Siyasah Institute Sayangkan Indonesia Tidak Mampu Memfilter Budaya

Mediaumat.id – Direktur Siyasah Institute Iwan Januar menyesalkan bahwa Indonesia tidak mampu memfilter budaya yang bertabrakan dengan nilai-nilai di tanah air sehingga mengizinkan Coldplay manggung di negeri mayoritas Muslim ini.

“Indonesia walaupun mengatakan punya ideologi Pancasila tapi sebetulnya kesulitan bahkan hampir dikatakan tidak bisa memfilter berbagai macam budaya yang bertabrakan dengan nilai-nilai yang ada di tanah air terutama nilai agama Islam,” ungkapnya di Kabar Petang: Konser Coldplay Meresahkan! melalui kanal YouTube Khilafah News, Senin (22/5/2023).

Hal ini karena grup band asal London ini terindikasi mendukung gerakan L68T. Iwan membeberkan salah satu indikasinya bahwa Chris Martin– vokalis band tersebut– selalu membawa bendera L68T setiap kali manggung.

“Sebenarnya bukan Coldplay saja, hampir semua artis baik di Eropa maupun Amerika menyuarakan dukungan terhadap L68T. Sehingga kalau dikatakan kita menolak Coldplay karena unsur L68T mestinya kita bersikap sama terhadap semua kelompok musik, penyanyi, aktor dan aktris, bahkan berbagai macam corporate yang mereka menyukai L68T,” tegasnya.

Gerakan Global

Iwan menilai, masalah Coldplay ini bukan sekedar masalah L68T tapi yang lebih penting adalah kesadaran bahwa L68T merupakan gerakan global.

“Buktinya suara dukungan terhadap L68T ini semakin kencang, semakin menguat. Bahkan kalau kita lihat di KUHP terbaru yang disahkan tahun lalu oleh DPR di situ tidak ada pasal yang menganggap bahwa perilaku menjadi gay atau lesbian atau transgender itu sebagai tindakan kriminal,” tambahnya.

Hal ini kata Iwan, menandakan Indonesia semakin menjadi negara yang liberal. Meskipun dikatakan bahwa Indonesia menjunjung tinggi budaya luhur, kearifan lokal, begitu juga dengan ideologi Pancasila, tapi justru sekarang sudah masuk ke dalam fase masyarakat yang liberal karena memang tidak ada filter yang cukup kuat.

“Parameter yang dipakai untuk melarang atau untuk mencegah sesuatu sangat relatif dan sangat bias. Siapa pun bisa menafsirkan, bisa menaikturunkan atau menghapuskan batasan yang ada,” sesalnya.

Iwan mengkhawatirkan, bukan tidak mungkin dunia pendidikan di sekolah entah secara frontal atau gradual akan dimasukkan L68T ini sebagai bagian dari menghidupkan budaya toleransi.

“Kalau ada kelompok yang menentang L68T seperti misalnya Persaudaraan Alumni 212 pasti akan dikategorikan sebagai kelompok intoleran, akan ditempatkan sebagai common enemy (musuh bersama) karena dianggap menentang kebhinekaan,” ulasnya.

Diakui atau tidak, ucap Iwan, Indonesia sudah masuk ke dalam satu fase liberal, agama tidak lagi dijadikan standar tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara.

“Oleh karena itu, mencegah L68T ini menjadi tantangan yang sangat berat. Kita juga tidak bisa berharap kepada pemerintah dengan segala instrumennya karena pemerintah sendiri sudah mengusung budaya liberal,” prihatinnya.

Yang masih bisa dilakukan, kata Iwan, kaum Muslim harus memberikan perlindungan dan edukasi kepada putra-putrinya, kepada komunitas-komunitas yang ada sambil berjuang untuk mewujudkan nilai-nilai Islam.

“Karena hanya Islam yang bisa menjadi counter opini terhadap L68T dan punya aturan yang jelas, punya pandangan yang jelas tentang L68T,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: