Sengketa Tanah Sentul City, Ekonom: Tidak Aneh Selama Hukum Mengabdi pada Kepentingan Kapitalis

 Sengketa Tanah Sentul City, Ekonom: Tidak Aneh Selama Hukum Mengabdi pada Kepentingan Kapitalis

Mediaumat.news – Kasus Sentul City yang melibatkan PT. Sentul City Tbk dengan para pemilik tanah di sana dan salah satunya adalah tokoh nasional Rocky Gerung dinilai bukan fenomena yang aneh selama hukum mengabdi pada kepentingan kapitalis.

“Bukan fenomena aneh banyak sertifikat rangkap untuk satu tanah tertentu,” ujar Pengamat Ekonomi Dr. Arim Nasim, SE, M.Si dalam acara Special Interview: Politik Tanah dalam Perspektif Islam, Kasus Sentul City, Jumat (1/10/2021) di kanal YouTube Rayah TV.

Menurut Arim, terkait dengan kepemilikan tanah itu sangat mudah digoyang kalau pengadilan atau juga hukum yang ada di Indonesia mengabdi pada kepentingan kapitalis, mengabdi pada kepentingan uang.

Arim menyebut, masalah pertanahan memang masalah yang krusial di Indonesia. Bahkan sering terjadi konflik antara masyarakat yang lemah dengan para kapitalis.

Menurut Arim, berbicara sengketa tanah, intinya adalah pada sengketa kepemilikan, yaitu siapa yang memiliki tanah tersebut secara legal dan sah.

Ia menjelaskan, menurut undang-undang agraria di Indonesia terkait kepemilikan tanah, tanah itu dimiliki seseorang secara legal jika memenuhi dua syarat. Pertama ada penguasaan secara fisik dan kedua memiliki bukti kepemilikan, baik hak milik atau hak guna bangunan.

Arim mengatakan, masalah akan muncul ketika seseorang yang telah memiliki bukti kepemilikan serta sudah menduduki dan memanfaatkannya selama bertahun-tahun, tiba-tiba ada yang mengklaim tanah tersebut melalui bukti kepemilikan yang sama. Dalam hal ini bukti kepemilikan tersebut sama-sama dikeluarkan oleh instansi terkait, yakni BPN.

Apabila sudah seperti itu, maka, kata Arim, tanah tersebut menjadi tanah sengketa, sehingga yang berhak memutuskan siapa pemilik tanah tersebut adalah pengadilan. Dan kalau sudah berbicara pengadilan di Indonesia yang menentukan adalah siapa yang berkuasa.

Sebab, beber Arim, pengadilan di Indonesia bukan berbicara salah dan benar dan bukan berbicara siapa yang berhak dan tepat, tapi berbicara siapa yang mampu. Sehingga bisa saja dilakukan rekayasa di pengadilan untuk memenangkan siapa yang paling kuat.

“Problemnya itu adalah, memang dengan mudahnya itu seseorang mengklaim bahwa tanah itu milik dia hanya dibuktikan dengan sertifikat tadi,” pungkasnya.[] Agung Sumartono

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *