Selamatkan Kampus Kita: Selamatkan Daya Kritis dan Intelektualitas Sivitas Akademika
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H. | LBH PELITA UMAT
Pada Ahad 10 Juni 2018 (kemarin), bertempat di Jakarta, LBH PELITA UMAT dan Divisi Hukum Persaudaraan Alumni 212 yang terhimpun dalam Aliansi Tim Bantuan Hukum PA 212, membuat pernyataan bersama terkait maraknya Tindakan Persekusi, Intimidasi, Kriminalisasi, Teror & Ancaman Terhadap Tokoh dan Aktivis Pergerakan Sivitas Akademika.
Ada 5 (lima) poin utama substansi pernyataan. Pertama, menolak segala bentuk intervensi kekuasaan diruang kampus yang berpotensi memberangus nalar kritis, naluri pembelaan terhadap kebenaran dan keadilan, yang dapat merusak tatanan keilmuan dan jiwa kemanusiaan sivitas akademika.
Kedua, mengecam segala bentuk TINDAKAN PERSEKUSI, INTIMIDASI, KRIMINALISASI, TEROR DAN ANCAMAN TERHADAP TOKOH DAN AKTIVIS PERGERAKAN SIVITAS AKADEMIKA, dan meminta kepada penguasa untuk segera menghentikannya.
Ketiga, menghimbau dan mengajak kepada segenap elemen anak bangsa, para tokoh pemuda dan mahasiswa, habaib dan ulama, politisi dan pimpinan partai, praktisi dan akademisi hukum, untuk serius dan sungguh-sungguh turut serta dalam memberikan dukungan dan pembelaan terhadap sivitas akademika, baik tehadap dosen dan/atau mahasiswa, untuk tetap teguh dan Istiqomah berpegang teguh pada nurani, logika keilmuan dan semangat pembelaan terhadap nilai kebenaran dan keadilan.
Keempat, menuntut pembebasan Imam Besar Al Habib Riziq Sihab dari status tersangka dan seluruh tuduhan, membebaskan Prof Dr Suteki, SH, MHum, Prof. Daniel M. Rosyid PhD, M.RINA, dan seluruh Sivitas akademika lainnya dari segala bentuk kriminalisasi, tuduhan dan sanksi baik berupa peringatan, pencopotan tugas dan pembebasan jabatan dari pihak Rektorat atau otoritas lainnya dan mengembalikannya seperti sediakala.
Kelima, menghimbau dan mengajak segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, untuk membangun sinergi bersama, berfikir serius menghadirkan kekuasaan yang adil, yang melayani, yang berpihak pada kebenaran dan keadilan, yang menaati perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, dan bersama-sama terlibat aktif dalam kerja-kerja kolektif yang bertujuan untuk menghentikan segala bentuk tirani dan keangkuhan. Kami Aliansi Tim Bantuan Hukum PA 212 akan memberikan pembelaan hukum kepada para tokoh intelektual, ulama dan aktivis yang dikriminalisasi oleh Rezim Zalim.
Langkah hukum ini diambil, mengingat Lingkungan pendidikan tinggi adalah tempat bersemai bagi tumbuh kembang nalar kritis, ilmu pengetahuan, pengembangan dan penjagaan nilai-nilai, norma dan moral, mulai ternodai dengan adanya intervensi kekuasaan.
Hiruk pikuk dinamika politik termasuk di dalamnya adanya perbedaan yang tajam antara logika penguasa dan logika kritis segenap elemen anak bangsa, menyebabkan rezim mengekspor INTIMIDASI, TEROR DAN ANCAMAN untuk memaksakan tafsir tunggal bernegara di lingkungan sivitas akademika.
Padahal, Lingkungan kampus yang di dalamnya terdapat sivitas akademika, harus steril dari unsur kekuasaan dan harus tetap berdiri tegak di atas nilai, norma dan etika dan berpegang teguh pada intelektualitas yang netral, berdasarkan ilmu pengetahuan dan keahlian yang diperoleh dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab khususnya untuk melaksanakan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Pemanggilan beberapa dosen dan mahasiswa, di berbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia, baik berujung teguran, surat peringatan bahkan pembebastugasan, yang disebabkan oleh adanya aktivitas penyampaian aspirasi, pembelaan dan dukungan pada nilai kebenaran dan keadilan oleh Sivitas Akademika, adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan, baik ditinjau dari aspek hukum maupun dilihat dari kacamata nilai pendidikan.
Organ-organ kekuasaan mulai memaksakan kehendak, membawa tafsir tunggal kebenaran penguasa, mendobrak dan masuk ruang kampus, menyebar teror dan ancaman, menekan dan memaksa sivitas akademika untuk tunduk, taat dan patuh, melepaskan nilai moral dan standar berdasarkan logika keilmuan, dan membenarkan seluruh tafsir kebenaran yang disodorkan penguasa.
Terakhir, Kemenristek Dikti sampai mengeluarkan kebijakan paranoid, dengan mewajibkan mahasiswa baru mendaftarkan akun sosmed mereka. Tindakan mengawasi (baca: memata-matai) mahasiswa, mengingatkan publik pada ingatan atas pemaksaan tafsir tunggal Pancasila yang dipaksakan rezim Orde Baru.
Tindakan intelek dan langkah penuh keadaban, telah diganti dengan represifme penguasa yang mengekang kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Padahal, konstitusi telah menjamin setiap warga negara -tidak terkecuali dosen dan mahasiswa- untuk secara bebas menjalankan hak berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.
Terlebih lagi, Negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi Hak Asasi berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat, sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi.
Tindakan pengabaian apalagi jika terjadi pemberangusan terhadap hak berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat, sebagaimana dijamin dalam konstitusi (pasal 28 E ayat 3), berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM.
Dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Kemenristekdikti telah dilaporkan ke Komnas HAM RI melalui divisi pemuda dan mahasiswa Persaudaraan Alumni 212. Secara politik, tindakan Kemenristekdikti yang abai menjalankan tugas pokok dan fungsinya memimpin lembaga pendidikan tinggi, menjadi pertimbangan tersendiri bagi publik untuk menuntut Presiden mencopot jabatannya.
Seorang menteri, tidak boleh mengumbar kesalahan etik bawahan ke ruang publik, apalagi membuat teror horor dengan membuat pilihan-pilihan paksaan yang tendensius dan radikal. Meminta seorang Guru Besar untuk memilih NKRI atau melepaskan jabatannya, adalah tindakan diktator dan radikal yang tak lazim.
Pernyataan ini melawan nalar dan logika sehat. Sebab, bagaimana mungkin seorang pengajar Pancasila yang telah lebih 24 tahun mengajar dituding anti NKRI ? Darimana vonis untuk melepaskan jabatan itu dipertimbangkan ? Apakah sudah ada pertimbangan pengadilan dimana amar putusannya memerintahkan demikian?
Jika diktatorisme kampus ini diambil atas adanya latar belakang ujaran berbeda, kongkritnya jika pertimbangannya adalah karena perbedaan pandangan penguasa dengan kaum intelektual atas menghangatnya diskursus tentang Khilafah, bukankah berdiskusi dan menguraikan argumentasi adalah pilihan bijak dan bermartabat ? Bukan secara sepihak mengambil jalan memvonis dan melakukan persekusi.
Perlu ditegaskan, hingga saat ini tidak ada satupun produk hukum yang memberi tafsir terhadap Khilafah sebagai paham atau ajaran yang dilarang. Jadi, jahat sekali jika penguasa melalui Kemenristekdikti membuat narasi sepihak untuk menggiring opini publik agar menjauhi Khilafah sebagai ajaran Islam yang agung, dengan memvonisnya sebagai ajaran terlarang.
Penjelasan fair dan berdasarkan hukum, yang memuat paham atau ajaran apa yang dilarang dianut, dikembangkan dan disebarluaskan adalah paham atau ajaran marxisme/leninisme, atheisme dan komunisme. Paham ini tegas dilarang, berdasarkan TAP MPRS No. XXV/1966.
Adapun terhadap ide Khilafah, tidak ada satupun produk hukum yang melarangnya. Apalagi, dalam khazanah fiqh Islam Khilafah adalah ajaran Islam. Khilafah sudah dikenal secara luas sebagai bagian dari ajaran Islam.
Dalam sesi tanya jawab dengan rekan media, kami telah menjelaskan secara rinci kesalahan-kesalahan pilihan kebijakan yang diambil oleh Kemenristekdikti. Maka, tuntutan kepada Presiden untuk mencopot M. Natsir dari posisi Menristekdikti adalah tuntutan yang wajar dan sangat beralasan.
Selanjutnya, pada beberapa hari ke depan Aliansi Tim Bantuan Hukum PA 212, akan melakukan serangkaian tindakan hukum agar kecerobohan dan kekeliruan mengelola pendidikan tinggi di negeri ini tidak terus berlanjut. Komitmen pada penjagaan nilai, etika dan norma perguruan tinggi wajib dijaga, semua pihak wajib menghormati tak terkecuali Kemenristekdikti. [].