Mediaumat.news – Golputnya seluruh warga Desa Matabondu dalam Pilkada 2020 karena mengaku ‘suara mereka tak pernah didengar’ mengonfirmasi bahwa kedaulatan di tangan rakyat dalam sistem demokrasi hanyalah omong kosong.
“Keputusan Golput seluruh warga di Desa Matabondu, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), ini mengonfirmasi bahwa kedaulatan di tangan rakyat dalam demokrasi itu omong kosong belaka,” ujar Pengamat Kebijakan Publik Dr. Erwin Permana kepada Mediaumat.news, Sabtu (12/12/2020).
Ia menilai, demokrasi itu merupakan instrumen para elite untuk mendapatkan berbagai keistimewaan dan kekayaan dengan mengatasnamakan rakyat. Rakyatnya sendiri hidup susah. Sehingga berkembanglah sikap apolitis di tengah-tengah masyarakat. Makin hari mereka makin tidak peduli politik, politik itu pasti tipu-tipu. Memang begitulah politik dalam demokrasi.
Maka, Erwin memandang, sikap yang ditunjukkan masyarakat desa di Konawe dengan golput merupakan bagian dari kekecewaan masyarakat terhadap penerapan demokrasi itu sendiri.
Erwin mengatakan, sesungguhnya bukan hanya suara masyarakat desa tersebut saja yang tidak didengar pemerintah, suara masyarakat desa-desa lain bahkan suara masyarakat perkotaan juga tidak didengar.
“Jutaan orang turun ke jalan di hampir seluruh kota di Indonesia menolak UU Omnibuslaw, penguasa tidak mendengar. UU tetap ketok palu dan ditandantangani presiden untuk dijadikan UU yang sah,” tuturnya.
Ia menyebut, penolakan rakyat terhadap berbagai peraturan perundangan lain seperti UU Minerba, UU KPK, serta berbagai kebijakan lain yang tidak berpihak ke masyarakat juga tidak didengar oleh rezim.
Tapi, ungkap Erwin, di sisi lain keberpihakan kepada para elite pengusaha terlihat sangat jelas seperti pemberian fasilitas insentif pajak, kemudahan penguasaan SDA milik publik seperti tambang-tambang batubara, hutan dan juga izin ekspor impor yang mudah.
“Belum lagi soal ketidakadilan hukum, Nenek Minah dihukum 6 bulan karena mencuri kakao 3 biji, sedangkan Djoko Candra yang korupsi 940 miliar hanya dipenjara 2 tahun,” bebernya.
Ia berpesan, masyarakat Konawe dan masyarakat lain yang sudah merasakan akibat buruk penerapan demokrasi tidak cukup hanya menumpahkan kekecewaan dalam bentuk golput, namun harus ada suatu kesadaran bahwa demokrasi harus segera ditinggalkan untuk diganti dengan penerapan Islam secara kaffah dalam institusi khilafah.
Erwin menjelaskan, politik menurut Islam adalah pelayanan, melayani seluruh urusan masyarakat berdasarkan syariat Islam. Pemimpin (khalifah) akan sangat takut pada Allah jika ada satu makhluk Allah yang terzalimi. Pemimpin akan sangat takut dimintai pertanggungjawaban oleh Allah jika ada di antara manusia masalahnya tidak terpecahkan.
“Hanya dalam institusi khilafah, politik akan benar-benar tulus melayani. Dalam demokrasi, politik pelayanan itu hanya slogan,” pungkasnya.[] Agung Sumartono