saya tidak peduli andai aku berkurban dengan seekor ayam. Dan dari Ibnu Abbas tentang membeli daging dengan dua dirham, dan ia berkata: “ini hewan kurban Ibnu Abbas … Dan al-Hasan bin Hayyi memperbolehkan kurban dengan sapi liar (banteng) dari tujuh orang, dan rusa (azh-zhabyi) atau kijang (al-ghazâl) dari satu orang. Abu Hanifah dan sahabatnya memperbolehkan kurban dengan yang sapi jinak yang dengannya dibawa berupa banteng liar dan dengannya kambing dibawa yakni berupa rusa. Malik berkata: tidak berpahala kecuali berupa unta, sapi, dan kambing/domba. Dan Malik berpandangan: biri-biri betina, kambing betina (al-‘anza) dan kambing hutan (at-taysu) lebih afdhal dari unta dan sapi jantan dalam kurban. Abu Hanifah dan asy-Syafi’iy berbeda pendapat tentang itu, keduanya berpendapat, unta paling afdhal, kemudian sapi jantan, kemudian domba kemudian kambing – dan kami tidak mengetahui adanya hujjah untuk pendapat ini maka kami sebutkan pada asalnya. Hanya saja mereka mengklaim ijmak tentang kebolehannya dari hewan-hewan ternak ini, dan ada perbedaan pendapat pada yang lainnya.
Ini bukan sesuatu pun. Dan mereka bertentangan dengan apa yang shahih dalam hal itu dari Bilal. Dan tidak diketahui untuknya adanya yang menyalahi dari shahabat radhiyallah ‘anhum. Dan ini pada mereka merupakan hujjah jika sesuai mereka.
….. ……
Ab Muhammad berkata: “adapun yang jadi tempat kembali ketika ada perselisihan adalah apa yang Allah fardhukan untuk kembali kepadanya, maka kami temukan nas-nas yang mendukung pendapat kami. Hal itu, bahwa kurban merupakan taqarrub kepada Allah. Taqarrub kepada Allah SWT dengan semua selama tidak dilarang oleh al-Quran dan tidak pula oleh nas as-Sunnah – adalah baik. Allah SWT berfirman:
﴿وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾
“dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” (TQS al-Hajj [22]: 77).
Dan taqarrub kepada-Nya dengan apa yang tidak dilarang untuk dengannya bertaqarrub kepada-Nya merupakan perbuatan kebajikan.
Yunus bin Abdullah bin Mughits telah menceritakan, Ahmad bin Abdullah bin Abdurrahim telah menceritakan kepada kami, Ahmad bin Khalid telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Abdu as-Salam al-Khusyaniy telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Basyar Bundar telah menceritakan kepada kami, Shafwan bin Isa telah menceritakan kepada kami, Ibnu ‘Ajlan telah menceritakan kepada kami dari bapaknya dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«مَثَلُ الْمُهَجِّرِ إلَى الْجُمُعَةِ كَمَثَلِ مَنْ يُهْدِي بَدَنَةً، ثُمَّ كَمَنْ يُهْدِي بَقَرَةً، ثُمَّ كَمَنْ يُهْدِي بَيْضَةً»
“Permisalan orang yang bersegera ke Jum’at semisal orang yang berkurban unta besar dan gemuk, kemudian seperti orang yang berkurban sapi betina, kemudian seperti orang yang berkurban sebutir telur”.
Dan diriwayatkan kepada kita dari jalur Malik dari Sumiy mawla Abu Bakar dari Abu Shalih as-Saman dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:
«مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةَ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشاً أَقَرْنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً»
“Siapa yang mandi pada hari Jumat kemudian berangkat maka seolah-olah bertaqarrub dengan seekor unta, dan siapa yang berangkat pada saat yang kedua maka seolah-olah bertaqarrub dengan seekor sapi, dan siapa yang berangkat saat yang ketiga maka seolah-olah bertaqarrub dengan seekor kibasy bertanduk (gemuk), dan siapa yang berangkat pada saat yang keempat maka seolah bertaqarrub dengan seekor ayam, dan siapa yang berangkat pada saat kelima maka seolah bertaqarrub dengan sebutir telur”.
Dalam dua hadis ini, kurban ayam dan burung, kurban dengan keduanya dan kurban sebutir telur. Dan hewan kurban merupakan persembahan tanpa diragukan lagi. Dan di dalam keduanya juga keutamaan yang lebih besar lalu yang lebih besar kedua secara badan di situ dan manfaat untuk orang-orang miskin, dan pada asalnya tidak ada yang keberatan atas dua nas ini …] selesai.
1- Adapun istidlal Ibnu Hazm mengenai perbuatan kurban dengan apa yang mudah dalam kurban maka itu tidak lurus karena kurban telah dijelaskan hukumnya oleh syara’ dan terjadi dengan hewan apa. Maka tidak sah kurban itu dengan selain apa yang dijelaskan oleh syara’. Dalil atas ketidakbolehan kurban dengan selain hewan ternak adalah bahwa syara’ telah menjelaskan hukum syar’iy secara mujmal untuk kurban, dan syara’ menjadikan termasuk penjelasan tersebut adalah keberadaan kurban dengan hewan ternak. Jadi tidak boleh keluar dari penjelasan syar’iy ini sebab penjelasan mujmal mengikat secara syar’iy. Demikian juga istidlalnya dengan hadis keutamaan bersegera untuk shalat Jumat, hadis itu tidak khusus dengan penyembelihan kurban tetapi itu pada taqarrub kepada Allah dengan shadaqah apapun. Dalil atas hal itu adalah penyebutan telur di akhir hadis.
«وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً»
“Dan siapa yang berangkat pada saat yang kelima maka seolah bertaqarrub dengan sebutir telur”.
Tidak diragukan lagi bahwa telur tidak masuk dalam kurban sebab dalam kurban itu harus ada pengaliran darah. Karena itu maka hadis ini tidak datang untuk menjelaskan hukum-hukum kurban, sehingga tidak lurus beristidlal dengannya atas masalah kurban.
2- Adapun istidlalnya dengan apa yang dinukilkan dari Bilal ra, dan Ibnu Hazm menyebutkan di tempat lain dari al-Muhalla secara panjang sebagai berikut: [dan dari jalur Sa’id bin Manshur, telah memberitahu kami al-Ahwash, telah memberitahu kami ‘Imran bin Muslim, ia adalah al-Ju’fiyyu dari Suwaid bin Ghaflah, ia berkata: “Bilal berkata kepadaku: “aku tidak peduli andai aku berkurban dengan seekor ayam. Dan aku mengambil harga hewan kurban lalu aku sedekahkan kepada arang miskin yang membutuhkan maka itu lebih aku sukai dari pada aku berkurban]. Maka ini juga istidlal buka pada tempatnya. Hal itu karena ucapan Bilal ra. tidak kuat terhadap dalil yang menentang berupa sabda Nabi saw dan perbuatan Beliau. Demikian juga apa yang dinukilkan dari semua shahabat yang dimuliakan berupa pengorbanan mereka dengan hewan ternak saja. Kemduian Bilal ra. tidak melakukan kurban dengan seekor ayam. Tidak ada seorang pun yang meriwayatkan bahwa Bilal berkurban dengan seekor ayam. Ucapan Bilal pada asalnya bukan pada bab penjelasan yang berpahala dalam kurban. Tetapi itu adalah penjelasan tidak wajibnya kurban dan bahwa sedekah menurut pandangannya lebih afdhal dari kurban sebagaimana yang jelas dalam ucapannya: “ وَلأَنْ آخُذَ ثَمَنَ الأُضْحِيَّةِ فَأَتَصَدَّقَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ مُقْتِرٍ فَهُوَ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أُضَحِّيَ – Dan aku mengambil harga hewan kurban lalu aku sedekahkan kepada orang miskin yang membutuhkan maka itu lebih aku sukai dari pada aku berkurban”.
3- Demikian juga istidlal Ibnu Hazm “ dan dari Ibnu Abbas tentang pembeliannya daging dengan dua dirham dan ia berkata: “ini kurban Ibnu Abbas”-. Jelas bahwa itu tidak selamat karena apa yang dilakukan oleh Ibnu Abbas ra. bukan kurban dalam ‘urf syara’. Kurban itu wajib disembelih. Adapun membeli daging dari pasar dan mendistribusikannya maka tidak dinilai sebagai kurban secara syar’iy dan tidak berposisi kurban secara syar’iy, tetapi itu termasu jenis sedekah.
Atas dasar itu, maka kita dapat mengatakan dengan ketenteraman besar bahwa kurban tidak berpahala dari burung, dan tidak menjadi kurban yang syar’iy kecuali dari hewan ternak (unta, sapi dan domba/kambing) sesuai syarat-syarat yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iy.
Saudaramu Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah
02 Dzul Hijjah 1445 H
08 Juni 2024 M
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/95993.html