Oleh: Indarto Imam (Ketua Forum Meja Guru)
Sekulerisasi pendidikan di Indonesia sudah lama terjadi. Sekulerisasi secara struktural berlangsung secara intensif di ranah pendidikan formal, dimana sejak awal negeri ini memisahkan jalur pendidikan Islam dengan jalur pendidikan umum di bawah dua kementrian yang berbeda. Pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama, dan pendidikan umum di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, ini berlaku untuk semua jenjang dari dasar hingga tinggi.
Hakikatnya, membiarkan sekulerisasi pendidikan sama saja mencerabut keberkahan ilmu dari pola pikir (aqliyah) manusia, akibat tersingkirkannya wahyu sebagai otoritas akademik. Dimana pemikiran manusia yang jauh dari wahyu ini tentu berpengaruh pada pola sikap (nafsiyah) dan kepribadiannya secara keseluruhan.
Di sisi lain, sekulerisasi ilmu pengetahuan juga memfasilitasi tsaqofah asing dan pemikiran-pemikiran sekuler liberal merasuki benak kaum terpelajar. Sehingga wajar hari ini kaum munafik di tengah umat benar-benar nampak. Karena tsaqofah asing yang bertentangan dengan Aqidah Islam adalah bahan bakar kemunafikan. Selain itu asas sekulerisme juga telah menjadi pintu masuk bagi kapitalisasi pendidikan, yang semakin menyuburkan lahirnya kaum pragmatis yang materialistik, akibat pendidikan dijadikan komoditas bisnis.
Persis seperti yang digambarkan oleh Syaikh Taqiyuddin An Nabhani bahwa mereka adalah kaum terpelajar yang terpisah dari umat, perasaan mereka terpisah dari pemikiran dan akal rakyat mereka, dan mereka -secara alami- menjadi orang-orang yang terpisah dari umat, serta terpisah dari perasaan dan kecenderungan umat.
Inilah kenapa di kala mayoritas umat membela Quran dan murka dengan penistanya, para cendekia ini justru membela penista Quran atas nama pluralisme dan toleransi. Melalui kasus Ahok dengan pelecehan terhadap QS al-Maidah ayat 51-nya, Allah SWT benar-benar telah menunjukkan kepada umat Islam jati diri siapa Muslim sejati dan siapa yang termasuk golongan munafik. Sehingga penampakan kaum munafik bisa dilihat oleh khalayak kaum muslimin di berbagai tempat dan media. Allah SWT berfirman:
﴿ وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَا كَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ ﴾
“Kalau Kami menghendaki, niscaya Kami menunjukkan mereka (kaum munafik) kepada kamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dari tanda-tanda mereka dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka” (QS Muhammad [47]: 30).
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya, Islam and Secularism, merumuskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Kata al-Attas, “The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab.”. Siapakah manusia yang baik atau manusia beradab itu? Dalam pandangan Islam, manusia seperti ini adalah manusia yang kenal akan Tuhannya, tahu akan dirinya, menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah, mengikuti jalan pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia yang baik lainnya.
Di poin inilah kegagalan pendidikan modern hari ini yang berasaskan sekulerisme. Karena gagal menghasilkan manusia-manusia beradab, manusia baik yang berkepribadian Islam yang merupakan insan kamil. Cacatnya bahkan sudah sejak asas.
Sesungguhnya pendidikan ala Barat telah melekatkan ciri kemunafikan bahkan sejak karakter mendasarnya. Mari kita melihat sedikit ilustrasi kontras yang membandingkan antara profil intelektual bentukan Barat dengan Islam. Oxford dan Cambridge adalah simbol penting pendidikan di Inggris. Oxbridge, begitu biasa disingkat– jadi pusat riset ilmu dan teknologi yang menyangga peradaban Inggris dari abad ke abad. Banyak peraih penghargaan Nobel beralmamater di kedua kota ini. Namanya juga sangat bergengsi.
Madinah merupakan kota pendidikan yang lebih dahsyat dari Oxford dan Cambridge. Bukan karena fasilitasnya, tetapi karena pendidikan di Madinah menghasilkan peradaban ilmu yang menyatukan iman, ilmu, amal, dan jihad.
Di Oxbridge seorang profesor bisa sangat pakar dalam ilmu fisika atau filsafat etika, pada saat yang sama dia bisa saja seorang homoseks, alcoholic, dan meremehkan gereja. Dia akan tetap dihormati karena penguasaan pengetahuannya. Di Madinah, jika seorang ilmuwan memisahkan aqidah, akhlaq dengan ilmu yang dikuasainya, kealimannya batal. Seorang yang menjadi salah satu simpul sanad bagi sebuah hadits, jika dia ketahuan berdusta sekali saja, namanya akan tercatat sampai akhir zaman di kitab musthalahal hadits sebagai kadzab (pendusta) yang riwayatnya tidak valid. Apalagi kalau dia sampai meninggalkan shalat dan bermaksiat.
Tradisi keilmuan Islam kaya dengan contoh-contoh ulama yang sangat tinggi ilmunya dan sekaligus orang-orang yang memiliki tingkat ketaqwaan yang tinggi. Imam al-Syafii, Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Hanafi, al-Ghazali, Ibn Taymiyah, dan sebagainya adalah contoh-contoh ulama yang hingga kini menjadi teladan kaum Muslim. Dalam sistem sosial Islam, tidak ada kesempatan bagi seorang yang berilmu tinggi tetapi tidak menjalankan ilmunya. Sebab, ia akan dicap tidak adil, fasik, dan secara otomatis akan tersisih dari tata sosial Islam, karena ditolak kesaksiannya dan pemberitaannya diragukan.[]