Sejarawan Ungkap Konvoi Khilafah Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial

Mediaumat.id – Menjawab munculnya konvoi tentang khilafah yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini, Sejarawan, Penulis dan Sutradara Film JKDN Nicko Pandawa mengatakan, aktivitas semacam pawai itu sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.

“Di Indonesia atau di Hindia Belanda zaman kolonial dahulu pernah ada beberapa peristiwa yang memakai materi yang sama yaitu masalah khilafah dan dipertontonkan di depan umum,” ujarnya dalam Seri JKDN Eps #27: Konvoi Khilafah Tempo Doeloe dan Sikap Rezim Kolonial, Kamis (9/6/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.

“Ternyata ini bukan kejadian baru,” sambungnya, seraya menyayangkan hal itu ternyata juga dipermasalahkan oleh pemerintah kolonial ketika itu.

Kendati demikian, peristiwa sejarah dengan pola sama, yakni penerapan syariah Islam secara kaffah, akan terus berulang. “Ini semacam peristiwa sejarah yang berulang, dengan tokoh, organisasi yang berbeda. Hanya saja polanya sama,” tandasnya.

Adalah Sarekat Islam (SI), organisasi kemasyarakatan di bawah kepemimpinan HOS Cokroaminoto yang muncul di awal abad ke-20 sebagai upaya menggantikan kekuasaan kolonial, berikut seruan-seruan untuk bisa berpemerintahan sendiri tanpa melibatkan penjajah kafir sekalipun.

Sementara itu, ungkap Nicko, muncul pula organisasi Islam lainnya. Semisal, Jami’atul Khair sebagai perhimpunan ulama dan kaum Arab yang berpusat di Batavia, Semarang, Bogor, hingga Surabaya.

“Kemudian ada Al-Irsyad, kemudian ada Muhammadiyah. Dan yang paling populer dan paling besar kekuatannya tentu Sarekat Islam. Ini yang paling luar biasa. Di bawah kepemimpinan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (HOS Cokroaminoto),” ulasnya.

Cokroaminoto, kata Nicko, sebenarnya adalah anak seorang pejabat Belanda. Hanya, beliau merasakan kegelisahan ketika melihat rakyat terzalimi oleh pemerintah kolonial.

Sehingga beliau, lanjutnya, memilih jalan aktivisme dengan mendirikan organisasi yang berasaskan Islam dan berupaya memperjuangkan seluruh ajaran agama Islam.

Sebutlah ketika orang-orang sekuler menghina Nabi SAW, sambung Nicko, Cokroaminoto dengan Sarekat Islamnya membangun semacam sayap milisi, Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) pada 6 Februari 1918 sebagai usaha menjaga kehormatan Islam.

Lebih dari itu, SI sebelumnya bahkan telah melakukan pembelaan terhadap Kekhilafahan Utsmaniah, terutama ketika Khilafah Utsmani terjun ke Perang Dunia Pertama pada tahun 1914.

“Sampai-sampai Cokroaminoto itu dengan Sarekat Islam yang untuk ukuran (organisasi) saat itu, jumlah anggotanya mencapai dua juta orang,” terangnya dengan menambahkan, para anggota SI yang antusias bergerak ketika itu berasal dari Jawa dan luar Jawa.

Setidaknya, ada dua peristiwa besar mengenai dukungan kepada khilafah dimaksud. “Beberapa fragmen catatan dukungan atau konvoi khilafah di Nusantara oleh Sarekat Islam, saya dapati berdasarkan yang saya temui catatan sejarahnya, itu pernah terjadi di dua kota, Surabaya dan Bandung,” bebernya.

Di Surabaya, kata Nicko, SI mengadakan acara semacam kegiatan indoor dengan agenda penggalangan dana sebagai bentuk jihad harta benda dalam mendukung Khilafah Utsmaniah di bawah kepemimpinan Khalifah Mehmed V Reshad.

“Saat itu tahun 1915, ada perhelatan besar di Surabaya. Dan di situ Pak Cokroaminoto memajang foto Mehmed Reshad Kelima,” lugasnya sembari mengungkapkan, bahwa SI ketika itu bekerja sama dengan organisasi Osman Hilal-i Ahmer Cemiyeti atau Perkumpulan Bulan Sabit Merah Utsmani.

“Orang Turki ini, raja Turki ini, itu diakui sebagai khalifah bagi siapapun yang punya kecenderungan keislaman yang kuat, yang punya rasa keberagamaan yang kental dalam dirinya,” ucap Nicko, menirukan jawaban Cokroaminoto saat ditanya seorang Agen Belanda Douwe Adolf Rinkes, penasihat pemerintah kolonial pengganti Snouck Hurgronje, perihal foto besar yang dipajang.

Artinya, Muslim di Nusantara kala itu hanya taat kepada kepemimpinan sah yang telah mereka akui sebelumnya, yakni Khalifah Utsmaniah, walaupun secara administratif tidak dipimpin secara langsung. “Mereka itu begitu kagum dan merasa terikat dengan Khilafah Utsmaniah,” timpal Nicko.

Konvoi

Selanjutnya kegiatan outdoor, yakni berupa konvoi atau semacam pawai yang dilakukan SI di Bandung pada tahun 1916. “Di Braga, depan Gedung Merdeka, dekat Alun-Alun Bandung itu pernah Sarikat Islam, setahun kemudian setelah 1915, yakni 1916, masih dalam suasana Perang Dunia Pertama,” jelasnya mengenai lokasi Pawai.

Nicko menilai, betapa luar biasanya aktivisme Islam dari organisasi kemasyarakatan tersebut saat akan mengadakan konvoi khilafah yang seperti diketahui, bakal mengibar-ngibarkan bendera Khilafah Utsmaniah.

Namun sayangnya, dikarenakan tidak mendapatkan izin dari kepolisian kolonial, aksi dimaksud batal. “Akhirnya enggak diizinkan,” kata Nicko.

“Zaman sekarang enggak, apalagi zaman dahulu. Karena sama haluan,” lompatnya, membandingkan kondisi dengan rezim saat ini.

“Kita enggak tahu ya, kalau pemerintah sekarang ini haluannya ke mana ya. Kalau misalkan mau disamakan dengan kolonial, apa mereka mau? Kalau enggak mau ya, jangan dipermasalahkan konvoi khilafah,” harapnya.

Meski demikian, semangat kaum Muslim tetap tinggi. “Kebawa euforia terhadap keikutsertaan jihad akbar Khilafah Utsmani di bawah pimpinan Khalifah Mehmed Reshad Kelima. Ini yang kemudian terjadi,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: