Seluruh Aspek Kehidupan Masih dalam Cengkeraman Asing, Analis: Kemerdekaan Semu Bangsa Ini
Mediaumat.news – Memaknai arti kemerdekaan dengan melihat fakta yang terjadi di negeri ini, Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan mengatakan bahwa kemerdekaan yang dimiliki oleh bangsa ini tak lebih dari kemerdekaan yang semu, karena sesungguhnya bangsa ini masih dalam cengkeraman asing pada hampir seluruh aspek kehidupan.
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan yang dimiliki oleh bangsa ini tak lebih dari kemerdekaan yang semu. Karena sesungguhnya kita masih ada dalam cengkeraman atau pengaruh asing dalam hampir seluruh aspek kehidupan,” ujarnya seperti dalam rilis yang diterima mediaumat.news, Rabu (18/8/2021).
Fajar menilai, memang 76 tahun yang lalu Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya. Namun pada kenyataannya, negara ini baru merdeka dari penjajahan secara fisik. Sementara pada faktanya, dalam aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan, Indonesia belum bisa dikatakan merdeka.
Ideologi
Fajar mengatakan, sampai hari ini Indonesia masih menerapkan ideologi yang diwariskan oleh penjajah, yaitu ideologi kapitalisme liberal. Di atas landasan ideologi inilah kemudian dibangun sejumlah pranata (sistem) sosial kehidupan berbangsa dan bernegara, meliputi sistem politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial budaya dan hukum. Maka tak heran apabila seluruh kehidupan di negeri ini bercorak liberal dan kapitalistik.
Sistem Politik
Menurut Fajar, dalam sistem politik Indonesia mengadopsi sistem demokrasi liberal yang memberikan hak absolut pembuatan hukum/undang-undang ada di tangan manusia, baik melalui DPR maupun Presiden.
“Sistem ini telah menghadirkan biaya politik yang sangat mahal. Untuk helatan Pilpres 2019 negara harus merogoh kocek Rp 33,73 trilyun, dan ketika Pileg, Pilkada dan Pilpres digelar serentak pada 2024 nanti diperkirakan membutuhkan dana Rp 86 trilyun. Sungguh angka yang sangat fantastis !” ungkap Fajar.
Dan yang lebih menyedihkan lagi kata Fajar, ketika sudah terpilih menjadi wakil rakyat, terpilih menjadi pejabat dan kepala negara, orang-orang yang terpilih tersebut tidak benar-benar bekerja untuk rakyat. Mereka bekerja untuk para cukong, kapitalis dan oligarki, sehingga tak heran apabila produk-produk kebijakan yang dihasilkan pun justru menyusahkan dan mendzalimi rakyat. Padahal rakyatlah yang memilih mereka, rakyat pula yang menggaji mereka, dan rakyat pula yang membayar pajak untuk menyokong negara ini tetap ada.
Ia mencontohkan, UU Cipta Kerja, UU Minerba dan UU KPK adalah diantara produk kebijakan yang sangat menyakiti hati rakyat Indonesia. Alih-alih mendengar dan mengakomodasi aspirasi rakyat, yang terjadi justru tuduhan bahwa yang menolak itu anti Indonesia, tidak NKRI, anti kebhinekaan serta intoleran.
Selain itu Fajar menilai, sistem demokrasi juga hanya menghasilkan elit politik yang bermoral rusak, berperilaku korup, meraih jabatan hanya untuk memperkaya diri, serta berjuang untuk kepentingan kelompoknya dan para oligarki.
“Inilah konsekuensi logis dari biaya politik yang kelewat mahal,” ucap Fajar.
Aspek Ekonomi
Menurut Fajar, dalam aspek ekonomi negara ini mempraktikan sistem ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam yang liberal, yang ditopang dengan sistem keuangan ribawi sebagai backbone-nya. Sehingga para pemilik modal atau kapitalis dapat dengan leluasa menjarah semua sumberdaya alam negeri ini dengan dalih investasi.
“Dan UU Cipta Kerja yang sangat pro investor bagaikan karpet merah bagi para kapitalis dan oligarki untuk mengeruk dan menguasai sumberdaya alam milik rakyat,” tuturnya.
Fajar memaparkan, konsesi hutan, perkebunan, tambang mineral dan batubara, tambang minyak dan gas bumi, pembangkit listrik, serta sumberdaya air, yang menguasai hajat hidup orang banyak dan seharusnya dikelola oleh negara atas nama rakyat, senyatanya sekarang telah menjadi milik swasta atau investor, baik asing atau dalam negeri. Rakyat tak punya kesempatan untuk menikmati keuntungan dari berlimpahnya sumberdaya alam yang dimiliki. Yang terjadi, ruang kelola masyarakat menjadi semakin sempit, karena sebagian besar lahan di republik ini telah dikuasai oleh para pemilik modal.
Selain itu kata Fajar, liberalisasi juga terjadi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan dan kesehatan nasional. Negara tak bisa menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas dan murah, tapi yang terjadi justru pemerintah membuka keran investasi di sektor pendidikan dengan sangat masif. Akibatnya pendidikan menjadi kian mahal dan tak terjangkau oleh rakyat. Demikian juga dengan layanan kesehatan, melalui UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), negara telah melepaskan tanggungjawab atas tersedianya layanan kesehatan bagi seluruh rakyat secara adil dan merata. Melalui BPJS Kesehatan, rakyat-lah yang harus bertanggungjawab untuk mengadakan layanan kesehatan bagi dirinya. Sistem yang tak berbeda dengan asuransi kesehatan.
“Proses liberalisasi kedua sektor esensial ini yang kemudian membuat investor berbondong-bondong untuk menanamkan investasinya di negeri ini, dengan motif untuk mendapatkan keuntungan dari layanan pendidikan dan kesehatan bagi rakyat Indonesia,” beber Fajar.
Aspek Sosial Budaya
Fajar menyebut, infiltrasi budaya asing berlangsung sangat masif. Budaya-budaya impor seperti budaya Korea (K-Pop), budaya Barat, budaya Jepang, budaya Cina, maupun budaya lainnya yang berasal dari negara-negara kafir, baik berupa lagu, film, drama dan tarian, dengan leluasa masuk ke negeri ini hampir tanpa filter. Budaya asing tersebut yang kemudian semakin menguatkan sikap individualistis, materialistis, pola pikir sekuler, hedonis, permisif, dan cenderung apriori terhadap agama. Bahkan menurunkan kohesi sosial di tengah masyarakat Indonesia.
Aspek Hukum
Sementara dalam aspek hukum menurut Fajar, sudah ratusan tahun negara ini menggunakan sistem hukum yang ditinggalkan oleh penjajah kafir, baik dalam ranah pidana, perdata maupun tata usaha negara. Rencana Revisi KHUP (RKUHP) yang sedang ramai diperbincangkan di DPR pun juga disusun masih dengan kerangka yang tak jauh beda dengan KUHP warisan Belanda. Tak terbersit dalam benak penguasa untuk mengadopsi hukum Islam sepenuhnya sebagai sistem hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Fakta-fakta di atas dengan gamblang menunjukkan kita seolah tak berdaya untuk melepaskan diri dari hegemoni asing dan para pemilik kapital, para cukong dan oligarki, yang demikian kuat mencengkeram kehidupan bangsa ini,” pungkas Fajar. [] Agung Sumartono