Mediaumat.id – Pakistan yang terancam bangkrut menyusul Sri Lanka, menurut Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menjadi bukti bahwa penerapan sistem kapitalisme bukanlah solusi untuk menyelamatkan ekonomi.
“Potret ekonomi Pakistan menjadi salah satu bukti bahwa sistem kapitalisme bukanlah solusi untuk menyelamatkan ekonomi Pakistan,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Jumat (27/1/2023).
Ishak mengungkap Pakistan saat ini sedang mengalami berbagai masalah ekonomi utama, tiga di antaranya sebagai berikut.
Pertama, defisit anggaran yang tinggi. Pakistan sering mengalami defisit anggaran yang besar, yang dapat menyebabkan kesulitan dalam mengelola pembayaran utang dan pengeluaran pemerintah. “Pada tahun 2021, defisit anggarannya mencapai 7,1 persen,” bebernya.
Kedua, kesenjangan yang tinggi. Pendapatan di Pakistan sangat tidak merata, dengan sebagian besar pendapatan terkonsentrasi di kalangan elite ekonomi. Ketimpangan itu juga disebabkan oleh tingginya pengangguran di negara itu, terutama di kalangan pemuda dan wanita.
Kemiskinan di negara itu juga sangat tinggi. Pada tahun 2021, 20 persen penduduk di negara itu hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain, 1 dari 5 orang di Pakistan adalah orang miskin.
“Kemiskinan tersebut diperparah oleh inflasi di Pakistan seringkali tinggi, yang dapat menyebabkan kesulitan bagi keluarga dan usaha kecil. Per Desember 2022, inflasi di negara itu mencapai 24,4 persen,” terangnya.
Ketiga, ketergantungan pada bantuan luar negeri. Pakistan sangat bergantung pada bantuan luar negeri untuk membiayai proyek pembangunan dan pembayaran utang. Pada tahun 2021, rasio utang pemerintah terhadap PDB negara itu mencapai 84 persen. Di tengah pelemahan pendapatan devisa dari ekspor dan remitansi, negara itu harus menguras devisanya untuk membayar utang beserta cicilan.
“Akibatnya, nilai tukar mata uang negara itu terus merosot, terburuk dalam sejarah negara itu. Celakanya, Bank Sentral Pakistan kemudian menaikkan suku bunga hingga mencapai 17 persen untuk meredam inflasi dan mengurangi tekanan pada mata uang rupee,” jelasnya.
Sumber utang tersebut, lanjut Ishak, berasal dari berbagai negara dan lembaga, seperti Arab Saudi, Cina, dan IMF. Ketergantungan utang tersebut menyebabkan negara tersebut harus patuh pada berbagai syarat-syarat yang ditetapkan pemberi utang.
“Sebagai contoh, untuk mendapatkan dana talangan IMF sebesar 6 miliar dolar AS, pemerintah Pakistan diminta untuk mengurangi subsidi BBM dan menaikkan tarif listrik. Di tengah memburuknya kondisi ekonomi masyarakat negara itu akibat inflasi dan dampak dari banjir, syarat-syarat itu justru memperburuk kondisi ekonomi Pakistan,” ujarnya.
Menurutnya, satu-satunya solusi untuk menyelamatkan ekonomi negara itu adalah menerapkan Islam secara paripurna, seperti menggunakan mata uang dinar dan dirham, mengelola sumber daya alam negara itu secara mandiri, serta menghentikan berbagai intervensi asing melalui utang luar negeri.
“Selain itu, penggabungan Pakistan dengan negara-negara Muslim sekitarnya dalam institusi khilafah akan menjadikan Pakistan menjadi negara kuat yang disegani dari aspek politik, militer, dan ekonomi,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it