Oleh: Achmad Fathoni (Direktur el Harokah Research Center)
Karakter ulama sungguh mulia, di mana Ibnul Arzaq berkata dalam kitab Bada’iu al-Silki fi Thaba’ii al-Mulki, dengan mengutip dari surat al-Tharthusyi kepada Ali bin Yusuf bin Tasyfin:
“Wahai Abu Ayyub, bahwa Anda diuji dengan perkara (kekuasaan) yang jika itu dipikul oleh langit, maka ia akan pecah, jika dipikul oleh bintang-bintang, maka ia akan keruh, jika itu dipikul oleh gunung dan bumi, maka keduanya akan berguncang. Ketahuilah, wahai Abu Ayyub bahwa tidaklah seorang melakukan perzinahan di wilayah kekuasaan Anda dan selama kekuasaan Anda sepanjang umur Anda, maka Anda bertanggung jawab, dituntut dan menanggung dosanya; tidaklah seorang meminum setetes yang memabukkan di dalam kekuasaan Anda, kecuali Anda bertanggung jawab atasnya; tidaklah kehormatan seorang Muslim diperkosa di dalam kekuasaan Anda, kecuali Anda dituntut atasnya; dan tidaklah transaksi riba terjadi di dalam kekuasaan Anda, maka Anda akan dihukum (disiksa) karenanya, sebab Anda mampu mengubahnya.”
Hal itu terjadi di zaman Yusuf bin Tasyfin, lalu bagaimana menurut Anda dengan zaman kita sekarang ini.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” (TQS. Fathir [35] : 28). Para ulama memiliki keutamaan dan keistimewaan yang lebih tinggi di sisi Allah daripada hamba-hamba Allah yang lainnya, yaitu besarnya ketakutan mereka kepada Allah. Dan ketakutan itulah merupakan sifat-sifat ulama yang paling menonjol. Sehingga seorang ulama hendaklah tidak takut kecuali kepada Allah, yang di dalam kekuasaan-Nya ajal (kematian), rizki, manfaat dan bahaya. Dengan demikian, dalam pandangannya para penguasa serta para algojonya itu semuanya kecil. “Sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.” (TQS. Al-Maidah [5] : 3). Jika demikian keadaannya, hendaklah ulama tampil ke depan di tengah-tengah masyarakat untuk menyampaikan kepada mereka induk semua kewajiban (yaitu berjuang menegakkan syariah Islam secara kaffah), tentang puncak segala kebaikan (yaitu menerapkan hukum-hukum Allah), dan tentang puncak segala kemungkaran (yaitu menerapkan hukum selain hukum-hukum Allah).
Terakhir, ingatlah bahwa seorang ulama tidak diukur dengan banyaknya ilmu dan pengetahuan yang dikuasainya, namun kesesuaiannya dalam memanfaatkan ilmu dan pengetahuannya terhadap isu-isu penting kontemporer. Imam Ahmad bin Hanbal menentang masalah kemakhlukan al-Qur’an, Abdullah bin Abbas menentang Khawarij, dan Said bin Jubair menentang al-Hajjaj, Izuddin bin Abdussalam menentang Mamalik, Ibnu Taymiyyah berperang melawan Tatar. Begitu juga dengan Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Qutb, al-Mawardi dan lainnya.[]