Sekularisme dan Sinkretisme dalam Salam Lintas Agama

 Sekularisme dan Sinkretisme dalam Salam Lintas Agama

Oleh: Mochamad Efendi (Pengamat el-Harokah Research Center)

Seorang muslim sejati tidak akan malu menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslim, meskipun dia seorang pejabat yang memimpin masyarakat yang heterogen. Apa benar mengucapkan salam sesuai dengan keyakinannya, akan mengancam perpecahan diantara umat beragama? Faktanya, banyak pejabat Muslim yang enggan mengucapkan salam sesuai dengan keyakinannya. Mereka lebih bangga mengucapkan salam lintas agama meskipun MUI sudah melarangnya.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengucapkan salam yang mewakili lima agama di Indonesia saat berbicara di acara Forkopimda yang digelar di Gedung SICC Sentul, Bogor, Jawa Barat. Usai mengucapkan salam lintas agama itu, Halim menyinggung soal imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang melarang pejabat Muslim mengucapkan salam lima agama. (https://m.cnnindonesia.com/nasional/20191113170307-20-448042/mendes-ucapkan-salam-lintas-agama-saya-nu-bukan-mui).

Seorang Muslim harus mencontoh Rasulullah ketika menjadi pemimpin satu negara, pejabat atau saat menjadi masyarakat biasa. Mengikuti Rasulullah dan risalahnya adalah bentuk cinta kita pada beliau. Semua aturan dan contoh yang baik ada pada ajaran Islam. Janganlah arogan dengan tidak mau mengambil Rasulullah sebagai suri tauladan dengan mengedepankan logika manusia untuk menentukan yang benar. Tidak hanya bagaimana mengucapkan salam, tapi juga dalam semua hal dari yang kecil saat masuk kamar kecil hingga masalah ketatanegaraan diatur dalam Islam. Kenapa enggan diatur dengan Islam jika itu untuk kebaikan kita.

Seorang pejabat muslim harusnya mengatur hidupnya dengan Islam bukan landasan berfikir yang lain atau nilai manfaat saja dengan meninggalkan ajaran Islam yang mulia. Akal manusia sangat lemah dan terbatas sehingga sering salah jika digunakan sebagai dalil untuk melakukan satu kebenaran. Sikap rela diatur dengan Islam dan mendengarkan ulama’ atas sesuatu hal yang berlandaskan hukum Islam adalah bentuk ketawadu’an dan teguhnya iman seorang pemimpin atau pejabat muslim. Sebaliknya menolak satu kebenaran Islam dengan mengedepankan alasan dalil yang tidak bersumber dari ajaran Islam adalah bentuk sikap arogan seorang pemimpin. Jika dia sombong di hadapan sang pencipta alam yang menurunkan aturan Islam yang sempurna, pasti dia akan lebih sombong terhadap sesama manusia. Kesombongan ini yang menghancurkan para pemimpin terdahulu yang menolak seruan Allah yang dibawa oleh utusanNya. Fir’aun ditenggelamkan di laut merah karena sifat takaburnya yang menganggap dirinya paling benar. Begitu pula raja Namrud yang dihancurkan dalam kehinaan karena menolak menerima kebenaran. Tidakkah para pejabat muslim mengambil pelajaran dari kisah terdahulu yang tertulis dalam al-Qur’an yang diyakini benar tanpa sedikitpun keraguan di dalamnya.

Sebenarnya salam tidak wajib untuk dilakukan, namun sikap menolak anjuran MUI untuk mengucapkan salam menurut keyakinannya adalah bentuk sikap arogan dari pejabat yang mengaku Muslim, apalagi alasannya adalah tidak masuk akal, bukan bersumber dari keyakinannya. Ulama’ harusnya didengar dan ditaati jika yang disampaikan benar dengan mengambil dalil yang bersumber dari hukum Islam bukan malah direndahkan di hadapan publik dengan sikap arogan menolak fatwa Ulama’.

Pejabat seperti ini telah terpapar pemikiran sekulerisme. Dia melepaskan agama dalam kehidupan. Agama dianggap hanya aktivitas ritual yang mengatur hubungan dengan Tuhannya saja. Saat mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lain dia melepaskan keyakinannya. Dia lebih bangga dengan aturan manusia daripada aturan Allah.

Pejabat seperti ini sudah menjunjung tinggi ajaran sinkretisme yang menganggap semua agama benar. Toleransi dianggap sebagai bentuk pengakuan semua agama benar sehingga mengucapkan salam lintas agama dianggap lebih layak dilakukan daripada salam menurut keyakinannya.

Bahaya pemikiran sekuler dan sinkretisme adalah pendangkalan akidah dalam beragama. Mereka lebih mengedepankan pragmatisme dalam bersikap, sehingga ajaran Islam yang tidak menguntungkan baginya ditinggalkan. Padahal kita diperintahkan untuk berislam secara kaffah, tidak boleh mengambil ajaran Islam yang disukai saja tapi meninggalkannya yang tidak sesuai dengan pemikirannya.

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia merupakan musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)

Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas mengatakan, “ Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867).

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *