Siyasah Institute: UU yang Dilegislasi DPR Tak Memihak Rakyat
Mediaumat.news – Peneliti Siyasah Institute Iwan Januar menilai, undang-undang yang dilegislasi DPR sepanjang 2020-2021, secara signifikan tidak memihak pada rakyat. “(Setidaknya) ada tiga undang-undang yang secara signifikan tidak berpihak pada rakyat,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Senin (6/9/2021).
Pertama, lanjut Iwan, UU Nomor 3/2020 tentang pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Menurutnya, UU tersebut menguntungkan pemain tambang batu bara. Seperti, masa pembatasan penambangan yang mestinya setelah habis dikembalikan pada negara. Sebagaimana pasal 169a, kini bisa diperpanjang lagi oleh perusahaan tambang tanpa lelang.
Dalam UU tersebut juga tercantum pasal 43 yang membolehkan mineral ikutan tidak perlu dilaporkan. Padahal dari sana terkandung potensi sumber pendapatan negara. “Ini sebagian isi UU Minerba yang keberpihakan pada pengusaha kentara betul,” tandasnya.
Kedua, UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Selain UU paling kontroversial dan banyak dikritik berbagai pihak, menurutnya, UU ini juga sarat dengan muatan yang menguntungkan pengusaha. Seperti, longgarnya analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), izin impor, atau pun sistem pengupahan dan ketenagakerjaan yang tidak menguntungkan kaum pekerja.
Proses pengesahannya pun, tambah Iwan, terkesan dipaksakan atau buru-buru. Selain ternyata tidak semua anggota dewan membaca serta memahami isinya, tebal naskah RUU pun mengalami Perubahan jumlah halaman, justru setelah disahkan pada 5 Oktober 2020. Yang semula 905 halaman setelah pengesahan, beredar draf menjadi 1.028 halaman.
Bahkan saat ingin diserahkan ke presiden, DPR mengumumkan draf finalnya berisi 1.035 halaman. Tapi hanya selang beberapa jam, dengan alasan terjadi perubahan ukuran kertas, drafnya berubah lagi menjadi 812 halaman, meski akhirnya diserahkan ke Jokowi pada Rabu, 14 Oktober 2020. “Ini UU paling ganjil dalam sejarah konstitusi di Indonesia,” ucapnya prihatin.
Ketiga, UU Nomor 2/2020 dan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1/2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Perlu diketahui, di dalam perppu tersebut, terdapat ketentuan pasal 27 yang justru membatasi upaya mempersoalkan secara hukum terkait pengelolaan anggaran penanganan pandemi yang dinilai menyimpang. Baik secara pidana, perdata atau bahkan tata usaha negara.
Sebagai catatan, terkait kasus dana bansos yang menjerat Mensos saat itu Juliari Peter Batubara, dinilai beberapa kalangan karena apes saja. Malah kalau bukan karena kasus suap, tidak akan mungkin bisa dibuktikan oleh KPK. Sebab sebagaimana pasal 2 dan 3 UU Tipikor, setiap kasus yang mengarah ke korupsi harus disertai audit BPK untuk membuktikan adanya kerugian negara. Sementara ketika diaudit, kasusnya belum bisa dinaikkan ke proses persidangan.
Sedangkan ketentuan di pasal 27 UU Nomor 2/2020 tentang kebijakan tersebut, memberikan semacam imunitas hukum bagi aparat penyelenggara negara untuk tidak bisa dipersoalkan secara hukum. Bahkan, seluruh keputusan mereka terkait penanganan pandemi selama ada niat baik, tidak bisa digugat secara tata usaha negara.
“Perppu ini membuat kekebalan hukum untuk anggota komite stabilitas sistem keuangan (KSSK) pada peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) penanganan virus corona. Ini harusnya batal demi hukum,” harapnya.
Oleh karena itu, dengan melihat tiga UU itu saja, sangat tampak DPR bekerja untuk kepentingan pengusaha dan eksekutif sebagai salah satu dampak koalisi pro pemerintah. “(Memang) demokrasi menjadikan kekuasaan terpusat pada mereka dan tak bisa diganggu gugat,” pungkasnya.[] Zainul Krian