Ditulis Oleh: dr. M. Amin (direktur Poverty Care)
Imam as Syafi’i berkata:
مَنِ اسْـتُغْضِبَ وَ لَمْ يَغْضَبْ فَهُوَ حِمَارٌ
Siapa yang dibuat marah, tapi tidak marah maka dia adalah (seperti) keledai (Hilyatul Awliya’, 9/143)
Sungguh aneh dengan sikap sebagian umat ketika Rasulullah bersikap diam dan sok ‘bijak’, yang menganjurkan agar jangan marah saat agama dinistakan.
Al-Qadhi ‘Iyadh dalam Asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al Musthafa menegaskan, bahwa tidak ada perbedaan di kalangan ulama kaum Muslim tentang halalnya darah orang yang menghina Nabi saw. Meski sebagian ada yang memvonis pelakunya sebagai orang murtad, kebanyakan ulama menyatakan pelakunya kafir, bisa langsung dibunuh, dan tidak perlu diminta bertobat serta tidak perlu diberi tenggat waktu tiga hari untuk kembali ke pangkuan Islam. Ini merupakan pendapat al-Qadhi Abu Fadhal, Abu Hanifah, ats-Tsauri, al-Auza’i, Malik bin Anas, Abu Mus’ab dan Ibn Uwais, Ashba’ dan ‘Abdullah bin al-Hakam. Bahkan al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan, ini merupakan kesepakatan para ulama (Al-Qadhi ‘Iyadh, Asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, hlm. 428-430).
Ada beberapa hadis yang terkait dengan masalah ini. Di antaranya riwayat Abu Dawud dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra, yang menyatakan, “Ada seorang wanita Yahudi yang sering mencela dan menjelek-jelekkan Nabi saw. (oleh karena perbuatannya itu), maka perempuan itu telah dicekik sampai mati oleh seorang laki-laki. Ternyata Rasulullah saw. menghalalkan darahnya.” (HR Abu Dawud). Sanad hadis ini dinyatakan jayyid (baik) oleh Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, dan termasuk sejumlah hadis yang dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad (Ash-Sharim al-Maslul ‘ala Syatimi ar-Rasul, III/59).
Hadis ini juga memiliki syahid, yakni hadis riwayat Ibn Abbas yang menyatakan bahwa ada seorang laki-laki buta yang istrinya senantiasa mencela dan menjelek-jelekkan Nabi saw. Lelaki itu berusaha melarang dan memperingatkan agar istrinya tidak melakukannya. Pada suatu malam istrinya mulai lagi mencela dan menjelek-jelekkan Nabi saw. Merasa tidak tahan lagi lelaki itu lalu mengambil kapak kemudian dia tebaskan ke perut istrinya dan dia hunjamkan dalam-dalam sampai istrinya itu mati. Keesokan harinya, turun pemberitahuan dari Allah SWT kepada Rasulullah saw. yang menjelaskan kejadian tersebut. Pada hari itu juga Nabi saw. mengumpulkan kaum Muslim dan bersabda,” Dengan menyebut asma Allah, aku meminta orang yang melakukannya, yang sesungguhnya tindakan itu adalah hakku, berdirilah!” Kemudian (kulihat) lelaki buta itu berdiri dan berjalan dengan meraba-raba sampai dia berada di hadapan Rasulullah saw. Kemudian ia duduk seraya berka-ta, “Akulah suami yang melakukan hal tersebut ya Rasulullah saw. Kulakukan hal tersebut karena ia senantiasa mencela dan menjelek-jelekkan dirimu. Aku telah berusaha melarang dan selalu mengingatkannya, tetapi ia tetap melakukannya. Dari wanita itu, aku mendapatkan dua orang anak (yang cantik) seperti mutiara. Istriku itu sayang kepadaku. Namun, kemarin ketika ia (kembali) mencela dan menjelek-jelekkan dirimu, lantas aku mengambil kapak, kemudian kutebaskannya ke perut istriku dan kuhunjamkan kuat-kuat ke perut istriku sampai ia mati.” Tindakan lelaki ini dibenarkan oleh Nabi saw.
Inilah ketentuan yang berlaku terhadap seorang Muslim yang menghina Nabi saw. Namun, jika pelakunya kafir dzimmi, maka perjanjian dengan mereka otomatis batal, pelakunya diberlakukan hukuman mati; kecuali, menurut sebagian fuqaha, jika mereka masuk Islam. Keputusan ada di tangan Khalifah, apakah keislamannya bisa diterima atau tetap diberlakukan hukuman mati sebagai pelajaran bagi orang-orang kafir yang lain.
Adapun terhadap kafir harbi, maka hukum asal perlakuan terhadap mereka adalah perang (qital). Siapapun yang melakukan pelecehan terhadap Rasulullah saw. akan diperangi. Inilah ketentuan yang seharusnya dilakukan negara atau penguasa kaum Muslim hari ini menghadapi penghinaan kepada Nabi saw. yang dilakukan oleh orang kafir, warga AS maupun yang lain itu. Dengan begitu, segala bentuk penistaan terhadap Nabi saw. akan bisa dihentikan.
Hanya saja, hal ini tidak dilakukan. Nyatalah bahwa umat kini membutuhkan seorang khalifah yang memiliki ketegasan, keberanian, serta taat kepada Allah SWT. Karena Khalifahlah yang secara nyata akan menghentikan semua penghinaan itu, serta melindungi kehormatan Islam dan umatnya, sebagaimana yang pernah ditunjukkan oleh Khalifah Abdul Hamid II terhadap Prancis dan Inggris yang hendak mementaskan drama karya Voltaire, yang menghina Nabi Muhammad saw. Ia mengancam akan mengerahkan tentara jihad jikalau drama itu tidak dibatalkan. Ancaman ini berhasil menghentikan rencana pementasan drama yang menghina Nabi saw. tersebut.[]
View Comments (1)
mohon maaf, barangkali ada kesalahan ketik kalimat ini:
Sungguh aneh dengan sikap sebagian umat ketika Rasulullah bersikap diam dan sok ‘bijak’, yang menganjurkan agar jangan marah saat agama dinistakan.