Siyasah Institute: Ancaman LGBT Jauh Lebih Besar dan Berbahaya dari yang Dibayangkan

 Siyasah Institute: Ancaman LGBT Jauh Lebih Besar dan Berbahaya dari yang Dibayangkan

Mediaumat.id – Terkuaknya grup WhatsApp LGBT di satu sekolah dasar di Pekanbaru, Propinsi Riau, yang diikuti pelajar SD seharusnya menyadarkan masyarakat Indonesia, khususnya kaum Muslim bahwa gelombang ancaman kelompok LGBT jauh lebih besar dan berbahaya ketimbang yang dibayangkan.

“Gelombang ancaman kelompok LGBT jauh lebih besar dan berbahaya ketimbang yang dibayangkan,” ujar Direktur Siyasah Institute Iwan Januar dalam situs web pribadinya www.iwanjanuar.com, Rabu (21/6/2023).

Hal itu, menurut Iwan, menambah pekerjaan bagi sekolah dan terutama orang tua di rumah. Sebab selama ini orang tua dan para pendidik berpikir bahwa hanya kalangan dewasa atau remaja yang disasar, namun temuan di Pekanbaru memperlihatkan bahwa kelompok LGBT mulai menyasar kelompok usia paling bawah yaitu anak-anak.

Iwan melihat, alasan kuat kelompok LBGT melakukan ini adalah untuk menghancurkan pemikiran paling mendasar bahwa manusia diciptakan sebagai lelaki dan perempuan. Kaum LGBT ingin sedari dini merusak pandangan masyarakat bahwa gender dan orientasi seksual adalah pilihan, bukan natural. Bila ini berhasil, maka mereka bisa menciptakan generasi yang tidak kenal lagi ‘lelaki’ dan ‘perempuan’.

Iwan membeberkan, kondisi lebih mengenaskan lagi terjadi di Amerika Serikat, bahasan LGBT sudah masuk ke dalam kurikulum sekolah dasar. Tujuannya agar para pelajar mendapatkan tokoh panutan dari kalangan gay.

Dalam kurikulum tersebut, jelas Iwan, para siswa juga dibebaskan berbicara soal gender, orientasi seksual sampai soal masturbasi. Setelah disahkan, mulailah berbagai agenda LGBT masuk ke sekolah. Mulai dari para pengajar yang transgender lengkap dengan pakaian mereka. Karnaval-karnaval LGBT yang melibatkan anak-anak masif diadakan.

Iwan mengatakan, alasan lain mengapa kampanye LGBT masif dilancarkan di kalangan pelajar adalah soal hasrat seksual. Sulit untuk mengingkari realita bahwa anak-anak lelaki sering jadi target kaum gay. Karenanya, kaum LGBT mendesakkan kampanye dan kurikulum ke level anak-anak bukan sekadar penanaman nilai, tapi patut dicurigai juga sebagai agenda keji untuk ‘memetik’ daun-daun muda. “Mengerikan,” tutur Iwan.

Sedangkan di Indonesia, Iwan melihat, kaum LGBT ini masih terbatasi ruang geraknya karena rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim masih mudah disadarkan tentang keharaman perilaku ini. Masih banyak keluarga Muslim dan Muslim di tanah air yang berpegang pada ajaran agama bahwa perilaku gay, lesbian dan trangender dilarang agama. Selain itu, dakwah Islam yang terus masif juga makin menghambat pergerakan kaum LGBT ini.

Hal ini yang diakui oleh seorang pengkhotbah Kristen Mell Atock yang mengatakan bahwa terhambatnya gelombang LGBT di Indonesia dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Beda dengan Amerika Serikat dan Eropa yang justru banyak gereja dan tokoh-tokohnya mulai menerima keberadaan kaum LGBT. Bahkan ada uskup yang gay, dan gereja juga sudah diberikan izin menikahkan pasangan sejenis. Karena itu satu-satunya cara untuk memudahkan pergerakan kaum LGBT adalah menyingkirkan Islam atau memberikan tafsir baru tentang paham LGBT dalam Islam.

Dua Agenda

Iwan mengungkapkan, ada dua agenda yang dilakukan oleh sejumlah kalangan seperti kaum sekuleris dan liberalis agar eksistensi kaum pelangi ini bisa diterima. Pertama, menaikkan isu bahaya radikalisme Islam. Mereka melabeli ciri kelompok radikal adalah menolak demokrasi dan kebebasan yang di dalamnya adalah kebebasan orientasi seksual. Sehingga siapa saja yang menolak LGBT bisa dikategorikan sebagai kelompok radikal untuk selanjutnya dilarang.

Kedua, mengangkat pemikiran para tokoh Islam liberal untuk memberikan penafsiran tentang kisah kaum Nabi Luth dan pandangan fikih yang batil seputar hukum liwath. Maka bermunculan tokoh-tokoh seperti Irshad Manji atau Musdah Mulia yang mengkampanyekan LGBT. Bahkan di beberapa negara sekelompok Muslim yang menyimpang membangun komunitas gay Muslim bahkan membangun masjid untuk kaum gay.

Iwan berpesan, tak ada yang bisa menyelamatkan negeri ini, bahkan dunia, kecuali kaum Muslim yang berpegang teguh pada ajaran Islam. Bencana LGBT ini hanya bisa dihadang oleh orang-orang yang punya pemikiran yang lurus, kuat hujjahnya, dan punya metodologi untuk menghilangkannya.

Keluarga Muslim wajib meningkatkan pemahaman Islam dan semangat dakwah. Kewaspadaan saja tak cukup bila orang tua tidak punya pemahaman Islam. Sekadar pemahaman Islam juga tidak efektif bila tidak dituangkan dalam gerak dakwah di masyarakat.

Oleh karena itu, kata Iwan, berdakwah adalah kewajiban setiap keluarga Muslim. Dakwah mengajak umat ini menuju kehidupan Islam yang kaffah. “Yang di dalamnya ada perlindungan untuk anak-anak kita dari penyimpangan perilaku seksual,” terangnya.

Menurutnya, anak-anak harus dibekali pemahaman yang benar tentang gender atau jenis kelamin, tata cara pergaulan dan tujuan penciptaan lelaki dan perempuan, serta tentu saja ketaatan penuh pada Allah SWT.

“Sungguh ini bagian dari pekerjaan besar, karena perlindungan untuk anak-anak dan keluarga takkan sempurna dalam masyarakat sekuler-liberal. Agama termasuk Islam memang tetap eksis, tapi budaya liberalisme akan terus mencoba menggerus kaum Muslim agar terlepas dari ikatan agamanya. Keluarga Muslim harus berjuang menyelamatkan diri di tengah budaya ini sambil berjuang untuk membangun kehidupan Islam yang utuh dalam naungan syariat,” pungkas Iwan.[] Agung Sumartono

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *