Oleh: Lukman Noerochim S.T., M.Sc.(Eng).,Ph.D (Analis FORKEI)
Jelang Mayday 2018, sekitar 1 juta buruh diperkirakan akan memperingati Hari Buruh pada 1 Mei mendatang dengan menggelar aksi di 250 kabupaten/kota di 25 provinsi dengan tiga tuntutan yang akan disampaikan buruh kepada pemerintah diantaranya menolak upah murah serta meminta pemerintah mencabut PP No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
Upah murah menjadi polemik perburuhan adalah seberapa besar seorang pekerja mendapatkan upah dari pekerjaanya. Sebelum bicara lebih jauh berbicara tentang upah, terlebih dulu harus diperhatikan asumsi dasar pengupahan, yakni pertama, ada hubungan yang signifikan antara upah dengan perolehan laba; dan kedua, ada tindakan tidak maksimal dari pihak buruh jika upah tidak diperhatikan. Hal inilah yang kemudian menjadi polemik berkepanjangan antara pekerja dan pengusaha.
Kondisi kesejahteraan buruh yang sebagian besar belum memenuhi standar kebutuhan hidup minimum merupakan akibat dari serangkaian keadaan yang sangat tidak kondusif. Hal ini menyangkut kondisi pasar kerja yang labil, rendahnya mutu keterampilan pencari kerja, tuntutan mekanisme pasar bebas serta ditunjang kebijakan pemerintah dalam mengatur upah buruh yang belum merepresentasikan kebutuhan buruh.
Komentar kritis Eric Stark Maskin, Born, AS –peraih Nobel Ekonomi 2007– patut kita perhatikan. Ada banyak ekonom dunia yang percaya bahwa kerja kontrak alih daya dan politik upah murah adalah prasyarat keunggulan dan pertumbuhan ekonomi sebuah negara di era globalisasi. Padahal, hasil observasi Maskin –juga oleh Kaushik Basu, guru besar ekonomi asal Cornell University, New York, AS– justru menegaskan, globalisasi adalah salah satu penyebab ketimpangan kesejahteraan. Terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena menaikkan pendapatan rata-rata, tetapi menimbulkan masalah distribusi pendapatan. (Kompas, 15 September 2012).
Tak hanya upah murah, gelombang PHK menjadi momok menakutkan bagi masyarakat buruh. Apa yang terjadi saat ini tidak lain merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalis karena lemahnya struktur ekonomi pasar yang dianut. Akibatnya, ia tidak mampu menahan gejolak negatif di berbagai sektor hanya gara-gara krisis kredit perumahan. Akhirnya, perekonomian dunia melemah, perusahaan mengalami kerugian triliunan dolar dan kas negara pun habis terkuras. Dalam sistem ekonomi pasar Kapitalisme, lembaga perbankan dan keuangan merupakan pintu utama arus permodalan ke berbagai sektor perekonomian. Namun, dana tersebut lenyap begitu saja di sektor non-riil. Lembaga perbankan dan keuangan pun akhirnya lumpuh. Kelumpuhan tersebut mengakibatkan terhentinya proses produksi dan sekaligus mematikan daya beli perusahaan-perusahaan, khususnya di negara maju, termasuk terhadap barang-barang impor. Pertumbuhan ekonomi pun terus merosot sampai ke titik nol. Perusahaan-perusahaan di negara-negara pengekspor, termasuk Indonesia, yang men-supply berbagai kebutuhan ke negara-negara maju—seperti tekstil dan produk tekstil—akhirnya menurunkan kapasitas produksinya sekaligus mengurangi/merumahkan tenaga kerjanya.
Berbeda dengan sistem kapitalis, ketika sistem ekonomi Islam diterapkan, PHK sangat kecil sekali kemungkinannya bakal terjadi. Sebab, prinsip ekonomi Islam yang dianut adalah penyerapan pasar domestik yang sangat didukung oleh negara dalam rangka memenuhi kebutuhan individu masyarakatnya. Ekspor bukan lagi tujuan utama hasil produksi. Sebab, sistem mata uangnya juga sudah sangat stabil, yaitu dengan menggunakan standar emas (dinar dan dirham). Dengan demikian, negara tidak membutuhkan cadangan devisa mata uang negara lain karena semua transaksi akan menggunakan dinar/dirham atau dikaitkan dengan emas.
Negara juga akan menerapkan sistem transaksi hanya di sektor riil dan menghentikan segala bentuk transaksi ribawi dan non riil lainnya. Dengan begitu, perputaran barang dari sektor riil akan sangat cepat dan tidak akan mengalami penumpukan stok. Penawaran dan permintaan bukanlah indikator untuk menaikkan/menurunkan harga ataupun inflasi, karena jumlah uang yang beredar stabil sehingga harga akan stabil. Negara pun tidak perlu repot-repot mengatur jumlah uang beredar dengan menaikkan/menurunkan suku bunga acuan seperti yang dilakukan negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis. Negara hanya akan memantau dan memastikan kelancaran proses distribusi barang dan jasa agar segala kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.
Selain itu, dalam sistem ekonomi Islam, negaralah yang mengelola sumber kekayaan yang menjadi milik rakyat. Hasilnya dikembalikan lagi kepada rakyat. Dengan demikian, jaminan sosial bagi masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan, akan terpenuhi. Dalam kondisi seperti ini, daya beli masyarakat akan sangat kuat dan stabil. Harga tinggi bukan merupakan persoalan dalam sistem ekonomi Islam. Dengan terpenuhinya kebutuhan individu, pola hidup masyarakat pun menjadi lebih terarah. Mereka tidak lagi terperangkap dalam pola hidup individualis, dengan bersaing dan harus menang, dengan menghalalkan segala cara.[]