Seminar SP Laskar (PLN P3B) Terkait Holdingisasi PLN, Invest: Isi Paparannya Tidak Nyambung
Mediaumat.id – Isi paparan seminar Serikat Pekerja Laskar PLN P3B (Penyaluran Pusat Pengatur Beban) yang bertema Ada Apa dengan Holdingisasi PLN? dinilai Koordinator Invest Ahmad Daryoko tidak nyambung dengan tema.
“Melihat isi paparannya memang tidak nyambung dengan tema seminar, kecuali hanya melecehkan tema tersebut. Dan itu wajar, dia (Direktur SDM PLN) tidak mau kehilangan muka di depan kelompok yang hakikatnya anak buahnya juga,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Rabu (2/3/2022).
Menurutnya, tema yang mempertanyakan holdingisasi PLN sudah proporsional bagi entitas serikat di lingkungan PLN, yang tidak hanya menyikapi masalah hubungan industrial tetapi juga sadar sebagai sebuah civil society yang harus memperjuangkan kedaulatan negara.
“Dan ini sudah ada buktinya, yaitu ketika SP PLN diakui legal standingnya di depan MK dan bahkan menenangkan judicial review terhadap UU No 20/2002 dan UU No 30/2009 dua-duanya tentang ketenagalistrikan,” terangnya.
Untuk masalah ini, lanjutnya, kompetensi dan kapasitas serikat di PLN melebihi kapasitas/kompetensi direksi sekalipun. Yang ini diakui Dirut PLN Eddy Widdiono pada Mubes SP PLN pada Mei 2007.
“Secara tidak sadar, Direktur SDM PLN yang mewakili Dirut kemarin juga mengakui, dengan mengatakan bahwa program holdingisasi PLN itu datang dari Kementerian BUMN. Dan semua itu terlihat dari jawaban-jawaban yang bersangkutan yang hanya sekenanya dan mengandalkan power atau kekuasaan saja,” imbuhnya.
Menurut Daryoko, paparan Dirut PLN saat mengupas permasalahan justru keluar konteks dengan menyampaikan kasus Pertamina dan Telkom.
“Kalau ada warga PLN yang menyanggah masalah Pertamina dan Telkom (seandainya pun ada yang menguasai), tetap saja tidak memiliki kapasitas sesuai bidangnya, kecuali pandangan umum saja,” ujar Daryoko.
Ia memberikan contoh, Pertamina yang mengelola energi minyak, yang meskipun dari ideologi etatisme, tajul furudh (menurut ideologi Islam) sama-sama sebagai komoditas kepemilikan publik (public good), tetapi tidak memiliki exclusive right (hak ekslusif) sebagaimana dimiliki sektor ketenagalistrikan.
“Apalagi dengan membandingkannya dengan masalah Telkom, jelas sangat jauh dari apple to apple, terangnya.
Menurutnya, kelistrikan masuk dalam kriteria hadits Riwayat Ahmad, “Al muslimûna syurakâu fii tsalâtsi fii al mâi wa al kalāi wa al nâri wa tsamanahu harāmun (kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, air, padang rumput dan api, dan harganya adalah haram) dan MK telah membuktikan bahwa kelistrikan masuk dalam pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yaitu: cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara.
Artinya, lanjut Daryoko, kelistrikan dalam ideologi Pancasila masuk dalam ruh etatisme (tajul furudh dalam ideologi Islam). Yaitu masuk dalam kriteria komoditas kepemilikan publik atau public good yang harus dikuasai negara. Sedang telepon masuk sebagai komoditas komersial (commercial good) yang bisa dipersaingkan. Makin banyak saingan akan semakin murah komoditas tersebut. Makanya wajar diperlakukan sebagai business as usual (bisnis seperti biasa).
“Artinya bila kita bicara sektor ketenagalistrikan, pasti dibahas dari sisi ideologis dan strategisnya. Direksi PLN ini membahas masalah ideologis dan strategis sektor ketenagalistrikan hanya dengan bahasa-bahasa teknis, ya enggak nyambung. Yang bersangkutan bicara hanya bermodalkan kapasitas kekuasaan, berharap anak buah bisa dicuci otak dan hanya mengangguk sambil pegang burung. Dan selanjutnya PLN dihabisin seperti maunya The Power Sector Restructuring Program/LoI 31 Oktober 1997,” tandasnya.
Lebih parah lagi, lanjutnya, sang direksi mengatakan bahwa kebijakannya tidak melanggar undang-undang. Dia tidak mau mengakui bahwa saat ini telah terjadi unbundling vertikal di PLN, yang ditolak MK dengan putusan MK No 001-021-022/PUU-I/2003 tgl 15 Desember 2004 dengan membatalkan secara total UU No 20/2002 tentang ketenagalistrikan. Sedang di putusan MK No 111/PUU-XIII/2015 tgl 14 Desember 2016 putusan tersebut esensinya sama dengan putusan sebelumnya, tetapi beda cara saja.
“Kalau Jimly dan kawan-kawan menolak unbundling vertikal dengan cara membatalkan secara total undang-undang ketenagalistrikan tersebut. Sedang Arief Hidayat dan kawan kawan menolak unbundling vertikal dengan narasi (kata-kata). Dan putusan MK yang disajikan secara narasi (kata-kata) inilah yang justru diplintir oleh mayoritas anggota DPR (kecuali fraksi PKS), yang semua itu bisa dimaklumi karena sudah masuk konspirasi oligarki eksekutif dan legislatif. Mudah-mudahan yudikatif tidak,” bebernya.
Menurut Daryoko, akibat lanjut dari jurus ‘plintirisasi’ kekuatan oligarki di atas berakibat saat ini PLN hanya berperan sebagai EO (event organizer) kelistrikan di Indonesia. Dan semua ini tidak terungkap dari webinar diatas. Karena Direksi PLN siapapun direksi itu, hanya memiliki kapasitas teknis. Sedang yang dibahas jauh diatas kompetensinya karena menyangkut masalah strategis bahkan ideologis.
Daryoko menilai, paparan pakar hukum UGM hanya menjelaskan normatif saja. “Dua paparan pakar Hukum dari UGM adalah normatif sebagai dasar pengetahuan dibidang hukum terkait bisnis dan ketenagakerjaan. Dan itu bagus saja untuk sebuah Serikat,” jelasnya.
Dari jalannya seminar, Daryoko menyimpulkan bahwa maksud seminar dengan tema di atas sudah proporsional. Namun jujur saja bahwa esensi yang dibicarakan adalah jauh dari kompetensi atau kapasitas Direksi PLN.
“Sehingga wajar bila direksi yang hadir menyampaikan paparan seperti itu yang sejujurnya hanya buying time saja. Karena sebenarnya masalah anak perusahaan dan subholding itu berbeda,” imbuhnya.
Mengacu pada The White Paper, jelas Daryoko, kebijakan restrukturisasi sektor ketenagalistrikan 1998 yang tidak lain adalah ide dari IFIs (International Finanancial Institutions) dalam The Power Sector Restructuring Program (PSRP) sebagai follow up dari LOI 31 Oktober 1997). Yang ujung-ujungnya pemerintah tidak boleh lagi meng-handle BUMN public utilities (pelayanan publik) seperti PLN.
Daryoko menilai, kalangan serikat berfungsi selain melaksanakan Undang-Undang No 21/2000 tentang SP/SB serta UU No 13/2001 tentang Ketenagakerjaan, ternyata terbukti memiliki legal standing (bukti Sidang MK) untuk berperan sebagai civil society. Ikut berperan menegakkan konstitusi dan dasar negara demi tetap eksisnya NKRI. Yang semua itu tidak dimiliki jajaran direksi PLN.
“Untuk itu serikat pekerja di keluarga besar PLN harus tetap berjuang mempertahankan PLN. Jangan mau hanya dijadikan EO kelistrikan di Indonesia,” sarannya memungkas penuturan.[] Irianti Aminatun