Sejarawan Ungkap Faktor Heroik Haji Nusantara Era Kolonial
Mediaumat.id – Membahas semangat para jamaah haji Nusantara di masa lalu yang sangat heroik dibandingkan saat ini, Sejarawan, Penulis, sekaligus Sutradara Film JKDN Nicko Pandawa mengungkapkan beberapa faktornya.
“Ada beberapa faktor yang saya lihat menjadikan para jamaah haji Nusantara di masa lalu, ketika pulang mereka menjadi begitu heroik,” ungkapnya dalam Fokus: Haji dan Politik, Ahad (26/6/2022) di kanal YouTube UIY Official.
Pertama, kondisi kampung halaman atau tanah air mereka yakni Nusantara, memang dalam kondisi terjajah. Artinya, mereka merasakan intervensi asing penjajah Belanda yang senantiasa mencengkeram. “Mereka tergerak untuk mengubah realitas tersebut, mengubah kemungkaran tersebut,” terangnya.
Kedua, mereka telah melihat sebuah gambaran atau potret tanah suci yang merupakan bagian sebuah sistem negara yang ideal di bawah kekuasaan para khalifah Utsmaniah. “Wibawanya itu benar-benar dapat, luar biasa, begitu menginspirasi para jamaah haji dan ulama Nusantara,” jelasnya.
Sampai-sampai mereka menyurati sang Khalifah untuk sekadar berterima kasih dan mengungkapkan rasa syukur atas pelayanan kepada jamaah haji khususnya dari Nusantara.
Adalah surat yang ditulis oleh sekitar sepuluh ulama Jawi kepada Khalifah Abdul Majid pada tahun 1850 M. “Di antaranya, dari Banten, Palembang, dari Sumbawa Nusa Tenggara Barat, Sambas Kalimantan, Zabid di Yaman,” bebernya.
Sehingga ketika kembali ke tanah air, para jamaah haji terpanggil untuk menjadikan kampung halaman mereka sebagai negeri yang di dalamnya juga menaati khalifah berikut melaksanakan syariat Islamnya.
Terutama menumpas penjajah kafir Belanda ketika itu. Sebab pada dasarnya, penguasa kafir memang batal kepemimpinannya dari sudut pandang Islam.
Dengan kata lain seluruh kaum Muslim global, tanpa menghiraukan perbedaan ras, bangsa, bahasa, dan lain sebagainya, berkonsolidasi membentuk satu spirit perjuangan. Dan ketika mereka pulang, semangat berislamnya berlipat-lipat dalam rangka melawan penjajahan.
Pemuka Pemberontakan Rakyat
Memang di sisi lain, kata Nicko, hal lazim di kalangan kolonial bahwa orang-orang yang telah berhaji cenderung menjadi pemuka ‘pemberontakan’ rakyat melawan pemerintahan penjajah yang notabene kafir.
Maknanya ketika orang-orang Nusantara berangkat haji, lantas mendapati kenyataan bahwa Makkah adalah bagian dari Darul Islam yang menurut mereka ideal, berikut khalifahnya yang juga patut untuk ditaati, menjadi aneh tatkala kembali ke Nusantara, tanah air mereka dikuasai oleh orang-orang yang tidak beriman.
Dikarenakan pula istitha’ah atau kemampuan yang riil, tidak dalam pengertian memakai dana talangan seperti sekarang ini, lanjut Nicko, para figur haji di awal-awal era modern banyak mendirikan gerakan-gerakan Islam yang sampai hari ini, menurutnya masih sangat berpengaruh.
Misalnya, Sarekat Islam (SI) yang didirikan oleh seorang Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, atau lebih dikenal dengan nama HOS Cokroaminoto.
Berikutnya Muhammadiyah oleh KH Ahmad Dahlan, atau pun Nahdlatul Ulama yang diorganisasikan oleh KH Hasyim Asy’ari.
Di era kesultanan Nusantara, sambungnya, juga banyak para pemimpin bergelar haji yang senantiasa menggelorakan perlawanan terhadap penjajah kafir Belanda.
Di Minangkabau dengan perang besar seperti Perang Padri misalnya. “Itu kan asal-muasalnya dia itu dimulai ketika pulang tiga orang Minangkabau dari Makkah,” bebernya.
Sebagaimana banyak diterangkan buku-buku sejarah, beliau adalah Haji Miskin, seorang ulama Minangkabau terkemuka dari Luhak Agam dan merupakan tokoh penting kaum Padri. Membersamai beliau, dua orang tokoh ulama Padri lainnya, yaitu Haji Piobang dari Luhak Limopuluah dan Haji Sumanik dari Luhak Tanah Datar.
Ketiganya membentuk Gerakan Harimau Nan Salapan sebagai gerakan amar makruf nahi mungkar. Sampai-sampai dengan pengaruh luasnya, melahirkan ulama-ulama plus mujahid seperti Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol.
Di Aceh pun sama. Karya sastra perang yang terkenal yaitu Hikayat Perang Sabil atau Hikayat Prang Sabi (dalam bahasa Aceh) ditulis oleh seorang haji yang baru saja pulang dari Makkah. Namanya Cik Pante Kulu atau Teungku Chik Haji Muhammad di Pante Kulu.
Ketiga, sikap baik dari Syarif Makkah atau pejabat-pejabat Utsmaniah yang dikirim langsung dari Istanbul dalam meriayah para jamaah haji di Makkah dan Madinah.
Bahkan, terangnya, para utusan juga membantu peperangan yang tengah terjadi di Nusantara. “Walaupun membantunya itu tidak secara langsung. Tetapi mereka membantu dalam bentuk jihad bil maal, dengan harta,” ulasnya.
Buktinya, lanjutnya menceritakan, sekitar tahun 1880-an, banyak sekali orang-orang Aceh yang kepergok oleh orang Belanda sedang membawa suplai logistik persenjataan. Di antaranya, ratusan pedang dan ribuan peluru tajam dari pejabat Utsmaniah di Makkah.
Keempat, para ulama Nusantara di Makkah yang selalu menekankan pentingnya jihad di dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika melihat kemungkaran, termasuk penjajahan.
Sebutlah Syekh Abdul Shamad al-Palimbani. Sosok yang menurut Nicko luar biasa itu adalah seorang ulama dari Kesultanan Palembang yang bermukim dan menjadi warga Utsmaniah di Hijaz.
Beliau menuliskan sebuah kitab khusus untuk rakyat Nusantara agar semangat jihad mereka makin luar biasa menggelora melawan penjajah.
“Kitabnya berjudul, Nashihatul Muslimin wa Tadzkiratul Mu’minin fi Fadhail al-Jihad fi Sabilillah wa Karamatil Mujahidin fi Sabilillah,” ungkapnya, sembari menyebutkan kitab itu berisi nasihat-nasihat kepada kaum Muslim dan peringatan kepada orang-orang yang beriman tentang fadhilah jihad dan karamah para mujahid.
Bahkan Syekh Abdul Shamad al-Palimbani, sambung Nicko, melakukan korespondensi dengan beberapa raja dan sultan di pulau Jawa agar mereka juga benar-benar melaksanakan jihad dengan sebenar-benarnya jihad melawan VOC Belanda.
Di antaranya, dengan Pangeran Mangkubumi yang kelak akan menjadi Sultan Hamengkubuwono I, pendiri Kesultanan Yogyakarta.
Begitu pun kepada Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegoro I, pahlawan nasional Indonesia sekaligus pendiri Kadipaten Mangkunegaran, sebuah kadipaten di Surakarta, Jawa Tengah, yang dijuluki Pangeran Sambernyawa yang berarti penebar maut (penyambar nyawa) untuk para musuhnya di semua palagan.
Dan ternyata, lanjut Nicko, aktivitas surat menyurat oleh Syekh Abdul Shamad al-Palimbani dilakukan pula untuk para pangeran dari trah Mataram lainnya. “Jadi itu hubungan antara tanah suci dan jihad begitu luar biasa,” timpalnya.
Maka tak heran, dahulu para jamaah haji sangat bersemangat berjuang melaksanakan Islam. “Kita tidak tahu kalau kondisi ulama atau pejabat yang hari ini ada di Saudi ya, apakah sama ataukah beda dengan zaman dahulu,” pungkas Nicko, sedikit menyinggung kondisi saat ini.[] Zainul Krian