Oleh: Indarto Imam
Jika dikatakan kepada mereka, “Marilah kalian (tunduk) pada hukum yang telah Allah turunkan dan pada hukum Rasul,” niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Lalu bagaimanakah jika mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah akibat perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna.” Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka, berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (QS an-Nisa [4]: 61-63)
Setidaknya, ada tiga perkara penting yang dapat dipetik dari ayat ini. Pertama: sifat kaum munafik. Di antara sifat khas kaum munafik adalah penolakan mereka yang amat keras terhadap seruan pada syariah. Kendati mengaku mengimani seluruh kitab yang diturunkan, mereka lebih senang dan ridha berhukum kepada hukum selain Allah. (Lihat juga: QS al-Nur [24]: 48).
Suatu ketika mereka memang terlihat tunduk pada keputusan syariah. Akan tetapi, kepatuhan itu didasarkan pada kemaslahatan semata. Jika keputusan syariah sejalan dengan kemaslahatan mereka, mereka baru mau patuh (lihat QS al-Nur [24]: 49). Pembangkangan dan kesombongan mereka terhadap seruan dakwah juga digambarkan dalam QS al-Munafiqun [63]: 5. Ketika mereka diminta untuk beriman, agar Rasulullah saw. memintakan ampun bagi mereka, mereka membuang muka mereka dan berpaling dengan menyombongkan diri.
Penolakan mereka terhadap syariah tentu menimbulkan tanda tanya besar atas pengakuan keimanan mereka. Lazimnya, keyakinan terhadap apa pun akan memberikan pengaruh pada perbuatan. Keyakinan pada al-Quran beserta seluruh hukum yang terkandung di dalamnya akan mengantarkan pelakunya untuk taat terhadap seluruh ketentuan hukum di dalamnya.
Sifat lainnya adalah keberanian mereka dalam berdusta. Banyak kedustaan yang mereka ucapkan. Bahkan pengakuan keimanan mereka pun sesungguhnya adalah dusta. Tak ayal, mereka disebut sebagai pendusta (Lihat: QS al-Munafiqun [63]: 1) .
Dalam berdusta, mereka tak segan bersumpah atas nama Allah Swt. Selain dalam ayat ini, sumpah palsu mereka juga diceritakan dalam QS at-Taubah [9]: 107. Ketika ada di antara mereka yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemadaratan, kekafiran dan memecah -belah kaum Mukmin, mereka bersumpah, “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Mereka telah menjadikan sumpah mereka sebagai perisai dan alat untuk menghalangi manusia dari jalan Allah Swt (QS al-Munafiqun [63]: 2).
Kedua: akibat kemunafikan dan penolakan terhadap syariah. Ayat ini memberitakan tentang musibah yang akan menimpa mereka. Ditegaskan, musibah yang ditafsirkan oleh para mufassir sebagai hukuman atau bencana itu adalah akibat ulah mereka sendiri. Penolakan mereka terhadap syariah dan keinginan mereka berhukum kepada thâghût menjadi penyebab datangnya musibah (Lihat juga: QS al-Maidah [5]: 49).
Di samping di dunia, hukuman jauh lebih besar akan mereka terima kelak di akhirat. Layaknya kaum kafir, orang munafik i’tiqadi itu juga akan menjadi penghuni neraka selama-lamanya. Tempatnya pun berada di neraka paling bawah (lihat QS an-Nisa’ [4]: 145).
Ketiga: sikap umat Islam dalam menghadapi kaum munafik. Umat Islam harus tsiqah terhadap Islam dan berpaling dari mereka. Berbagai alasan dan dalih yang mereka kemukakan untuk menolak syariah tidak boleh diterima dan dibenarkan. Sebagaimana diperintahkan dalam QS al-Ahzab [33]: 1, umat Islam harus terus bertakwa kepada Allah Swt. dan tidak mengikuti kaum munafik; juga tidak menghiraukan gangguan mereka serta harus bertawakal kepada Allah Swt (lihat QS al-Ahzab [33]:48).
Mereka juga diberi nasihat yang membekas dan menggugah kesadaran mereka. Mereka dijelaskan kesesatan akidah mereka beserta bukti-buktinya, kebatilan anggapan mereka, dan kerusakan sikap mereka. Mereka diingatkan dahsyatnya azab Allah Swt yang bakal mereka terima di akhirat kelak jika tetap bertahan dengan sikapnya. Mereka juga didorong agar segera sadar dan bertobat. Selagi maut belum menjemput, pintu tobat masih terbuka buat mereka. Jika mereka mau bertobat, mengadakan perbaikan, berpegang teguh pada agama Allah dan tulus ikhlas mengerjakan agama-Nya, mereka akan mendapatkan ampunan dan pahala amat besar (lihat QS al-Nisa’ [4]: 145-146).
Di samping siksa di akhirat, kaum munafik itu harus diingatkan dengan hukuman di dunia. Jika telah terbukti kemunafikannya, mereka akan dihadapi dengan tegas. Allah Swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka (QS at-Taubah [9]: 73).[]