Mediaumat.id – Sindiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal gaya hidup mewah para pejabat Polri dan memerintahkan pejabat Polri harus punya sense of crisis dinilai bagus, tapi tidak menyentuh persoalan esensial dan mendasar di kepolisian.
“Perintah Presiden ini bagus tapi tidak menyentuh persoalan esensial dan mendasar di kepolisian juga lembaga pemerintahan yang lain,” ujar Direktur Siyasah Institute Iwan Januar kepada Mediaumat.id, Selasa (19/10/2022).
Menurut Iwan, ada dua persoalan yang penting untuk dipecahkan. Pertama, audit ketat pendapatan aparat negara dan para pejabat. Jangan sampai budaya gratifikasi, suap atau korupsi dibiarkan dan saling melindungi, sehingga menjadi jaringan mafia yang kuat di lembaga pemerintahan termasuk kepolisian.
“Kasus Sambo cs itu membuat rakyat menduga kuat ada jejaring mafia di kepolisian yang memberikan keuntungan tidak halal untuk aparat ataupun pejabat,” ucapnya.
Iwan melihat, persoalan pamer kemewahan itu cuma kulit, karena yang esensial adalah pemberantasan korupsi. Kalau pencegahan dan penindakan korupsi berjalan, maka tidak bakal bisa para pejabat dan aparat penegak hukum itu pamer kemewahan.
Menurutnya, sangat tidak logis, aparat atau pejabat dengan gaji puluhan juta rupiah saja bisa punya deretan mobil mewah, deposit miliaran rupiah dan properti yang juga mewah. “Darimana mereka dapat semua itu? Harus ada pembuktian terbalik, audit ketat, dan penindakan bila terbukti hasil gratifikasi atau korupsi,” tegasnya.
Kedua, soal etika terhadap publik. Harusnya para pejabat tersebut disadarkan kalau ASN dan aparat penegak hukum sampai presiden itu digaji dengan uang negara, di antaranya dari pajak rakyat. Sehingga kalau mereka pamer kemewahan, berarti sudah putus urat malunya pada rakyat yang menggajinya. Apalagi kalau ternyata hasil gratifikasi dari pengusaha semacam pemilik judi, maka rusak sudah negara.
Iwan menyoroti, ketika presiden kelihatan sederhana tapi elite di bawahnya berlimpah harta maka jangan sampai rakyat menuduh para pemimpin negeri ini hipokrit. Menyuruh bawahan tidak bergaya hidup mewah, tapi perilaku diri sendiri juga keluarga malah sebaliknya. Tampil depan publik dengan outfit (busana) harga belasan atau puluhan juta, misalnya tas, sepeda, dan sebaginya.
Membandingkan dengan sistem Islam, Iwan melihat, pejabat dalam sistem Islam itu adalah pelaku ri’ayah/pengelola urusan rakyat. Mereka diingatkan kalau tanggung jawab mereka paling utama kepada Allah SWT, lalu pada negara dan rakyat. Para pejabat tersebut digaji atau diberi tunjangan hidup yang sepadan dengan kehidupan masyarakat umum, tidak boleh lebih juga jangan kekurangan.
Para pejabat dalam Islam juga harus diajarkan rasa malu dan kesantunan pada rakyat. Malu kalau bergaya hidup mewah sementara rakyat masih ada yang kelaparan, putus sekolah, bahkan bunuh diri karena kemiskinan.
“Akan ada pengawasan ketat dalam soal keuangan dan gaya hidup oleh negara. Kalau mereka ingin hidup mewah, jangan jadi pejabat atau aparat, jadi pengusaha saja. Itu lebih baik,” pungkas Iwan.[] Agung Sumartono