Kita masih dalam suasana peringatan bencana besar yang menimpa umat Islam, yaitu runtuhnya negara Khilafah. Jadi, hati umat Islam di mana-mana, di dunia merasa sakit, sebab malapetaka dan bencana terus menimpa mereka akibat ketiadaannya Khilafah. Kita dalam suasana peringatan yang menyakitkan ini, ketika kita menunggu fajar baru di bulan Rajab yang disemlimuti kebaikan dengan terbitnya matahari negara Khilafah Rasyidah kedua ‘ala minhājin nubuwah, dan kita sedang menanti kemenangan dengan tegaknya Khilafah dalam waktu dekat, in syāa Allah, dalam rangka memenuhi janji Allah shubhānahu wa ta’āla, dan kabar gembira dari Nabi-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallama. Agar kita pantas mendapatkan kehormatan ini, kita harus menunjukkan sifat-sifat orang beriman, di mana Allah memberikan kemenangan melalui tangan mereka. Jadi, marilah kita mengenalnya melalui ayat kedua dari Surat Al-Anfāl:
Allah shubhānahu wa ta’āla berfirman dalam kitab-Nya, dan Beliau Dzat yang paling benar perkataan-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS Al-Anfāl [8] : 2). Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas, yang mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka.” Orang-orang munafik itu tidak ada di dalam hati mereka sedikitpun dari mengingat Allah ketika melakukan kewajibannya; dan sedikitpun mereka tidak beriman terhadap ayat-ayat-Nya; mereka tidak bertawakkal; mereka tidak mendirikan shalat saat sendirian; dan mereka tidak membayar zakat atas kekayaannya. Untuk itu, Allah shubhānahu wa ta’āla memberi tahu bahwa mereka bukan orang-orang beriman. Kemudian Allah menggambarkan sifat orang-orang beriman dengan tiga sifat:
- “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka.”
- “Apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya).”
- “Dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”
Firman Allah shubhānahu wa ta’āla: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka.” Orang-orang beriman itu apabila disebut nama Allah “gemetarlah hati mereka”, yakni mereka menjadi takut, khawatir dan gelisah, maka mereka menunaikan kewajibannya.
Mujahid berkata: Ini adalah sifat orang beriman yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya iman. Sehingga ketika disebutkan nama Allah, maka hatinya gemetar, yakni takut kepada-Nya. Kemudian segera melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana firman-Nya: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran [3] : 135).
Juga firman-Nya: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS an-Nāzi’āt [79] : 40-41). Untuk itulah sebabnya Sufyan al-Tsauri berkata: Saya mendengar al-Sudi berkata terkait firman Allah shubhānahu wa ta’āla: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka.” Dia berkata: “Ia adalah orang yang hendak berbuat zalim”—atau dia berkata: “ia ingin bermaksiat.” Lalu dikatakan kepadanya: Takutlah kepada Allah, maka gemetarlah hatinya.”
Dan firman-Nya: “Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya).” Maka ini sama sebagaimana firman-Nya: “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” (QS at-Taubah [9] : 124). Imam Bukhari dan imam-imam lainnya berdalil dengan ayat ini dan yang sejenisnya terkait bertambahnya keimanan, dan berbeda-bedanya keimanan di hati setiao orang. Juga ini merupakan madzhab mayoritas imam, termasuk Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Yang benar bahwa iman itu adalah pembenaran yang pasti yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil. Inilah definisi iman. Pembenaran harus pasti, yaitu seratus persen. Bagaimana jika ada orang yang imannya kepada Allah dan hari kiamat sebesar sembilan puluh persen, maka ia tetap dikatakan ragu dengan dua rukun iman ini meski hanya sepuluh persen. Jadi, apakah dengan ini dia disebut beriman? Tentu saja tidak. Sebab pilihannya iman atau tidak beriman. Iman itu tidak bertambah atau berkurang. Namun yang bertambah dan berkurang itu adalah amalnya yang merupakan salah satu konsekuensi dan tuntutan dari keimanan. Iman itu bukan kata yang diucapkan dengan lisan saja, melainkan iman itu adalah yakin dan percaya dengan rukun iman yang enam, yaitu: iman kepada Allah, malaikat, kirab-Nya, Rasul-Nya, hari akhir (kiamat), serta qadha’ dan qadar. Imam ini membawa konsekwensi, tuntutan dan beban, yaitu terkait perintah Allah dan larangan-Nya, untuk menguji iman kita, dan Dia tahu kebenaran kita. Namun itu untuk membuktikan bahwa kita salah hingga pantas dijatuhi hukuman.
Sayyid Qutb rahimahullah berkata terkait tafsir surat al-Ankabūt: “Iman bukanlah kata yang hanya bisa dikatakan, melainkan kebenaran yang memiliki beban, amanah yang memiliki tanggung jawab, jihad yang membutuhkan kesabaran, dan upaya yang membutuhkan daya tahan. Belumlah cukup bagi manusia mengatakan: Kami beriman, (namun juga) mereka tidak meninggalkan dakwah ini hingga mereka menghadapi fitnah (ujian), kemudian mereka tetap teguh meski fitnah menimpanya, hingga mereka keluar (lulus dari ujian) dengan unsur-unsur yang bersih, dan hati yang jernih. Seperti halnya api membakar emas untuk memisahkan darinya unsur-unsur murah yang melekat padanya. Fitnah itu juga ditimpakan pada hati. Sungguh, ada dasar yang kuat bahwa fitnah itu dapat menimpa (menguji) keimanan, mengingat itu merupakan hukum alam yang berjalan dalam neraca Allah subhānahu wa ta’āla: “Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS al- Ankabūt [29] : 2).
Sayyid Qutb rahimahullah berkata: “Berhukum kepada metode (sistem) Allah dalam kitab-Nya bukun kebaikan yang dilakukan atas dasar sukarela, perbuatan sunah, dan bukan perkara yang dibebaskan memilih. Namun ia adalah iman atau tidak iman. “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS al-Ahzāb [33] : 36).
Masalahnya sangat serius. Ini adalah masalah akidah dari fondasinya, juga ini adalah masalah kebahagiaan umat manusia atau kesengsaraannya. Manusia adalah ciptaan Allah, sehingga tidak yang bisa membuka kunci fitrahnya, kecuali dengan kunci-kunci yang dibuat oleh Allah. Tidak ada yang dapat mengobati sakit dan penyakitnya, kecuali dengan obat yang berasal Allah. Sungguh, Allah telah membuat metode (sistem)-nya, dan menentukan kunci-kuncinya untuk setiap yang ditutup, serta penyembuhan untuk setiap obat. Allah subhānahu wa ta’āla berfirman: “Dan Kami turunkan dari al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang yang beriman.” (QS al-Isra’ [17] : 82). Dan firman-Nya: “Sungguh al-Qur’an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus.” (QS al-Isra’ [17] : 9).
Tetapi umat manusia ini tidak ingin mengembalikan kunci ke pembuatnya, tidak juga membawa pasien kepada penciptanya, bahkan mereka tidak melakukannya meski untuk masalah dirinya sendiri, dan tidak pula dalam hal kemanusiaan, juga dalam hal kebahagiaan atau kesengsaraannya, termasuk apa yang biasa digunakan berupa sarana-sarana fisik yang kurang penting yang digunakannya dalam kebutuhan sehari-hari yang kecil. Padahal mereka tahu bahwa mereka meminta perbaikan perangkat pada insinyur pabrik yang membuat perangkat ini, sayangnya ini tidak diterapkan kepada manusia itu sendiri, lalu mengembalikannya ke pabrik tempat perangkat itu dibuat. Juga tidak meminta arahat dari perancang yang menciptakan perangkat yang unik ini. Perangkat tubuh manusia yang agung, mulia, halus dan lebut, di mana tidak ada yang tahu prosedur kerjanya secara tepat dan akurat, kecuali yang menciptakan dan yang membuatnya. “Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui.” (QS al-Mulk [67] : 14). Demikian kutipan dari perkataan Sayyid Qutb rahimahullah.
Iman tidak disebutkan dalam Al-Qur’an kecuali disebutkan juga bersamanya amal kebajikan: “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajkan.” (QS Al-Baqarah [2] : 82). Kata iman disebutkan namun yang dimaksud dengannya adalah amal kebajikan. Hal yang seperti ini disebutkan dalam al-Qur’an ketika menanggapi peristiwa perubahan kiblat kaum Muslim dari Baital Maqdis di al-Quds al-Syarif ke Baitullah al-Haram di Mekkah al-Mukarramah. Allah subhānahu wa ta’āla berfirman: “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS Al-Baqarah [2] : 146). Para mufassir berkata, “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu”, yakni Allah subhānahu wa ta’āla tidak akan menyia-nyiakan shalat Anda, yang Anda lakukan dengan menghadap ke Baital Maqdis sebelum perubahan arah kiblat.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda: “Pezina tidak melakukan perzinahan, di mana pada saat berzina ia dalam keadaan beriman.” Artinya siapa saja yang bermaksiat kepada Allah, maka ketika ia bermasiat kepada Allah, iman menjauh darinya, yakni ia bukan seorang yang beriman, yang menyadari hubungan dirinya dengan Allah, sebab ia tengah lalai dari hubungan ini. Dan kelalaian inilah yang membawa pelakunya pada kebinasaan di jahannam, na’ūdzu billah, jika ia tidak segera sadar, kembali ke akal sehatnya, dan bertaubat kepada Allah dengan taubat yang benar. Allah subhānahu wa ta’āla berfirman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS Al-A’rāf [7] : 179).
Hadits yang disebutkan di atas adalah hadits shahih yang terdapat dalam shahih Bukhari dan Muslim, juga di selain kitab keduanya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda: “Pezina tidak melakukan perzinahan, jika pada saat berzina ia dalam keadaan beriman. Pencuri tidak melakukan pencurian, jika pada saat mencuri ia dalam keadaan beriman. Pemabuk tidak meminum khomer, jika pada saat meminumnya ia dalam keadaan beriman.” Dan di dalam riwayat lain, “sedang taubat terbuka (bagi pelakunya) setelah itu”.
Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam menjelaskan hadits tersebut: “Perkataan yang benar yang dikemukakan oleh penyelidik adalah bahwa dia tidak melakukan dosa-dosa (kemaksiatan) ini, jika ia sempurna imannya. Ini adalah salah satu lafadz yang disebutkan untuk meniadakan sesuatu, dan yang dimaksud adalah peniadaan secara keseluruhan. Seperti yang dikatakan: “Tidak ada ilmu selain yang bermanfaat; tiada harta selain unta, dan tidak ada kehidupan selain kehidupan setelah kematian (akhirat).
Sementara kami menafsirkan makna ini untuk hadis Abu Dzarr dan yang lainnya, “Siapa saja yang berkata, Tidak ada tuhan selain Allah, maka ia masuk surga, meski ia pernah berzina dan mencuri.” Dengan kesepakatan ulama Ahlus Sunnah bahwa pezina, pencuri, pembunuh dan lainnya di antara pelaku dosa-dosa besar selain syirik (perbuatan menyekutukan Allah) tidak membuatnya kufur dengan dosanya itu. Mereka adalah orang yang imannya berkurang, sehingga jika mereka bertaubat, maka gugur hukuman atas mereka. Namun jika mereka mati, sementara mereka tetap melakukan dosa-dosa besar itu, maka diserahkan kepada Allah. Apakah Allah mengampuni mereka, dan memasukkan mereka ke surga atau tidak, atau apakah Allah menyiksa mereka, kemudian mereka dimasukkan ke dalam surga. Kami telah membatasi diri pada makna yang dikuatkan Imam Nawawi karena kejelasannya, kesesuaiannya, dan kecocokannya dengan kaidah-kaidah syariah yang sifatnya umum, dan nash-nash syariah lainnya.
Sementara firman-Nya: “Dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” Artinya mereka tidak berharap kepada selain Allah, tidak mencari apa pun selain kepada-Nya, tidak mencari perlindungan kecuali dengan perlindungan-Nya, tidak mencari kebutuhan kecuali dari-Nya, dan mereka hanya menginginkan pengabdian kepada-Nya. Mereka tahu bahwa apa yang dikehendaki Allah terjadi, dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Dia satu-satunya yang bertindak di dalam kerajaan-Nya ini, dan tidak ada sekutu bagi-Nya, serta tidak ada yang mengawasi hukum-Nya, dan Dia sangat cepat hisab-Nya. Itulah sebabnya, Said bin Jubeir berkata: “Tawakkal kepada Allah adalah inti keimanan.” Wallāhu a’lam! [Al-Ustadz Muhammad Ahmad an-Nadi]
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 20/03/2020.