Seorang Muslim Haram Masuk Candi Borobudur Ketika …

Mediaumat.id – Mengingat Borobudur merupakan salah satu tempat ibadah kaum kafir dalam hal ini adalah orang-orang Budha, Pengasuh Pondok Nahdlatul Muslimat (NDM) Surakarta Ustaz Utsman Zahid as-Sidaniy menuturkan, haram hukumnya bagi seorang Muslim memasukinya pada saat berlangsung acara keagamaan mereka.

“Seluruh ulama sepakat hukumnya haram seorang Muslim masuk ke dalam tempat-tempat ibadah orang-orang kafir pada saat hari-hari raya mereka dan pada saat bertepatan dengan acara-acara keagamaan mereka,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Senin (6/2/2022).

Menurutnya, hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah al-An’am ayat 68 yang berkaitan dengan larangan menghadiri acara-acara perayaan-perayaan dan kebatilan-kebatilan orang-orang kafir.

Namun kalau tidak pada saat terjadinya hari-hari raya orang-orang kafir, tidak bertepatan dengan momen-momen keagamaan mereka, Ustaz Utsman menjelaskan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqaha.

Pertama, mazhab Hanafi menyatakan ini hukumnya haram secara mutlak. Kedua, dinyatakan oleh sebagian ulama dari kalangan mazhab Maliki dan sebagian ulama dari kalangan mazhab Hambali bahwa hukumnya adalah makruh secara mutlak.

Ketiga, disampaikan oleh sebagian ulama Maliki dan disampaikan oleh resmi Mazhab Syafi’i dan resmi mazhab Hambali hukumnya adalah boleh.

“Ini kalau kita merujuk pendapat-pendapat para ahli, pendapat yang ketiga ini yakni boleh ini adalah pendapat yang lebih rajih. Jadi, sakedar masuk tempat-tempat ibadah orang-orang kafir dengan tidak adanya kecenderungan dan kecondongan kepada kekufuran mereka, sekadar masuk mungkin ingin mencari bukti sejarah atau melakukan penelitian atau mungkin kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, prinsipnya itu dibolehkan,” jelasnya.

“Ini terkait dengan persoalan masuk ke dalam tempat-tempat peribadatan orang-orang kafir, baik dalam waktu adanya perayaan peribadatan mereka atau hari-hari mereka ataupun di luar waktu ibadah atau perayaan-perayaan peribadatan mereka,” tandasnya.

Serba Boleh

Terkait kebijakan negara yang memasang tarif wisata ke Borobudur Rp50 ribu di latar, dan Rp750 ribu bila naik stupa, Ustaz Utsman menilai dalam dunia kapitalis semua bisa dilakukan asal menghasilkan uang.

“Dalam dunia kapitalis, dalam dunia sekuler, semua memang serba boleh dan bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencari uang, sebagai sebuah media untuk memperkaya. Termasuk yang menjadi sumber pendapatan negara kapitalis itu adalah penggalakan wisata,” terangnya.

Menurutnya, dunia kapitalis tidak mengenal halal haram. “Apakah wisata itu wisata yang halal ataukah wisata yang haram itu bagi mereka tidak penting yang penting adalah menghasilkan uang,” tegasnya.

Haram Mengiklankan Borobudur

Namun, Ustaz Utsman mengingatkan bahwa pembukaan wisata kampanye untuk mengajak orang, sponsor untuk wisata dan iklan untuk menggalakkan wisata, sedangkan wisata ini adalah wisata untuk mengunjungi tempat-tempat peribadatan orang kafir, seperti Borobudur, ini hukumnya tidak sama dengan hukumnya sekadar masuk.

“Sebab kalau masuk itu kan sesuatu yang sifatnya jarang. Artinya sesuatu yang tidak secara terus-menerus terjadi. Ini berbeda dengan iklan, sponsor, propaganda atau seruan untuk mengunjungi wisata-wisata di tempat-tempat peribadatan tersebut maka ini hukumnya haram,” bebernya.

Ia menegaskan haram mengajak dan menyeru melakukan propaganda, mobilisasi massa untuk dan memasang iklan di media sosial ataupun yang lain. “Itu hukumnya haram,” tegasnya.

Menurutnya, karena ini berbeda dengan masalah sekadar masuk yang sifatnya kadang-kadang atau 1 atau 2 kali, sementara kalau iklan itu sifatnya istimrar yakni terus-menerus.

“Selain itu, iklan ini sebagai sebuah wasilah atau sarana yang semakin menguatnya syubhat, menguatnya paham-paham menyimpang yang terkait dengan persoalan kesetaraan agama, pemahaman-pemahaman liberal dan pemahaman yang rusak lainnya. Ini semakin menguat dengan adanya kampanye-kampanye untuk menggalakkan wisata ke berbagai tempat peribadatan,” ungkapnya.

Oleh karena itu, kata Ustaz Utsman, menyerukan, mengampanyekan, mengiklankan dan mensponsorkan untuk melakukan wisata-wisata di tempat-tempat peribadatan orang kafir ini hukumnya haram.

“Tidak boleh dilakukan oleh seorang Muslim. Seorang Muslim tidak boleh bekerja di bidang itu, tidak boleh menjadi manajer atau yang semacam dengan itu di bidang-bidang tersebut,” ujarnya.

Ia mengutip pendapat Imam al-Qarafi dalam kitabnya Adz-Dzakhirah yang menyebutkan bahwa sebagian fuqaha menyatakan kafirnya orang Muslim yang berbolak-balik, pagi sore siang malam senantiasa berada di gereja-gereja. “Itu mereka dinyatakan murtad atau dinyatakan kafir oleh sebagian ulama,” ungkapnya.

Sementara itu, lanjutnya, Imam Ibnu Jaim al-Hanafi memfatwakan, seorang Muslim yang senantiasa berada di tempat ibadah Yahudi atau Sinagog itu wajib diberi ta’zir (yang wajib dihukum).

“Oleh karena itu, maka kesimpulannya mengajak wisata, mengiklankan wisata, mensponsorkan ataupun menyemarakkan atau semacamnya dengan berbagai macam iklan propaganda wisata di tempat-tempat peribadatan itu hukumnya adalah haram,” bebernya.

Oleh karena hukumnya haram, kata Ustaz Utsman, maka sebenarnya seorang Muslim berarti juga tidak boleh untuk membeli tiket artinya seorang Muslim tidak boleh memanfaatkan menggunakan hartanya, tidak boleh memanfaatkan hartanya atau kemudian menggunakan uangnya untuk membeli tiket masuk.

“Kenapa seperti itu? Karena jika seorang Muslim itu menggunakan duitnya untuk membeli tiket maka berarti itu sama saja artinya semakin menguatkan mereka untuk memasarkan dan melakukan propaganda wisata ke tempat-tempat peribadatan. Oleh karena itu hukumnya haram. Dasar larangan saling ta’awun, saling bantu membantu dalam keharaman maka tentu saja orang yang menarik tiket atau pemerintah atau pemerintah daerah atau yang memasang tarif baik sedikit ataupun besar, kecil ataupun besar sedikit ataupun banyak, mau itu Rp50.000 atau kemudian Rp750.000, mau itu sekAdar di pelatarannya atau masuk ke stupanya, itu semua hukumnya haram. Karena mau pelatarannya ataupun stupanya pada prinsipnya hukumnya dalam hal ini sama,” jelasnya.

Menurutnya, ini dalam rangka menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya kekufuran yang semakin marak terjadi pada hari ini, terjadinya sinkretisme agama atau yang semacam dengan itu. “Hari ini dikampanyekan dengan wisata-wisata seperti ini akan semakin mengokohkan kampanye kebanyakan seperti itu,” tegasnya.

Oleh karena itu, ketika seorang Muslim membeli tiket maka berarti orang tersebut turut membantu padahal Qur’an melarang wata’awanu alal birri wattaqwa wala ta’awanu alal itsmi wal udwan.

“Begitu ayatnya melarang untuk saling bantu membantu dalam dosa dan melakukan kezaliman. bagian dari menutup pintu atau menutup celah terjadinya perkara-perkara yang diharamkan itu atau yang dilarang bahkan yang sangat menghawatirkan itu adalah terjadinya kecondongan kepada agama selain Islam bagi seorang Muslim itu adalah musibah yang besar,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: