Shalat di Belakang Imam yang Berkomunikasi dengannya Hanya dengan Mendengarnya Saja

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Bolehkah shalatnya para makmum di bangunan, lantai, halaman atau yang lainnya dengan imam masjid yang terpisah sama sekali tidak mungkin melihat imam dan melihat makmum yang shalat bersama imam atau mendengar mereka di masjid mereka kecuali melalui pendengaran atau televisi yang menyiarkan suara atau gambar melalui alat elektronik modern atau melalui internet?

Berilah faedah kepada kami, dengan harapan, sebab masalah tersebut telah tersebar, dan semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda.[Abu Qutaibah Jetawi]

 

Jawab:

Ya akhiy, masalah shalat Jumat ini telah dibahas oleh para fukaha dan mereka memiliki pendapat-pendapat tentangnya. Saya telah mendengar bahwa beberapa layar telah digunakan! Dan saya tidak mengatakan bahwa semua pendapat mereka itu adalah batil, tetapi yang saya rajihkan adalah sebagai berikut:

Pertama, beberapa nash yang berkaitan:

1- Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Al-A’raj dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Nabi saw bersabda:

«إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ؛ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا، وَإِذَا صَلَّى جَالِساً فَصَلُّوا جُلُوساً أَجْمَعُونَ»

“Tidak lain imam itu dijadikan untuk diikuti, jadi jika imam bertakbir maka bertakbirlah, dan jika imam mengatakan “sami’allâhu liman hamidahu -Allah mendengar orang yang memuji-Nya-“ maka katakanlah “rabbanâ walaka al-hamdu -ya Rabb kami dan milikmu lah segala pujian-“, dan jika imam bersujud maka bersujudlah, dan jika imam shalat sambil duduk maka shalatlah kalian semuanya sambil duduk”.

 

2- Imam Muslim telah mengeluarkan dari al-A’raj dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw bersabda:

«إِنَّمَا الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا، وَإِذَا صَلَّى جَالِساً فَصَلُّوا جُلُوساً أَجْمَعُونَ»

“Tidak lain imam itu dijadikan untuk diikuti, jadi jangan kamu menyelisihinya. Jika imam bertakbir maka bertakbirlah, jika imam ruku’ maka ruku’lah, jika imam mengatakan “sami’allâhu liman hamidahu -Allah mendengar orang yang memujinya-“ maka katakanlah “Allâhumma rabbanâ laka al-hamdu -ya Allah Rabb kami segala pujian hanya milikmu-”, dan jika imam bersujud maka bersujudlah, dan jika imam shalat sambil duduk maka shalatlah kalian semuanya sambil duduk”.

3- Imam Abu Dawud telah mengeluarkan, beliau berkata: ‘telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hajaj dari ibnu Juraij, telah membertahuku Abu Khalid dari ‘Adi bin Tsabit al-Anshari, telah menceritakan kepadaku seorang laki-laki bahwa dia bersama ‘Ammar bin Yasir di al-Mada`in lalu dikumandangkan iqamah shalat, maka ‘Ammar maju dan berdiri di atas bangku dan shalat sementara orang-orang ada di bawahnya. Lalu Hudzaifah maju dan menggamit kedua tangannya dan ‘Ammar pun mengikutinya sampai Hudzaifah menurunkan dia. Ketika ‘Ammar selesai dari shalatnya, Hudzaifah berkata kepadanya: “tidakkah engkau mendengar Rasulullah saw bersabda:

«إِذَا أَمَّ الرَّجُلُ الْقَوْمَ فَلَا يَقُمْ فِي مَكَانٍ أَرْفَعَ مِنْ مَقَامِهِمْ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ»؟ قالَ عَمَّارٌ: لِذَلِكَ اتَّبَعْتُكَ حِينَ أَخَذْتَ عَلَى يَدَيَّ.

“Jika seorang laki-laki mengimami suatu kaum maka janganlah dia berdiri lebih tinggi dari tempat mereka atau semacam itu?” ‘Ammar berkata: “oleh karena itulah aku menikutimu ketika kamu menggamit tanganku”.

Dinyatakan di al-Binâyah Syarhu al-Hidâyah karya Abu Muhammad al-Ghaytabiy al-Hanafiy Badruddin al-‘Ayni dalam syarah hadis di atas:

(syin- Ahmad bin Ibrahim: Ibnu Katsir bin Zaid bin Aflah bin Manshur bin Muzahim al-‘Aydi Abu Abdillah yang dikenal dengan ad-Dawrqiy. Dia mendengar dari saudaranya Ya’qub, Ibnu Mahdi, al-Hajaj, Abu Dawud ath-Thayalisi dan lainnya. Yang meriwayatkan darinya: Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya. Abu Hatim berkata: dia shudûq (jujur). Dia meninggal di al-‘Askar pada hari Sabtu tujuh hari tersisa dari bulan Sya’ban tahun 246 H. Hajaj: ibnu Muhammad al-A’war, dan Abdul Malik: ibnu Juraij. Dan Abu Khalid: dia meriwayatkan dari ‘Adiy bin Tsabit. Yang meriwayatkan darinya: Ibnu Juraij. Yang meriwayatkan untuknya: Abu Dawud. Sabda Rasul “asfala minhu -lebih rendah darinya-“ dinashabkan sebagai zharf.

Ucapan ‘Ammar “lidzalika -karena itulah-“, yakni: karena sabda Nabi saw yang diucapkan itu. Dan di dalam sanad hadis tersebut ada perawi yang majhul (tidak jelas). Meski demikian, hadis itu digunakan istidlal oleh Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husain al-Ghaytabiy al-Hanafi Badruddin al-‘Ayni (w. 855 H) di dalam al-Binâyah Syarhu al-Hidâyah sebagaimana kami sebutkan di atas. Di dalamnya dinyatakan: (aku katakan: Abu Dawud telah meriwayatkan di Sunan-nya dari hadis Humam bahwa Hudzaifah mengimami orang-orang di al-Mada`in di atas dipan, lalu Abu Mas’ud memegang gamisnya dan menariknya, ketika selesai dari shalatnya, Abu Mas’ud berkata; “tidakkah kamu tahu bahwa mereka dilarang dari yang demikian?” Hudzaifah berkata: “benar, aku mengingatnya ketika engkau menarikku”. Abu Dawud juga meriwayatkan dari hadis ‘Adiy bin Tsabit al-Anshari, telah menceritakan kepadaku seorang laki-laki bahwa dia bersama ‘Ammar bin Yasir ra. di al-Mada`in lalu dikumandangkan iqamah shalat, lalu ‘Ammar bin Yasir maju dan dia berdiri di atas dipan mengimami shalat sementara orang-orang lebih rendah darinya, maka Hudzaifah maju dan menggamit kedua tangan ‘Ammar dan ‘Ammar pun mengikutinya sampai Hudzaifah menurunkannya (dari dipan). Ketika ‘Ammar selesai dari shalatnya, Hudzaifah berkata kepadanya: “tidakkah kamu mendengar Rasulullah saw bersabda; “jika seseorang mengimami suatu kaum maka janganlah dia berdiri di tempat yang lebih tinggi dari posisi mereka” atau semacam itu?”. ‘Ammar ra. berkata: “oleh karenanya aku mengikutimu ketika engkau menggamit tanganku”) selesai.

Seiring dengan ketidaksukaan (penilaian makruh oleh) mayoritas fukaha atas lebih tingginya imam dari makmum, namun mereka mengecualikan dari yang demikian itu lebih tinggi yang sedikit saja … Dinyatakan di al-Bayân fî Madzhab al-Imâm asy-Syâfi’iy (2/427): “dan dimakruhkan posisi imam lebih tinggi dari posisi makmum. Syaikh Abu Hamid mengatakan: “melainkan dimakruhkan jika itu gundukan yang tinggi, adapun jika engkau lebih tinggi satu bangku (anak tangga) atau gundukan kecil maka tidak dimakruhkan”.

4- Imam al-Baihaqi telah mengeluarkan di Sunan al-Kubrâ:

(Bab makmum shalat di luar masjid tempat shalatnya imam dan ada penghalang di antara makmum dengan imam. (telah memberitahu kami) Abu Sa’id bin Abiy Amru, telah menceritakan kepada kami Abu al-Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah memberitahu kamu ar-Rabi’, ia berkata: asy-Syafi’iy berkata: “beberapa orang perempuan shalat bersama Aisyah isteri Nabi saw di kamarnya, maka Aisyah berkata: “jangan kalian shalat dengan shalatnya imam sebab kalian terhalang oleh hijab”. Asy-Syafi’iy rahimahullah berkata: “sebagaimana yang dikatakan Aisyah yang ada di kamarnya, jika dia mengatakannya maka kami mengatakannya”.

(e dan telah memberitahu kami) Abu Ahmad al-Maharjani, telah memberitahu kami Abu Bakar bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Malik dari orang yang tsiqah menurutnya bahwa orang-orang masuk ke kamar isteri-isteri Nabi saw setelah wafatnya Nabi saw lalu mereka shalat Jumat di situ. Dia berkata: dan masjid itu sempit tidak menampung penduduknya maka mereka memperluasnya dan kamar isteri-isteri Nabi saw bukan bagian dari masjid tetapi pintu-pintunya menghadap langsung di masjid. Malik berkata: siapa yang shalat di suatu bagian dari pelataran masjid yang terhubung dari masjid atau di sekitarnya yang berhubungan langsung maka yang demikian itu mendapat pahala. Begitulah perkara orang-orang terus berlangsung dan tidak ada seorang pun dari ahli fikih yang mencelanya”. Malik berkata: “adapun rumah yang tertutup tidak dapat masuk kecuali dengan izin maka tidak selayaknya seseorang shalat di situ dengan shalatnya imam pada hari Jumat meski dekat sebab itu bukan bagian dari masjid”.

5- Imam al-Baihaqi telah mengeluarkan di Ma’rifatu as-Sunan wa al-Âtsâr: … telah memberitahu kami ar-Rabi’, ia berkata: “asy-Syafi’iy telah berkata: “tentang orang yang ada di rumah dekat masjid atau jauh dari masjid, dia tidak boleh shalat di situ kecuali bersambung shaf-shaf dengannya dan ia di rumah yang dekat tidak ada penghalang di antara dia dengan shaf-shaf masjid. Kemudian ia melanjutkan ucapannya sampai ia berkata: “jika dikatakan, apakah engkau meriwayatkan sesuatu dalam hal ini? Dikatakan: “para wanita shalat bersama Aisyah isteri Nabi saw di kamarnya, lalu Aisyah berkata: “jangan kalian shalat dengan shalatnya imam, sebab kalian terhalang hijab”. Asy-Syafi’iy berkata: “sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah di kamarnya jika ia mengatakannya”. Kami katakan: beliau tidak menyebutkan sanadnya di qawl al-jadid dan beliau menyebutkan di qawl al-qadîm.

Dan dalam riwayat lainnya oleh al-Baihaqi dari Muhammad bin Ishaq dan al-Mu`ammal, keduanya berkata: “telah menceritakan kepada kami az-Za’faraniy dari asy-Syafi’iy, ia berkata: “telah memberitahu kami Ibrahim bin Muhammad dari Laits dari Atha’ dari Aisyah: “bahwa para wanita shalat di kamarnya, lalu Aisyah berkata: “jangan kalian shalat dengan shalatnya imam, sebab kalian dalam hijâb”. Dan al-hijâb adalah al-hâjiz wa al-mâni’ wa as-sâtir (penyekat, penghalang, dan tirai).

Kedua: makna al-qudwah (teladan) dan al-iqtidâ` (meneladani) dalam bahasa dari Lisân al-‘Arab;

[(qadâ) … dikatakan qidwatun wa qudwatun limâ yuqtadâ bihi (qidwah dan qudwah dikatakan untuk apa yang diteladani) … al-qudwah dan al-qidwah adalah mâ tasannanta bihi (apa yang kami contoh) …

Dan al-qidah seperti al-qidwah dikatakan lî bika qidwatun wa qudwatun wa qidatun maknanya hazhiya fulânun hizhwatan wa huzhwatan wa hizhatan

Dan qad iqtadâ bihi (dia menaladani) dan al-qudwah dan al-qidwah adalah al-uswah (suri teladan), dikatakan fulânun qudwah (fulan adalah qudwah) yuqtadâ bihi (yang diteladani) …].

Dan para fukaha menggunakannya dengan makna secara bahasa ini. Dan di dalam shalat mereka mendefinisikannya bahwa: “ittibâ’u al-mu`tamim al-imâma fî af’âl ash-shalât (mengikutinya makmum terhadap imam dalam perbuatan-perbuatan shalat).

Ketiga: berdasarkan apa yang dipaparkan sebelumnya, maka yang saya rajihkan untuk merealisir makna ini adalah makmum berpegang kepada perkara-perkara berikut:

1- Tempat shalat makmum termasuk dalam tempat shalatnya imam. Yakni bangunan masjid atau pelatarannya … tanpa pemisah alami antara pelataran dan masjid semisal saluran air mengalir atau jalan utama yang mobil lalu lalang di situ … Artinya tidak ada pemisah rill antara masjid dan pelataran.

2- Makmum shalat di tempat yang mana makmum dapat melihat imamnya atau makmum shalat di tempat terbuka yang memungkinkannya melihat makmum yang melihat imam … Jadi makmum tidak tidak berada di ruangan yang tertutup sama sekali “kamar” yang mana orang di dalam tidak melihat orang yang diluar ruangan … Melihat gambar imam tidak dinilai sebagai melihat imam. Hukum gambar berbeda dari hukum tubuh yang hakiki. Andai Anda melukai gambar imam dengan pisau maka tidak berarti hal itu Anda melukai imam! Tetapi, menlihat gambar tidak punya hubungan dengan peneladanan. Boleh jadi Anda melihat gambar di layar televisi dari tempat yang jauh dari masjid jami’ dan pelatarannya bahkan dari negeri yang jauh yang tidak ada hubungannya dengan imam atau peneladanan kepada imam. Atas dasar itu maka melihat gambar ini tidak dijadikan sandaran dalam peneladanan …

3- Makmum harus mendengar takbir-takbir imam baik secara langsung atau melalui pengeras suara. Hal itu karena memperdengarkan suara imam adalah boleh baik dengan diulang oleh orang yang ada di belakang imam atau melalui pengeras suara, dan berikutnya makmum dapat mendengar takbir-takbirnya imam dan meneladaninya …

Dinyatakan di Hasyiyah ad-Dasûqî al-Mâlikî ‘alâ asy-Syarh al-Kabîr li asy-Syaikh ad-Dardîr:

[(dan) boleh (alat memperdengarkan) yakni menjadikannya dan menggunakannya agar dengan kerasnya suaranya itu, makmum mendengar takbir dan melakukan perbuatan imam (dan) boleh (meneladaninya) yakni meneladani imam disebabkan mendengarnya dan yang lebih afdhal imam mengencangkan suaranya dan tidak perlu al-musammi’ (sesuatu untuk memperdengarkan)].

4- Hendaklah imam tidak berada di tempat yang lebih tinggi dari makmum seperti imam di lantai paling atas di masjid sementara makmum semuanya lebih bawah dari imam …

 

Jika terpenuhi perkara-perkara ini maka peneladanan imam telah terjadi dan berikutnya terealisir syarat-syarat jamaah di belakang imam dalam shalat Jumat, dengan izin Allah … Saya ulangi apa yang saya katakan di awal bahwa saya tidak mengatakan semua pendapat yang menyalahi pendapat ini adalah batil … melainkan ini adalah pendapat yang saya rajihkan dalam masalah ini … Wallâh a’lam wa ahkam.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

29 Sya’ban 1443 H

01 April 2022 M

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer/jurisprudence-questions/81228.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/521486932872014

 

Share artikel ini: