Sistem Sekuler Demokrasi, Membuat Indonesia Tidak Merdeka

Mediaumat.id – Pengamat Politik Islam Dr. Riyan, M.Ag. menyebutkan penerapan sistem sekuler demokrasi membuat bangsa Indonesia tidak merdeka.

“Penerapan sistem sekuler demokrasi yang membuat bangsa kita tidak merdeka,” ungkapnya dalam Kajian Siyasi: Mewujudkan Kemerdekaan Politik Hakiki, Senin (22/8/2022) di YouTube Ngaji Subuh.

Ia menjelaskan, bangsa Indonesia sesungguhnya sedang dikuasai oleh penjajah. Fakta menunjukkan, negara Indonesia dan berbagai negara di dunia terjebak dalam negara korporasi.

“Negara menjadi instrumen bagi kepentingan bisnis, sedangkan keputusan politik mengabdi pada pemilik modal. Sementara rakyat bukan lagi yang berkuasa, melainkan segelintir orang yang dikenal sebagai oligarki,” jelasnya.

Selain itu, ia menambahkan bahwa oligarki sesungguhnya berkuasa dan menebarkan peradaban kehidupan materialistis, kesenjangan dan dehumanisasi, sehingga rakyat terzalimi dan terjadi kehancuran.

Dr. Riyan menjelaskan, ketika berbicara demokrasi, maka yang menjadi pilar utamanya adalah trias politika, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun, ia mengatakan bahwa korupsi yang terjadi begitu luar biasa, yang ia sebut dengan istilah ‘trias korupsia’, Indonesia ambyar.

Menurutnya, hancurnya lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif akibat terjebak korupsi. Akibatnya, negara dikuasai oleh segelintir orang tidak berpihak pada rakyat dan apalagi berpihak kepada aturan-aturan pencipta-Nya.

“Karena pencalonan mereka (penguasa) dibiayai oleh kapital maka akan menimbulkan korupsi kebijakan dan akan menghasilkan keuntungan bagi oligarki. Maka sesungguhnya pemerintah seperti ini, dikatakan tidak merdeka, karena dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir orang yang tidak berpihak kepada rakyat, apalagi berpihak pada aturan pencipta-Nya,” paparnya.

Pemerintahan yang sekuler-kapitalistik menghasilkan kebijakan yang zalim. Ia mencontohkan UU Omnibus yang sudah banyak ditolak oleh banyak pihak, baik mahasiswa, pekerja, ibu-ibu dan tokoh umat, bahkan PBNU dan PP (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah juga tegas menolak, tetapi tetap disahkan.

“Kita kenal dengan UU tiktok (belum selesai diketik, tapi sudah diketok), pada akhirnya inkonstitusional bersyarat. Meskipun sebenarnya dia (UU) tidak layak menjadi UU dari sisi proses, apalagi isinya. Maka akan menimbulkan kekawatiran,” lanjutnya.

Bukan hanya itu, dari sisi politik ekonomi Dr. Riyan mempertanyakan, apakah Indonesia sudah merdeka atau belum? Pasalnya, pada bulan Agustus 2022, pemerintah akan mengumumkan kenaikan pertalite dan solar. Juga, bakal tarik utang Rp696,3 triliun pada tahun 2023 dan pembayaran bunga 9,3 persen di RAPBN.

“Seiring jebakan utang (debt trap) kepada Indonesia, dengan utang luar negeri berbasis riba sebesar 7.000 triliun (April 2022) dan diperkirakan oleh ekonom senior akan mencapai 10.000 triliun pada tahun 2024,” jelasnya.

Dari segi politik sosial budaya, menurutnya, semakin permisif dan liberal dalam pergaulan pria dan wanita.

Ia juga menyebut, kejahatan terhadap perempuan sangat luar biasa dan semakin menjadi-jadi, angka aborsi meningkatkan, serta menjamur LGBT yang merupakan gerakan global baik melalui dunia akademis, bisnis, komunitas dan politik.

“Dalam Islam LGBT haram hukumnya, berbahaya dari sisi kesehatan maupun perilaku,” tegasnya.

Melihat dari sisi politik terkait isu radikalisme, ia menjelaskan, jualan radikal radikul sebenarnya adalah wujud ketakutan atas kebangkitan umat Islam. Dalam konteks tersebut, ia mempertanyakan, apakah Indonesia sudah merdeka dalam memperlakukan warganya?

“Ternyata justru kita sedang terbelenggu dalam stigma negatif. Kalau dirunut sejak peristiwa 9/11 yang dijadikan momentum strategi penjinakan Islam. Dari sini dibangun gerakan Islam moderat yang tujuan jangka pendeknya untuk menghancurkan umat Islam,” jelasnya.

Ia berpendapat, bangsa Indonesia belum merdeka, karena masih dicengkeram dengan cara berpikir yang tidak ramah.

Begitu juga dalam politik luar negeri. Ia mengatakan bahwa Indonesia masih didominasi oleh kepentingan Amerika dan Cina. “Dalam hal ini, Indonesia makin dalam cengkeraman korpotokrasi dan disekularisme radikal yang mengabdi pada asing. Secara luar negeri kita tidak berdaya,” ungkapnya.

Kemerdekaan Politik Hakiki

Ia mengungkapkan, kemerdekaan politik hakiki adalah kebebasan dalam mengatur urusan masyarakat di dalam dan luar negeri dengan hukum Islam. “Artinya, masyarakat tidak terkekang dalam menjalankan hukum Islam secara kaffah,” ungkapnya.

Ia mengatakan, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 menegaskan bahwa haram mengambil sekularisme, plularisme, dan liberalisasi.

Untuk itu, jelasnya, bangsa Indonesia harus melihat arah perubahan tidak sekedar perubahan personal atau persial, tetapi perubahan sistemik-fundamental.

“Umat ini harus bangkit di tengah keadaan ini, untuk meningkatkan taraf berpikir umat dengan asas keimanan, bukan karena kepentingan yang lain. Yakni dengan dengan perubahan paradigma berpikir pragmatis menjadi berpikir ideologis dan diikuti pembentukan kekuatan politik umat,” tegasnya.

“Yang dimaksud kekuatan politik umat adalah kekuatan yang menginginkan pengaturan urusan masyarakat dengan hukum tertentu, yakni Islam. Kekuatan ini ada di dalam diri individu, masyarakat dan juga negara,” pungkasnya.[] Mustaqfiroh

Share artikel ini: