Shalat yang Belum Ditunaikan oleh Seorang Muslim Merupakan Utang di Tengkuknya yang Harus Dia Tunaikan

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pendahuluan yang baik wa ba’du;

Saya menelaah laman Anda dalam waktu dekat ini dan seorang teman di antara syabab Hizbut Tahrir membantu saya dalam hal itu. Saya merasa takjub dengan kecemerlangan Anda dalam memaparkan dan kekuatan hujjah khususnya jawab soal fikhiyah. Dan sungguh saya memohon kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa agar memanjangkan usia Anda untuk melakukan kebaikan dan membekali Anda dengan kekuatan fisik dan ilmu dan menunjuki saya ke jalan yang membuat ridha Allah dan rasul-Nya.

Saya mohon Anda jawab pertanyaan berikut:

Saya senantiasa komitmen menunaikan shalat beberapa tahun setelah usia pertanggungjawaban dan untuk Allah lah segala pujian dan syukur. Pertanyaannya: apakah wajib bagi saya mengqadha’ shalat yang saya lewatkan ataukah Allah mengampuni saya tanpa qadha’?

Terima kasih.

[Mohammad Alhajj]

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Di awal, saya memuji kepada Allah SWT karena telah menunjuki Anda kepada kebaikan sehingga Anda berpegang untuk menunaikan shalat dan Anda perhatian untuk menunaikannya. Dan saya sungguh memohonkan kepada Allah SWT pertolongan dan keteguhan untuk Anda …

Adapun berkaitan dengan shalat yang belum Anda tunaikan sejak Anda mencapai usia baligh dan menjadi mukallaf secara syar’iy, dan karena Anda adalah muslim maka shalat yang belum Anda tunaikan ini merupakan utang di tengkuk Anda yang harus Anda tunaikan. Oleh karena itu Anda harus menghitung jangka waktu sejak Anda baligh yang Anda menjadi terikat untuk menunaikan shalat. Dan misalnya kami katakan bahwa jangak waktu ini adalah tiga tahun, maka Anda harus mengqadha’ shalat tiga tahun itu: lima waktu shalat dalam satu hari dan itu merupakan shalat fardhu. Adapun shalat sunnahnya maka tidak wajib bagi Anda untuk mengqadha’nya…

Dan hal itu mungkin diatur dan dimudahkan dengan Anda tunaikan shalat tiap hari setelah shalat fardhu, Anda tunaikan shalat semisalnya sebagai qadha’ atas shalat yang telah Anda lewatkan. Dan jika Anda ingin menunaikan shalat sekali lagi sebagai qadha’ maka semuanya adalah baik. Yang demikian itu sampai Anda mengqadha’ tahun-tahun yang terhitung (terlewatkan shalatnya)…. Dan saya memohon kepada Allah SWT agar menolong Anda untuk mengqadha’ shalat-shalat yang Anda lewatkan dan agar meningkatkan perhatian Anda untuk menunaikan shalat pada waktunya …

Untuk menjelaskan dalil-dalil syar’iy seputar perkara ini, maka saya kutipkan sebagian yang dinyatakan tentang itu di buku Ahkâm ash-Shalât (karya Ali Raghib):

[Pengakhiran shalat dari waktunya secara sengaja tanpa udzur syar’iy adalah haram secara qath’iy sesuai dengan nash al-Quran. Allah SWT berfirman:

﴿فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya” (TQS al-Ma’un [107]: 5).

Allah SWT berfirman:

﴿فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاَةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (TQS Maryam [19]: 59).

Ini juga ditetapkan dengan mafhum hadits mutawatir yang menjelaskan waktu-waktu shalat. Allah SWT telah menetapkan untuk tiap shalat fardhu waktu yang dibatasi dua ujungnya, yang masuk pada waktu tertentu dan batal pada waktu tertentu. Rasul saw bersabda:

«مَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْعَصْرِ فَكَأَنَّمَا وُتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ»

“Siapa yang melewatkan shalat ‘Ashr maka seolah-olah telah dikurangi (dirampas) keluarganya dan hartanya” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, at-Tirmidzi).

Rasul saw bersabda tentang penundaan shalat dari waktunya:

«لَيْسَ التَّفْرِيطُ فِي النَّوْمِ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ»

“Penyia-nyiaan bukanlah pada waktu tidur melainkan penyia-nyiaan itu pada waktu bangun” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, an-Nasai)…

 

Dan siapa yang melewatkan shalat fardhu maka dia wajib mengqadha’nya baik dia melewatkannya karena udzur atau tanpa udzur. Sebab semata mengqadha’ shalat itu ditetapkan dengan hadits shahih. Telah diriwayatkan di Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim dari Imran bin Hushain, dia berkata:

كُنَّا فِي سَفَرٍ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ، وَإِنَّا أَسْرَيْنَا حَتَّى كُنَّا فِي آخِرِ اللَّيْلِ وَقَعْنَا وَقْعَةً وَلَا وَقْعَةَ أَحْلَى عِنْدَ الْمُسَافِرِ مِنْهَا، فَمَا أَيْقَظَنَا إِلَّا حَرُّ الشَّمْسِ… فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ ﷺ شَكَوْا إِلَيْهِ الَّذِي أَصَابَهُمْ فَقَالَ: «لَا ضَيْرَ أَوْ لَا يَضِيرُ ارْتَحِلُوا، فَارْتَحَلُوا فَسَارَ غَيْرَ بَعِيدٍ، ثُمَّ نَزَلَ فَدَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ نَادَى بِالصَّلَاةِ فَصَلَّى بِالنَّاسِ»

“Kami berada dalam perjalanan bersama Nabi saw dan kami berjalan hingga di akhir malam kami tertidur lelap yang seorang musafir tidak terlelap seperti itu. Tidak ada yang membangunkan kami kecuali panasnya sinar matahari … ketika Nabi saw bangun, para sahabat mengadu kepada Beliau atas apa yang menimpa mereka, maka Beliau bersabda: “ tidak ada salahnya berangkatlah, maka mereka pun berangkat dan berjalan belum sampai jauh, kemudian berhenti, lalu Nabi saw meminta air dan berwudhu, kemudian diserukan shalat dan Beliau pun mengimami shalat orang-orang”.

Dan karena apa yang diriwayatkan dari Jabir ra:

«أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ جَاءَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ بَعْدَمَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي الْعَصْرَ حَتَّى كَادَتْ الشَّمْسُ تَغْرُبُ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا، فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ فَتَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا فَصَلَّى الْعَصْرَ بَعْدَمَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا الْمَغْرِبَ»

“bahwa Umar bin al-Khaththab datang pada saat perang Khandaq setelah tenggelam matahari dan dia mencela kaum kafir Quraisy. Dia berkata: “ya rasulullah saya belum shalat ‘Ashr sampai matahari tenggelam”. Nabi saw pu bersabda: “demi Allah aku juga belum shalat ‘Ashr”. Maka kami pergi ke buthhan dan beliau berwudhu untuk shalat dan kami pun berwudhu untuk shalat, lalu Beliau shalat ‘Ashr setelah matahari tenggelam kemudian setelahnya Beliau shalat Maghrib”.

 

Dan karena apa yang diriwayatkan dari Abu Sa’id, dia berkata:

«حُبِسْنَا يَوْمَ الْخَنْدَقِ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى كَانَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ بِهَوِيٍّ مِنْ اللَّيْلِ حَتَّى كُفِينَا، وَذَلِكَ قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ اللَّهُ قَوِيّاً عَزِيزاً﴾. قَالَ: فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِلَالًا، فَأَقَامَ صَلَاةَ الظُّهْرِ فَصَلَّاهَا وَأَحْسَنَ صَلَاتَهَا كَمَا كَانَ يُصَلِّيهَا فِي وَقْتِهَا، ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْعَصْرَ فَصَلَّاهَا وَأَحْسَنَ صَلَاتَهَا كَمَا كَانَ يُصَلِّيهَا فِي وَقْتِهَا، ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْمَغْرِبَ فَصَلَّاهَا كَذَلِكَ»

“Pada waktu perang Khandaq kami tertahan dari menunaikan shalat sampai setelah Maghrib dan memasuki sebagian malam sampai kami telah dicukupkan. Hal itu firman Allah SWT (artinya): “Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (TQS al-Ahzab [33]: 25). Dia berkata: “maka Rasulullah saw menyeru Bilal dan Bilal pun mengumandangkan iqamah shalat zhuhur lalu beliau pun shalat Zhuhur dan memperbagus shalat sebagaimana beliau menunaikannya pada waktunya, kemudian Beliau menyuruh Bilal lalu Bilal mengumandangkan iqamah shalat ‘Ashr lalu beliau shalat ‘Ashr dan memperbagusnya sebagaimana Beliau menunaikannya pada waktunya. Kemudian Beliau menyuruh Bilal dan Bilal pun mengumandangkan iqamah Maghrib dan Beliau pun shalat Maghrib dan memperbagusnya”.

Dan karena apa yang diriwayatkan dari Rasul saw bahwa ketika Beliau ditanya oleh seorang wanita dari Khats’am yang berkata: “ya Rasulullah, bapakku telah dijumpai kewajiban haji pada saat lanjut usia yang ia tidak mampu berhaji, jika aku berhaji atas dirinya apakah hal itu bermanfaat baginya? Maka Rasul saw bersabda kepadanya:

«أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِهِ أَكَانَ يَنْفَعُهُ ذَلِكَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ»

“bagaimana pandanganmu, seandainya bapakmu memiliki utang lalu kamu membayarnya apakah hal itu bermanfaat baginya? Dia berkata: “benar”. Beliau pun bersabda: “utang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar”.

 

Semua hadits ini gamblang menyatakan qadha’ shalat. Hal itu menunjukkan bahwa qadha’ shalat adalah wajib dan tidak ada kafarah untuk meninggalkan shalat kecuali dengan mengqadha’nya saja baik apakah meninggalkannya karena udzur atau tanpa ada udzur sebab hadits-hadits tersebut gamblang. Tidak dikatakan bahwa hadits-hadits ini dibatasi dengan peristiwa tertentu yaitu tidur, lupa, perang dan tidak mampu. Semua ini merupakan udzur syar’iy, tidak ada dosa meninggalkan shalat dalam mengakhirkannya dari waktunya sehingga qadha’ bersifat khusus dengannya saja dan tidak mencakup yang lainnya, berbeda dengan sengaja, tidak ada nash yang menyatakan kebolehan mengqadha’nya. Tidak dikatakan demikian. Sebab hadits-hadits ini di dalamnya tidak dinyatakan sifat tidur, lupa dan perang dalam bentuk sebagai batasan di situ. Melainkan hadits-hadits itu datang sebagai deskripsi kejadian yang terjadi tanpa dipahami darinya sifat pembatasan dengan peristiwa-peristiwa itu saja. Bukankah Anda memandang di dalam hadits Jabir bagaimana Umar bin al-Khaththab mencela kaum kafir Quraisy dan berkata, “ya Rasulullah aku belum menunaikan shalat ‘Ashr hingga matahari tenggelam”. Lalu Nabi saw bersabda kepadanya: “demi Allah aku juga belum shalat ‘Ashr” kemudian Nabi berdiri, berwudhu lalu shalat. Di mana sifat pembatasan di dalam kejadian ini yang menunjukkan bahwa itu khusus dengan kejadian itu? Katakan semisal itu dalam peristiwa-peristiwa lainnya. Jadi tidak ada di dalam lafal tersebut apa yang menunjukkan bahwa itu terbatas dengannya dan bahwa tidak boleh pada selainnya. Tetapi masing-masing dari hadits yang terjadi dalam peristiwa tertentu itu datang dalam bentuk pernyataan atas fakta bukan dalam bentuk pernyataan atas batasan. Dan tidak tampak di dalamnya sebab yang dikhususkan untuk qadha’ shalat di situ saja sebagaimana yang jelas dari pembacaan hadits-hadits tersebut. Adapun hadits-hadits yang di situ dinyatakan perbuatan yang memberikan makna sifat yaitu sabda Nabi saw: “man nâma -siapa yang tidur-“, “aw nasiyahâ -atau melupakannya-“, jika dia tidur: “aw ghafila -atau dia lupa-“, “man nasiya -siapa yang lupa-“, semuanya, di dalamnya sifat itu dinilai sebagai batasan dan di dalamnya diniai ada mafhum mukhalafah sebab itu merupakan sifat. Dan mafhum mukhalafah dalam sifat itu muktabar. Dan karena jika penyebutannya tidak dinilai sebagai batasan maka penyebutannya dengan sifat ini menjadi sia-sia dan hal itu dinafikan dari hadits. Tetapi, mafhum mukhalafah untuk nash-nash ini diabaikan pengamalannya oleh nash-nash lainnya. Dan jika dinyatakan nash yang manthuqnya menunjukkan kebalikan dari mafhum nash lainnya maka mafhum itu diabaikan dan diambil manthuq tersebut sebab dalalahnya terhadap makna lebih kuat dari dalalah mafhum… Hadits-hadits ini diabaikan mafhumnya dengan hadits-hadits yang dinyatakan tentang qadha’ shalat yang terluputkan pada selainnya, yaitu perang. Di dalam hadits qadha’ haji yang di dalamnya dinyatakan sabda Nabi saw: “fa adynullâh ahaqqun bi al-qadhâ’ -maka utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan-“ menggunakan lafal umum yang mencakup semua utang kepada Allah. Dan shalat merupakan utang kepada Allah sehingga masuk di bawah keumuman kata “daynullâh -utang kepada Allah-“ sebab itu merupakan isim jenis yang diidhafatkan dan itu termasuk redaksi umum secara pasti. Orang yang sengaja meninggalkan shalat telah diseru dengan shalat sebagaimana setiap muslim diseru dengan shalat. Dan wajib baginya menunaikannya sehingga menjadi utang yang menjadi kewajibannya. Dan utang tidak gugur kecuali dengan ditunaikan. Maka demikian juga shalat, tidak gugur dengan telah lewatnya waktunya kecuali dengan ditunaikan, dan baginya dosa karena meninggalkannya pada waktunya], selesai kutipan dari buku Ahkâm ash-Shalât.

Saya berharap di dalam ini ada kecukupan. Wallâh a’lam wa ahkam.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

23 Ramadhan 1442 H

05 Mei 2021 M

 

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/75289.html

 

Share artikel ini: