Strategi ini mirip dengan pengurangan pasokan Premium agar konsumen beralih ke Pertalite atau Pertamax.
Dalam beberapa pekan terakhir di penghujung tahun ini, masyarakat di berbagai kota kesulitan mendapatkan LPG (elpiji) 3 Kg. Harga di beberapa daerah bahkan telah melampaui Rp 25.000 per tabung. Di beberapa tempat, masyarakat harus mengantri panjang untuk mendapatkan bahan bakar itu.
Pertamina, perusahaan yang ditugaskan memproduksi dan mendistribusikan produk itu, mengklaim bahwa terjadi lonjakan permintaan yang lebih cepat untuk menyambut Natal dan Tahun Baru. Pernyataan ini tentu janggal, sebab konsumen yang merayakan Natal jumlahnya relatif sedikit.
Selain itu, perayaannya masih cukup lama sehingga sangat tidak ekonomis bagi rumah tangga untuk menyimpan elpiji dalam jumlah yang lebih banyak. Pernyataan berbagai agen, pangkalan dan pengecer bahwa kuota yang mereka dapatkan turun dibandingkan biasanya adalah bukti terjadi pengurangan pasokan dari hulu.
Penghapusan Subsidi
Kuat dugaan, pengurangan kuota ini merupakan bagian dari rencana pemerintah untuk mengurangi penggunaan elpiji 3 kg. Strategi ini mirip dengan pengurangan pasokan Premium agar konsumen beralih ke Pertalite atau Pertamax.
Seperti diketahui, pemerintah mengeluhkan elpiji 3 kg banyak dikonsumsi oleh penduduk yang mampu. Padahal, tabung melon ini hanya diperuntukkan untuk orang miskin. Untuk itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM, sedang mempersiapkan berbagai langkah agar produk bersubsidi ini dihilangkan dari pasar mulai awal tahun 2018. Khusus untuk masyarakat yang tidak mampu, pemerintah akan memberikan bantuan sosial langsung melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) untuk bisa mendapatkan elpiji 3 kg.
Celakanya, pemerintah melalui Kementerian Sosial masih kesulitan untuk mengumpulkan data penduduk miskin. Dari 25 juta keluarga miskin yang ditargetkan, kini baru terkumpul 15 juta. Padahal, dalam banyak kebijakan Pemerintah seperti Kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Raskin, dan Subsidi Listrik, diklaim semuanya didistribusikan berdasarkan data penduduk miskin versi pemerintah.
Di saat yang sama, Pertamina juga telah meluncurkan Bright Gas 3 kg yang non-subsidi. Produk yang berwarna pink ini akan dilepas dengan harga 11 ribu per kilogram atau Rp 33 ribu per tabung. Harga ini lebih tinggi dari harga elpiji 3 kg yang dijual Rp 5.000 per kilogram atau Rp15.000 per tabung. Rencananya produk ini akan dilepas pada awal 2018. Meskipun demikian, harga non-subsidi Pertamina ini jauh lebih mahal dibandingkan salah satu produsen swasta yang menjual elpiji sebesar Rp 5.500 per kilogram.
Rencana ini, semakin menunjukkan bahwa pemerintah semakin abai terhadap kondisi kesejahteraan masyarakat. Setelah tertekan akibat pencabutan subsidi listrik dan subsidi BBM, daya beli masyarakat khususnya menengah bawah akan semakin tertekan jika kebijakan ini diperlakukan.
Tudingan bahwa pemerintah telah menjalankan konsep ekonomi neoliberal sulit untuk ditampik. Dorongan Bank Dunia dan berbagai lembaga asing agar Indonesia menghapus bersih subsidi energi akan segera terealisasi. Dengan demikian, bisnis energi akan sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar.
Subsidi energi untuk rakyat terus dikurangi, sementara karpet merah untuk investor terus digelar. Berbagai insentif diberikan kepada investor, termasuk memberikan bunga yang tinggi bagi pembeli Surat Utang Pemerintah. Tahun depan pembayaran bunga utang dianggarkan Rp 248 triliun. Bandingkan dengan anggaran subsidi elpiji yang hanya di kisaran Rp 30 triliun.
Inilah risiko yang harus ditanggung rakyat, ketika pemerintah negara ini tak menjadikan Islam sebagai dasar dalam mengelola negara termasuk dalam menangani urusan energi dan kebutuhan pokok rakyatnya. [] Muis
Sumber: Tabloid Media Umat Edisi 210