Mediaumat.info – Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menilai, pernyataan senator Bali Arya Wedakarna yang meminta agar wanita berhijab tidak ditaruh di posisi penyambut tamu (frontliner) di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, sebagai pernyataan islamofobia.
“Itu pernyataan yang islamophobic (islamofobia). Jelas sekali tidak bisa ditutupi bahwa yang dimaksud frontliner yang dia lihat itu menutup kepala, atau kalau dalam bahasa kita memakai himar/kerudung,” tuturnya di Focus to The Point: Menyerang Islam Atas Nama Budaya? Di kanal YouTube UIY Official, Senin (8/1/2024).
Pernyataan itu, tegas UIY, semata-mata muncul dari ketidaksukaan, karena dari sisi pelaksanaan tugas sama sekali tidak ada signifikasi pengaruh antara yang berkerudung dengan yang tidak.
UIY menyesalkan, penyebutan tendensius Middle East oleh Arya tersebut. “Ini hari banyak sekali budaya Barat yang masuk pada food, fashion, fun, orang tidak pernah bicara tentang Western. Tapi kenapa giliran sesuatu yang merupakan bagian dari ajaran Islam buru-buru dikatakan itu Middle East?” kesalnya.
Dua Masalah
Pernyataan Arya tentang Middle East, ucapnya, mengandung dua masalah. Pertama, dia mempermasalahkan Islamnya. Kedua, mengidentifikasi Islam sebagai Middle East, sementara pada saat yang sama tidak pernah mempermasalahkan Western.
“Jadi islamophobic. Saya kira ungkapan ini kalau dalam bahasa Al-Qur’an disebut fii sudurihim akbar (yang di dalam hatinya itu lebih besar lagi) kebencian itu. Ini kurang lebih sama dengan apa yang terus terjadi di sejumlah negara barat yang mereka mempermasalahkan purdah,” bebernya.
Ini, lanjutnya, pantas dipersoalkan karena mempersoalkan ajaran Islam, sementara dia sama sekali tidak respek terhadap ajaran agama lain, dan kalau dibiarkan akan menjadi duri-duri pertentangan.
Beragam
UIY menegaskan, masyarakat Indonesia itu beragam, dan Bali bagian dari Indonesia. “Keberagaman ini adalah fakta yang tidak terbantahkan. Jika demikian ketika ada yang berpakaian berbeda, apalagi itu bagian dari ketentuan agama seharusnya dipandang sebagai cermin keberagaman,” terangnya.
Menurutnya, yang bisa mengatasi keberagaman (budaya) ini hanya Islam.
Ia beralasan, Islam ketika bicara budaya ada dua level: level privat dan level komunal.
“Ketika di level privat, Islam memberikan kebebasan kepada yang bersangkutan untuk mematuhi seluruh ketentuan agamanya baik terkait dengan keyakinan itu sendiri, ibadah, makanan, minuman pakaian. Jika pakaian itu memang harus seperti itu menurut agamanya, dia harus diberi kebebasan. Itu ajaran Islam! Islam tidak pernah mempersoalkan hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan itu, sesuatu yang ini hari justru gagal dipahami dan disikapi,” ulasnya.
Ia memberi contoh, di Prancis yang katanya modern, menjunjung tinggi egality, fraternity, liberty (persamaan, persaudaraan, dan kebebasan) ternyata tidak ada kebebasan buat Muslimah di sana mengenakan purdah. “Pun begitu di Bali yang baru saja dipersoalkan!” imbuhnya.
Dalam pandangan UIY, ini bukan sekadar relasi agama dan budaya tetapi masalah utamanya adalah bagaimana agama itu menyikapi budaya khususnya yang berkaitan dengan kehidupan privat.
“Jadi ini enggak akan selesai karena tidak ada kemampuan dari agama-agama lain selain Islam untuk menyikapi hal-hal yang bersifat personal ini,” sedihnya.
Jelas
Dalam penilaian UIY, ini berbeda dengan Islam. Islam ucapnya, memiliki tuntunan yang jelas terkait hal itu, termasuk soal budaya (urf).
“Merujuk kepada Syekh Abdul Wahab Khalaf dikatakan urf itu ada dua: urf shahih dan urf qabih. Urf shahih adalah budaya yang sesuai dengan ketentuan ajaran Islam. Ini bisa diterima. Sedangkan urf qabih adalah yang bertentangan dengan Islam. Ini harus ditolak,” jelasnya.
Karena itu, sambungnya, sebenarnya clear sekali bahwa Islam bisa di-liquid dengan budaya sepanjang sesuai dengan ajaran Islam.
“Islam membentuk budaya, tapi budaya yang berkembang di tengah masyarakat juga diinspirasi oleh agama. Itulah yang membuat budaya Islam di tengah masyarakat memberikan kebaikan kepada manusia, sekaligus membuka ruang inovasi,” bebernya.
Ia mencontohkan, di Indonesia mengenal sarung yang itu tidak ada di Timur Tengah. “Ini yang membuat budaya Islam di Indonesia bisa berbeda dengan budaya Islam di Timur Tengah, di Eropa dan lain-lain,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun