Seputar Haramnya BPJS Kesehatan

Tanya:

Ustadz, BPJS Kesehatan telah difatwakan haram oleh MUI dengan alasan adanya gharar, riba, dan maisir. Bagaimana pandangan Ustadz terhadap fatwa tersebut?(Firdaus Wajdi, Jakarta).

Jawab :

Kami sependapat dengan fatwa MUI yang mengharamkan BPJS tersebut, karena BPJS sekarang faktanya adalah asuransi konvensional. Maka MUI mengharamkan BPJS dengan alasan-alasan yang digunakan untuk mengharamkan asuransi konvensional (at ta`miin), yaitu adanya unsur gharar (ketidakpastian,uncertainty), riba (bunga), dan maisir (judi/spekulasi).

Alasan-alasan itu memang ada pada fakta BPJS saat ini. Misalnya, dana premi (iuran) yang dibayarkan peserta BPJS ternyata diinvestasikan dalam usaha-usaha non halal, yaitu deposito dan obligasi konvensional yang berbunga (riba). Selain itu, dana surplus dan defisit underwriting dalam BPJS ternyata dikelola dengan basisgharar dan pinjaman berbunga (riba).

Namun demikian, alasan-alasan tersebut menurut kami belum lengkap. Setidaknya dapat ditambahkan dua alasan. Pertama, perlu ditambahkan alasan yang lebih mendasar untuk haramnya asuransi konvensional, yaitu akadnya yang memang tak sesuai syariah, bukan sekadar karena adanya gharar, riba, dan maisir. Kedua, perlu ditambahkan alasan keharaman BPJS dari segi ketidaksesuaiannya dengan hukum Islam mengenai jaminan kesehatan seluruh rakyat secara gratis oleh negara.

Yang pertama, yaitu ketidaksesuaian akad asuransi konvensional dengan syariah, terdapat pada dua aspek. Aspek pertama, obyek akad (ma’quud ‘alaihi) asuransi konvensional tak sesuai syariah. Karena obyek akad dalam muamalah yang sah hanya dua, yaitu barang (al ‘ain), seperti dalam akad jual-beli, dan jasa (al manfa’ah), seperti dalam akad jasa tenaga kerja (ijarah al ajiir). Sementara obyek akad asuransi konvensional, adalah janji/komitmen (at ta’ahhud) atau pertanggungan (al dhamanah), yang tak dapat dikategorikan sebagai barang ataupun jasa. Maka akad asuransi konvensional adalah akad batil. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam,hlm. 182).

Aspek kedua, akad asuransi konvensional tak sesuai dengan ketentuan-ketentuan akad pertanggungan/jaminan (al dhamaan) dalam Islam, yaitu terdapat 3 (tiga) pihak; penanggung (dhamin), tertanggung (madhmun ‘anhu), dan penerima tanggungan (madhmun lahu), di mana terjadi penggabungan tanggungan (dhamm al dzimmah) pihak tertanggung menjadi tanggungan pihak penanggung, dan pihak penerima tanggungan tidak membayar apa-apa untuk mendapatkan dana pertanggungan. Sementara dalam asuransi konvensional, hanya ada dua pihak (bukan tiga pihak), yaitu perusahaan asuransi sebagai penanggung (dhamin), dan peserta asuransi sebagai penerima tanggungan (madhmun lahu). Tak ada pihak tertanggung (madhmun ‘anhu). Selain itu, dalam asuransi konvensional tak terjadi penggabungan tanggungan peserta asuransi dengan tanggungan perusahaan asuransi, karena peserta asuransi tidak punya tanggungan apa-apa kepada pihak lain. Dan juga, dalam asuransi konvensional pihak penerima tanggungan harus membayar kepada penanggung. Sedang dalam Islam penerima tanggungan tidak membayar apa-apa. Maka dari itu, asuransi konvensional haram hukumnya. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 185).

Yang kedua, perlu ditambahkan juga alasan keharaman BPJS dari segi ketidaksesuaiannya dengan syariah mengenai kewajiban negara untuk menjamin kesehatan seluruh rakyatnya secara gratis. Karena Rasulullah SAW dahulu sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan seluruh rakyatnya, seperti menyediakan thabib (dokter), tanpa memungut biaya apa pun dari rakyat. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 2/18).

Karena itu, BPJS tidak mungkin disyariahkan menjadi BPJS Syariah dengan hanya menghilangkan unsur-unsur riba, maisir, atau gharar, selama obyek akadnya berupa janji/komitmen (at ta’ahhud), selama ketentuan akadnya tak sesuai dengan akad pertanggungan (al dhamaan) dalam Islam, dan selama masih ada pemungutan dana dari masyarakat. Yang benar menurut syariah, BPJS wajib dihapuskan secara total, termasuk menghapuskan pemungutan dana dari masyarakat, dan negara wajib menjamin kesehatan seluruh rakyatnya secara gratis.Wallahu a’lam. [Ustadz Siddiq al Jawi)

Share artikel ini: