Mediaumat.info – Terkait penyebutan politik gemoy atau politik gembira menjelang pilpres akhir-akhir ini, Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menegaskan bahwa berpolitik semestinya sarat dengan keseriusan.
“Kita tahu politik itu sesungguhnya sangat serius kalau kita mengacu kepada pengertian-pengertian yang masyhur,” ujarnya dalam Focus to The Point: Politik, Gemoy atau Serius? Senin (18/12/2023) di kanal YouTube UIY Official.
Dengan kata lain, apabila politik dimaknai sebagai riayah suunil ummah, yakni mengatur kehidupan umat, mestinya harus dilakukan dengan sangat serius. “Itu kan serius sekali,” lontarnya.
Di antaranya, pengaturan ekonomi, pendidikan, maupun sosial budaya, dilakukan sedemikian sehingga bisa mewujudkan seluruh kebutuhan asasi masyarakat yang meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, serta keamanan, menuju peradaban agung.
Dengan demikian, aktivitas politik yang semestinya serius seperti yang ia paparkan sebelumnya, harus pula dihadapi, dicapai, ditangani secara serius oleh orang-orang yang juga serius.
“Politik gembira, riang gembira, iya oke, enggak ada masalah, tetapi jangan itu kemudian menjadi bahan manipulasi untuk menutupi kebutuhan keseriusan yang itu memerlukan kapabilitas,” lontarnya.
Pasalnya, selain sebagai amal shalih, berpolitik dimaksud dalam pandangan Islam terkategori ibadah yang bakal dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah SWT.
Karenanya, tak mungkin tak serius. “Tak mungkin pertanggungjawaban itu tidak serius,” tambahnya, yang berarti menjalaninya pun sekali lagi juga harus serius.
Tetapi, kata UIY menyayangkan, saat ini publik justru dipertontonkan banyaknya orang yang mengambil amanah kepemimpinan dengan cara tidak benar, penuh kecurangan dengan memanipulasi suara misalnya.
Bahkan pencitraan pun, imbuh UIY, terkategori manipulasi. Sehingga ketika mendapatkan kekuasaan seperti yang diinginkan, tak ada jaminan untuk menggunakannya secara penuh amanah.
Padahal, Nabi SAW telah mengingatkan bahwa pejabat harus memiliki kapabilitas dan kompetensi seperti yang ia sebut tadi.
“Orang itu kalau punya jabatan itu harus punya kapabilitas, harus punya kompetensi,” ucapnya, seraya menyampaikan hadits terkait jabatan adalah perkara serius, yang artinya:
Sahabat Abu Dzar al-Ghifari, suatu ketika bermaksud meminta jabatan kepada Rasulullah SAW. “Wahai Rasulullah, tidakkah Anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)?” kata Abu Dzar kepada beliau.
Sembari menepuk bahu Abu Dzar, Rasulullah bersabda: “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar” (HR Muslim).
Tak ayal, ketika orang tak tak lagi memedulikan tuntunan Islam tersebut, fenomena pejabat menumpuk kekayaan dari hasil korupsi, manipulasi berikut kesewenang-wenangan menggunakan jabatannya, pun bertambah.
“Menindas termasuk menghalangi dakwah, membubarkan organisasi dakwah itu jelas sekali, itu urusannya di depan Allah SWT itu akan penuh dengan penyesalan dan kehinaan,” pungkasnya menambahkan.[] Zainul Krian