Kementerian Agama RI melalui KMA (Keputusan Menteri Agama) nomor 183 dan 184 tahun 2019 yang ditandatangani pada 10 Juli lalu secara resmi telah memberlakukan kurikulum baru untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Bahasa Arab di madrasah mulai tingkat Ibtidaiyah (dasar) hingga Aliyah (atas) pada tahun ajaran 2020/2021. (cnn.id 11/07/20)
Pada kurikulum baru tersebut terdapat revisi atas materi di kurikulum sebelumnya yang harus mendapat perhatian serius dari umat Islam. Karena revisi tersebut sarat akan muatan paham Sekularisme dan Liberalisme yang bertentangan secara prinsip-prinsip dasar Islam. Pada surat edaran bernomor B-4339.4/DJ.I/Dt.I.I/PP.00/12/2019 yang ditandatangani Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag Ahmad Umar, disebutkan dengan jelas terkait revisi tersebut adalah dalam rangka “pengarusutamaan moderasi beragama serta pencegahan paham radikalisme di satuan pendidikan madrasah”. Oleh karenanya memandang perlu untuk meninjau ulang dan menghapus atau merevisi materi-materi yang dianggap radikal atau menyebabkan radikalisme.
Digesernya Khilafah dan Jihad menjadi Materi Pelajaran SKI
Di antara yang dianggap radikal atau menyebabkan radikalisme adalah materi terkait khilafah dan jihad. Pada kurikulum yang baru keduanya direvisi. Tidak lagi diajarkan pada mata pelajaran Fikih sebagaimana diatur dalam KMA nomor 165 Tahun 2014. Melainkan dimasukkan ke dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI).
Penggeseran kedua materi tersebut adalah musibah. Permasalahan yang sangat serius. Karena fikih adalah:
الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُسْتَنْبَطَةِ مِنَ الْأَدِلَّةِ التَّفْصِيْلِيَّةِ
Ilmu tentang hukum-hukum syari’at yang bersifat praktis, yang digali dari dalil-dalil yang terperinci.[1]
Itu berarti, ketika khilafah dan jihad menjadi konten pelajaran Fikih maka yang dibahas di dalamnya adalah bagaimana hukum keduanya, dalil-dalil terperinci yang mendasarinya, serta ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengannya.
Tentu ini sangat berbeda dengan apabila keduanya menjadi konten dari pelajaran Sejarah dan Kebudayaan. Isinya jadi bergeser ke sekedar membahas peristiwa-peristiwa dan kapan waktu terjadinya. Atau paling banter mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa atau peran tokoh-tokoh nya yang dianggap baik saja. Tidak sampai menyentuh aspek normatif bagaimana hukum daripada khilafah dan jihad itu sendiri. Dan khusus terkait jihad dilakukan penunjauan dan penafsiran ulang agar tidak dimaknai perang melawan kaum kafir sebagaimana maklum dalam pembahasan Fikih, karena dianggap sudah tidak relevan lagi.
Akibatnya generasi umat Islam akan menjadi semakin jauh dari pemahaman yang benar tentang khilafah dan jihad. Tidak lagi menganggapnya sebagai bagian dari syari’at Islam yang mereka benarkan dan usahakan penerapannya. Melainkan hanya sebagai bagian dari kejadian di masa lampau. Lebih daripada itu, mereka akan tercetak menjadi sekular. Tidak mengenal agamanya kecuali sebatas ajaran ritual dan syari’at yang meliputi kondisi pribadinya saja. Menolak penerapan syari’at Islam secara sempurna di wilayah publik oleh negara. wal ‘iyâdzu billâh.
Khilafah dan Jihad Hukumnya Wajib dan Terus Relevan di Setiap Zaman
Tidak ada keraguan bahwa khilafah dan jihad adalah bagian dari syari’at Islam yang hukumnya fardhu kifayah. Terkait khilafah, al-Imam Saifuddin al-Amidi (w. 631 H) menyatakan:
قَالَ أَهْلُ الْحَقِّ الدَّلِيلُ الْقَاطِعُ عَلَى وُجُوْبِ قِيَامِ الْإِمَامِ وَاتِّبَاعِهِ شَرْعًا مَا ثَبَتَ بِالتَّوَاتُرِ مِنْ إِجْمَاعِ الْمُسْلِمِيْنَ فِى الصَّدْرِ الْأَوَّلِ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْتِنَاعِ خُلُوِّ الْوَقْتِ عَنْ خَلِيفَةٍ وَإِمَامٍ حَتَّى قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ فِى خُطْبَتِهِ الْمَشْهُورَةِ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا إِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَلَا بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مِمَّنْ يَقُوْمُ بِهِ فَبَادَرَ الْكُلُّ إِلَى تَصْدِيْقِهِ وَالْإِذْغَانِ إِلَى قَبُوْلِ قَوْلِهِ ، وَلَمْ يُخَالِفْ فِى ذَلِكَ أَحَدٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.
Ahlul haq (Ahlussunnah wal Jama’ah) berpendapat: dalil qath’i yang mendasari kewajiban mewujudkan adanya seorang imam (khalifah[2]) serta kewajiban menaatinya secara syar’i adalah apa yang telah diriwayatkan secara mutawatir perihal adanya ijmak kaum muslim di masa pertama pasca wafatnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk mencegah terjadinya kevacuman dari keberadaan seorang khalifah dan imam. Sampai Abu Bakar berkata di dalam khutbahnya yang terkenal sepeninggal Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-: Ketahuilah bahwa Nabi Muhammad telah wafat, dan harus ada orang yang terus menjalankan agama ini (Islam). Maka seluruh kaum muslim langsung membenarkan beliau dan tunduk menerima perkataan beliau tersebut, tanpa ada seorangpun dari mereka yang menyelisihinya.[3]
Dijelaskan di situ bahwa kaum muslim khususnya Ahlussunnah wal jama’ah telah sepakat mewujudkan khalifah itu hukumnya wajib berdasarkan dalil qath’i. Yaitu ijmak sahabat yang sampai secara mutawatir terkait ketidakbolehan adanya masa vakum dari keberadaan seorang khalifah. Tidak boleh tidak ada khilafah tersebut akan terus berlaku sampai hari kiamat tiba. Hal senada juga dijelaskan oleh al-Imam ‘Adhdhuddin al-Iji (w. 791 H), dan beliau menambahkan:
وَتَرَكُوْا لَهُ أَهَمَّ الْأَشْيَاءِ وَهُوَ دَفْنُ رَسُوْلِ اللهِ وَلَمْ يَزَلِ النَّاسُ عَلَى ذَلِكَ فِي كُلِّ عَصْرٍ إِلَى زَمَانِنَا هَذَا مِنْ نَصْبِ إِمَامٍ مُتَّبَعٍ فِي كُلِّ عَصْرٍ
Demi hal itu (mengangkat khalifah) mereka (para sahabat) telah meninggalkan (baca: menunda) perkara yang sangat penting yakni pemakaman jenazah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-. dan umat Islam senantiasa menjalankannya hingga sampai saat ini. Yaitu mengangkat imam (khalifah) yang ditaati di setiap masa.[4]
Jadi mewujudkan khalifah merupakan kewajiban yang paling prioritas (ahammul ahamm) dan berlaku di setiap masa. Tak terkecuali masa saat ini dan akan datang. Terlebih lagi khilafah adalah janji Allah dan Rasulnya.
ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Kemudian akan berlangsung kekhilafahan dengan berdasarkan metode kenabian. (HR. Ahmad)[5]
Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh Zainuddin al-‘Iraqi (w. 806 H) dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Haitami (w. 973 H) sekaligus dipahami oleh beliau berdua sebagai kabar gembira akan kedatangan khilafah di akhir zaman[6].
Sedangkan terkait Jihad dalam artian perang melawan kaum kafir dalam rangka meninggikan kalimat Allah, telah dijelaskan dua macam nya serta hukum keduanya oleh al-Imam an-Nawawi (w. 676 H) dengan menyatakan:
كَانَ الْجِهَادُ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْضُ كِفَايَةٍ وَقِيْلَ: عَيْنٍ ، وَأَمَّا بَعْدَهُ فَلِلْكُفَّارِ حَالَانِ أَحَدُهُمَا يُكُوْنُوْنَ بِبِلَادِهِمْ فَفَرْضُ كِفَايَةٍ إِذَا فَعَلَهُ مَنْ فِيْهِمْ كِفَايَةٌ سَقَطَ الحْرَجُ عَنِ الْبَاقِيْنَ. … الثَّانِي: يَدْخُلُوْنَ بَلْدَةً لَنَا فَيَلْزَمُ أَهْلُهَا الدَّفْعَ بِالْمُمُكِنِ.
Adalah jihad itu di masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- hukumnya fardhu kifayah, ada yang mengatakan fardhu ‘ain. Sedangkan sepeninggal beliau, maka kaum kafir itu ada dua kondisi: pertama saat mereka berada di negeri mereka, maka jihad hukumnya fardhu kifayah. Apabila telah dilaksanakan oleh jumlah yang memadahi maka dosa gugur daripada yang lain. … ke-dua: saat mereka masuk negeri milik kita (kaum muslim), maka penduduk setempat diwajibkan untuk mengusirnya sebisa mungkin.[7]
Dua macam jihad yang sama-sama fardhu ini terus berlaku hingga akhir zaman selama dua kondisi tersebut ada pada kaum kafir. Sebagaimana dalam hadits:
الخَيْلُ مَعْقُودٌ فِي نَوَاصِيها الخَيْرُ إلَى يَوْمِ القِيَامَةِ الأجْرُ والمَغْنَمُ.
Kuda perang itu terpancang di atas kepalanya kebaikan (al-khair) hingga hari kiamat, yaitu berupa pahala dan rampasan perang. (HR. al-Bukhari)[8]
Al-Imam Badruddin al-‘Aini (w. 855 H) menjelaskan:
وَفِيهِ: أَنَّ الْجِهَادَ لَا يَنْقَطِعُ أَبَدًا.
Di dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa jihad itu tidak terputus untuk selamanya.[9]
Sampai di sini jelas, bahwa khilafah dan jihad merupakan bagian dari ajaran Islam. Keduanya adalah syari’at Islam yang hukumnya fardhu dan kefardhuannya terus berlaku sampai akhir zaman. Maka memalingkan maknanya serta menegasikan kefardhuannya, apalagi ditambah dengan menyematkan sebutan negatif semacam “radikalisme” “khilafahisme” “pemecah-belah persatuan” dan semisalnya, adalah kejahatan dan kezaliman yang nyata.
Pengarusutamaan Moderasi ala Liberalisme
Pengarusutamaan moderasi beragama serta pencegahan paham radikalisme di atas sejatinya adalah pengarusutamaan liberalisme dan pengukuhan sekularisme. Memang benar bahwa Islam memerintahkan sikap proporsional (tawâzun) dan sedang (tawassuth). Yaitu tidak bersikap ifrâth (berlebihan, melampaui batas) dan juga tidak tafrîth (meremehkan, meninggalkan). Namun moderasi yang dimaksud di atas tadi adalah berbeda. Bukan sikap proporsional dan sedang dalam beragama, melainkan mengajak kepada paham liberalisme dan sekularisme. Menundukkan Islam dengan realita yang sedang berlangsung. Menganggap ajaran-ajaran nya yang tidak sesuai dengan realita sudah tidak relevan sehingga perlu ditafsirkan ulang atau direvisi. Sehingga yang disebut moderasi di situ sejatinya adalah sikap tafrîth (meremehkan, meninggalkan) itu sendiri.
Contoh sikap proporsional dalam masalah khilafah, adalah tidak ifrâth alias berlebihan dengan menganggapnya sebagai bagian dari rukun Iman, sekaligus juga tidak tafrîth atau meremehkan dengan mengingkari dan meninggalkan kefardhuannya. Sedangkan sikap proporsional dalam masalah jihad, misalnya tidak berlebihan dengan memerangi juga kafir dzimmi dan musta`min, dan juga tidak meremehkan dengan menegasikan dan meninggalkan kefardhuannya.
Maka dengan demikian jelaslah bahwa moderasi yang dimaksud bukan sikap tawazun dan tawassuth yang dianjurkan Islam, melainkan penjerumusan kepada paham liberalisme dan sekularisme. Mencampakkan hukum-hukum Allah dan tidak mau diatur dengan syari’at Islam. Muatan beracun inilah yang sedang disuntikkan kepada generasi umat Islam melalui kurikulum baru tersebut. Ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa rezim berkuasa saat ini adalah rezim yang anti dan memusuhi Islam yang apa adanya. Yaitu “Islam kaffah”, Islam yang tanpa penambahan dan pengurangan. Wallâhu a’lam[] KH Hafidz Abdurrahman
[1] Taqiyuddin an-Nabhani. 2005. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Vol III. Cet. V. (Beirut: Dar al-Ummah) hlm 12
[2] Lafazh imam dan imamah dalam konteks materi fikih bermakna antara dua: 1) terkait perihal menjadi imam dalam shalat (imamah shughra), dan 2) terkait perihal menjadi khalifah dalam kekhilafahan (imamah kubra). Sedangkan terkait materi akidah atau ilmu kalam, maka merujuk kepada makna yang terakhir saja.
[3] Saifuddin al-Amidi. t.t. Ghâyah al-Marâm fî ‘Ilm al-Kalâm. (Kairo: al-Majlis al-A’la li asy-Syu`un al-Islamiyyah) hlm 364-365
[4] ‘Adhdhuddin al-Iji. 1997. Kitâb al-Mawâqif. (Beirut: ‘Alam al-Kutub) hlm 395
[5] Musnad Ahmad. Hadits nomor 18406
[6] Lihat Zainuddin al-‘Iraqi. 2000. Mahajjah al-Qurab ilâ Mahabbah al-‘Arab. (Riyadh: Dar al-‘Ashimah) hlm 176-177; Ibnu Hajar al-Haitami. Mablagh al-`Arab fî Fakhr al-‘Arab. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah) hlm 39-40.
[7] Yahya bin Syaraf an-Nawawi. 2005. Minhâj at-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn fî al-Fiqh. (Beirut: Dar al-Fikr) hlm 307-308
[8] Shahih al-Bukhari. Hadits nomor 2852
[9] Badruddin al-‘Aini. t.t. ‘Umdah al-Qârî syarh Shahîh al-Bukhârî. (Beirut: Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi) vol 14 hlm 145