Seragam Muslimah Dipersoalkan, Pengamat Politik: Ini Tendensius
Mediaumat.id – Pengamat Politik Fatma Sunardi menilai, permasalahan seragam siswi Muslimah (jilbab) yang terjadi di Lamongan merupakan sebuah hal yang tendensius.
“Kenapa yang dipersoalkan seragam itu wujudnya jilbab? Dianggap melanggar hak anak? Itu kan lucu sekali. Ini sebuah hal tendensius,” tuturnya dalam Live Discussion: Lagi-Lagi Seragam Muslimah Dipermasalahkan, Hentikan Pemaksaan Norma HAM pada Umat! di fanpage Muslimah News Com, Jumat, (8/9/2023).
Menurut Fatma, hal itu dipersoalkan karena sejatinya yang mempersoalkan tersebut tidak suka di jilbabnya. Sebenarnya kalau berbicara terkait hak anak berdasarkan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) berarti yang menentukan hak idealnya para anak itu sendiri.
“Yang dimaksud hak anak apa? Menurut mereka hak anak termasuk hak untuk berpakaian, mereka mau pakai pakaian seperti apa, mau pakai kerudung, atau tidak itu tidak perlu dipaksa, sedangkan mewajibkan jilbab dianggap sebuah pemaksaan yang bisa melanggar hak anak. Inikan sangat aneh?” cetusnya.
“Kalau dipikir-pikir namanya seragam, di sekolah mana pun pasti dipaksa. Apa ada seragam yang tidak dipaksa, kan semua itu ketika sekolah syaratnya kalau mau sekolah di sini berarti pakai seragam ini (sekolah). Kalau sekolah menengah atas (SMA) pakai putih abu hari Senin sampai Kamis. Itu sebuah aturan yang sebenarnya wajar-wajar saja, kenapa itu tidak dipersoalkan?” lanjutnya.
Ia mengungkapkan, siswi yang ditanya aktivis HAM sampai ke rumah orang tuanya, terkait rambutnya dipetal oleh gurunya bahwa siswi itu sedih dan sebagainya. Itu merupakan justifikasi bahwa itu masuk ke dalam definisi kekerasan padahal yang lain tidak.
Kemudian ia mempertanyakan, apakah hal itu bisa dikatakan setimpal, bahwa sesuatu yang subjektif tetapi kemudian pelakunya dengan tuduhan kekerasan dan dia bisa jadi dipenjarakan?
“Itu kan luar biasa definisi kekerasan yang berbasis pada pemahaman pembelaan terhadap hak anak dan perempuan,” imbuhnya.
“Kemudian kalau kita lihat, mereka akan berdalih loh kenapa sih kekerasan kok sampai segitunya definisinya, lho ini untuk melindungi perempuan dalihnya, agar perempuan tidak mengalami kekerasan,” ungkapnya.
Padahal kata Fatma, pada faktanya kekerasan tersebut tidak terjadi. Yang mempraktikkan HAM lebih getol lagi adalah masyarakat Barat, masyarakat AS Utara, Eropa, penegakkan HAM mereka lebih bagus dari pada di Indonesia.
“Kalau searching sepuluh negara dengan angka kekerasan terhadap perempuan, kekerasannya didefinisikan pemerkosaan itu ternyata didominasi oleh negara-negara Eropa, AS Utara, Inggris, Kanada ini kan negara-negara yang katanya menerapkan HAM tetapi ternyata kekerasan itu malah semakin merajalela,” paparnya.
Sehingga, ia mengatakan, yang sebenarnya apa yang ingin ditanamkan dalam hal ini sebenarnya bukan untuk menyelesaikan atau menjaga perempuan tetapi sebenarnya itu hanyalah kedok, komoditas politik untuk supaya HAM laku.
“Padahal sebenarnya dia tidak punya daya result untuk menyolusikan yang namanya kekerasan terhadap perempuan ini yang masyarakat musti tahu. Karena narasinya keras sekali sehingga syariat menjadi tertuduh dan sepertinya yang baik HAM,” pungkasnya.[] Alfia Purwanti