Seminar di UGM Batal Karena Teror dan Intimidasi: Bagian Demokrasi?

Sejumlah civitas akademika kampus UGM mendapat teror. Aksi ancaman dan intimidasi itu mereka dapatkan berkaitan dengan partisipasi mereka dalam Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (DILAWAN) dengan tema: Persoalan Pemecatan Presiden Di Tengah Pandemi Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan.

Judul itu sempat diganti menjadi ‘Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan’. Namun teror terus berdatangan berupa ancaman semua nama yang terlibat dalam kegiatan, hingga kepada keluarga mereka, termasuk ancaman pembunuhan.

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FHUII) Prof Dr Ni’matul Huda SH Mhum termasuk yang mendapatkan teror. Rumahnya didatangi orang dan digedor sejak malam hingga pagi hari.

Komentar:

Ini adalah anomali terhadap rezim Jokowi yang beberapa kali menyatakan terbuka terhadap kritik. Pada November 2015, misalnya Presiden mengatakan, “Kalau hanya berkaitan dengan saling mengkritik atau saling memberikan kritik yang pedas, saya kira tidak masalah…Mau ngomong sekasar apapun kepada saya, enggak akan marah saya…”(sindonews.com, 6/11/2015). Pada periode pertama pemerintahannya Jokowi mengatakan ia rindu didemo, “Tolong saya didemo, pasti saya suruh masuk.” (tempo.co, 12/2/2012).

Lain perkataan, lain perbuatan. Selama dua periode pemerintahan, penangkapan terhadap sejumlah aktivis yang keras melakukan kritik justru marak terjadi. Meski semua penangkapan itu atas laporan pendukung petahana, tapi presiden membiarkan hal itu terjadi. Misalnya penangkapan terhadap Habib Bahar Smith, Ustadz Alfian Tanjung, pendakwah muda Ali Baharsyah, Jenderal Purnawiran Kivlan Zein, dan terakhir Kapten Infanteri Ruslan Buton. Masih banyak lagi nama-nama yang terjerat hukum karena kritik.

Sekarang, selevel diskusi ilmiah pun mengalami persekusi, padahal dibahas dalam sistem hukum ketatanegaraan republik Indonesia yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan UUD 45, masih juga dipersekusi bahkan dengan cara-cara yang teramat kasar. Dan biasanya para pelaku teror itu bisa mendukung petahana mudah lolos dari pengusutan apalagi ditindak secara hukum.

Terbukti demokrasi selalu gunakan cara tarik-ulur kebijakan. Kapan mereka mau dilonggarkan, tapi kapan mereka tak suka akan ditarik sampai rakyat tercekik. Ini juga jadi pertanda bahwa kekuasaan yang dibangun rezim ini semakin rapuh. Berdiri dengan metode tangan besi dan serangkaian kedustaan. Dulu bilang senang dikritik, rindu didemo, belakangan justru memberangus mereka yang berseberangan.[]

Share artikel ini: